Cerpen Maya Lestari GF (Media Indonesia, 05 Juni 2016)
DALAM dunia mata Nahla yang buta, dunia tampak benderang. Segalanya memantulkan cahaya, gemerlap dalam halus kasar rabaan, atau manis madu penciuman. Nahla punya nama untuk semua warna yang ia lihat dalam kegelapan. Musakhan, fasoulya beyda, sumac, maqloubeh, atau mansaf. Ibu berwarna musakhan. Musakhan yang berbau asap, bawang putih, daging ayam, roti, dan merica. Cahayanya benderang, menyebar seperti hawa hangat, menyelimuti segenap penjuru rumah. Ayah berwarna sumac. Cahayanya sedikit lebih redup dari musakhan, namun tetap terang dan menyebar. Nahla selalu melihat cahaya itu bersama aroma rempah yang kadang diciumnya saat ibu membuat musakhan, atau seduhan yang dibuat ibu saat Bassam demam. Baunya menyenangkan meski kadang kalau terlalu kuat bisa membuat Nahla sakit kepala. Bassam berwarna tomat dan bulgur. Cahayanya terang berbintik-bintik. Kadang Nahla menjumpai Bassam bersama remah-remah bulgur di lengan atau bajunya.
“Bulgur berwarna krem, dan warnaku putih,” pernah Bassam berkata, “rambutku kecokelatan seperti rambutmu, ayah, dan ibu. Warna kulitmu juga sama sepertiku.”
Bassam punya pendapat berbeda soal warna, demikian Nahla berpikir. Tetapi boleh jadi setiap orang memiliki pendapatnya sendiri soal itu. Nahla ingat Nenek Samaah menyebut langit berwarna biru laut, sementara Nenek Dalaal menyebut langit berwarna biru pucat. Ada banyak orang di dunia, setiap mereka pastilah menciptakan nama warna mereka sendiri.
Akan tetapi, dari semua perbedaan soal nama warna, setidaknya Nahla sepakat dengan semua orang mengenai warna tempat mereka tinggal. Warnanya seperti warna daging mentah kubbi neyee yang lupa dimasak keesokan harinya.
“Jika tempat ini adalah sebuah warna, ini adalah warna yang tidak ingin kugunakan,” ujar Bassam suatu kali, “dan bila tempat ini berwujud buku, ini adalah buku yang tak pernah ingin kubaca.”
Nahla setuju dengan itu, dengan satu perkecualian, setiap Ramadan tiba, lingkungan tempat tinggal mereka akan berubah warna. Semarak warna-warni musakhan, zaitun, oregano, daun anggur, dan keju ackawi akan menggantikan kubbi neyee. Setidaknya untuk satu bulan itu, Bassam setuju tempat ini berubah jadi buku Tengah Malam karya Mourid Barghouti yang ia baca ratusan kali.
“Semuanya datang, sungai dan kereta, suara dan kapal,*” Bassam tertawa.
“Cahaya dan semua huruf?*” Nahla menyambung.
“Juga undangan makan malam,*” lalu Bassam mengajak Nahla menari di gang perumahan mereka yang sangat sempit. Begitu sempitnya, hingga jika dua orang berpapasan, salah satunya harus berhenti dan memiringkan badan.
***
“Aku mau lentera,” ujar Nahla suatu malam, setelah Bassam menceritakan fabel serigala karya Aesop. “Lentera?”
“Lentera berwarna kamomil dan lemon.”
“Mengapa kamomil?” tanya Bassam. Ia masih berbau tomat dan bulgur, seperti biasa. Bassam belum sempat mandi sehabis pulang dari pasar. Sehari-hari Bassam bekerja sebagai tukang bongkar muat di Pasar Balata. Hari ini ia pulang sangat terlambat. Selepas magrib. Truk-truk pengangkut sayur dan buah tertahan hampir enam jam di pos pemeriksaan, Bassam harus menunggu truk-truk itu datang agar bisa membawa beberapa potong sayur dan buah pulang. “Bagaimana kita bisa membeli sesuatu kalau mereka menahannya begitu lama!” pernah Nenek Samaah mengomel. “Sayur, buah, gas,” ujarnya, “tunggu sampai kita pulang ke Jaffa nanti. Ladang bulgur kakek luas sekali di situ, kalian takkan kekurangan apa-apa.”
Kenyataannya, mereka tidak pernah tahu sampai kapan harus menunggu supaya bisa kembali ke Jaffa. Nenek Samaah membingkai kunci rumahnya dalam pigura bermotif peta Palestina sebelum tahun 1948, sementara Nenek Dalaal masih menaruh kuncinya di kantong kain yang sama, sejak ia terpaksa meninggalkan Jaffa bersama ribuan orang Palestina lainnya, pasca pendudukan. Kuncinya berat dan panjang, begitu yang Nahla rasakan saat mengayun-ayunkan kunci itu di telapak tangannya. Panjangnya dari ujung jari tengah ke pergelangan. Kunci itu berwarna garam.
“Jika Nenek tidak bisa pulang, kau dan Bassam yang harus pulang,” demikian ucap Nenek Dalaal dulu. Nahla mengiyakan. Sineen, sahabatnya, juga punya kunci seperti ini. Semua anak Palestina yang tinggal di kamp pengungsian Balata ini memiliki warisan yang sama. Sebuah kunci rumah berwarna garam, bercahaya dalam kilasan suram.
“Kata Nenek Dalaal, kamomil itu warna Jaffa,” jawab Nahla. Ia mengamati warna Bassam. Cahaya suram dan terang berganti-ganti melingkupi tubuhnya yang tinggi besar.
“Seperti apa warna lentera kamomil?” tanya Bassam.
“Cahayanya panjang sampai ke langit,” bisik Nahla, “cahaya itu bercabang, setiap cabangnya menumbuhkan seratus bunga kamomil. Setiap bunga kamomil memiliki seratus kelopak. Setiap kelopak meneteskan seratus butir madu dan setiap butir madu menghasilkan titik-titik cahaya.”
Bassam berusaha membayangkan apa yang dilihat Nahla.
“Apakah kau bisa mendapatkannya?”
Bassam berpikir sejenak. Ia bisa mendapatkan lentera bekas di toko Ismael seharga tiga shekel, tapi membuang uang yang bisa digunakan untuk membeli sekilo tomat adalah sia-sia. Apalagi untuk sebuah lentera.
“Aku bisa membuatnya,” jawab Bassam
“Kau bisa membuat lentera?” wajah Nahla berseri-seri di bawah lampu bohlam merah redup. Senyumnya terkembang begitu lebar, hingga garis-garis luka di wajahnya tersamar dalam garis tipis yang melintang tak beraturan.
“Ya. Aku akan membuatnya dari kaleng susu,” jawab Bassam, “untuk Sineen juga.”
“Benarkah?!” Nahla nyaris berteriak senang.
Bassam tertawa. Diusap-usapnya rambut Nahla. “Nah, tidurlah. Besok aku akan mencari kaleng susu di pasar, sore akan kukerjakan, jadi kita bisa menggantungnya sebelum tarawih pertama.”
“Terima kasih, Bassam. Kau baik, Tuhan sayang padamu.”
“Kau juga.”
Bassam lalu menunduk, mencium kening dan kedua mata Nahla. Sebelum terkena pecahan bom enam tahun lalu, kedua mata Nahla biru berlian. Kini, Bassam cuma melihat selongsong abu-abu pucat. “Jangan lupa baca doa, Nahla.”
***
“Tahun ini kau berumur delapan tahun,” ujar Nenek Dalaal sambil menyisir rambut Nahla yang panjang sepunggung. Hari sudah sore. Ibu sedang sibuk membuat maqloubeh untuk makan malam. Bau tomat panggang memenuhi rumah. Di luar, Bassam tengah melubangi kaleng-kaleng susu yang ia dapat di pasar. “Nenek akan memberimu hadiah kunci rumah kita di Jaffa,” ujar Nenek Dalaal. Ia kede ngar an bersemangat. Nenek Dalaal berwarna tomat panggang. Cahayanya berbutir-butir, panjang, saling menjalin hingga ke ujung dunia. Hingga ke Jaffa.
“Oh, benarkah? Aku boleh menyimpan kuncinya?”
“Ya, simpan baik-baik, sebab Ramadhan tahun depan, mungkin kau akan pulang bersama Bassam ke Jaffa.”
Tak jauh dari Bassam beberapa anak tertawa riang. Mereka menyanyi. O, zaitun, za’tar. Mulutku terasa pahit. Kami mau barbeku. Kami ingin daging untuk barbeku! Bassam terus bekerja dengan paku dan palu. Suaranya terdengar ngilu. Bagi Nahla, giginya seakan diparut satu-satu.
“Sineen dan kakaknya yatim piatu. Apakah mereka boleh tinggal dengan kita nanti di Jaffa, Nenek?”
“Tentu. Kalian dari situ, ke sana pula kalian akan kembali.”
***
Lentera Nahla selesai pada sore jelang tarawih pertama. Orang-orang sudah menggantung ratusan lampu warna warni di atas gang-gang sempit rumah mereka. Anak-anak keluar rumah, menunjuk-nunjuk lampu sambil membawa lentera mereka sendiri. Beberapa rumah mengeluarkan aroma yoghurt, daging panggang, merica, dan oregano. Bassam membimbing Nahla menuju rumah Ehab dan Sineen, satu blok dari rumah mereka. Nenek Dalaal ikut serta. Beberapa kali mereka ditawarkan masuk oleh para tetangga untuk menyantap kubbi atau qatayeh, Nenek Dalaal menolak dengan sopan, tapi menerima pemberian kubbi untuk dibawa pulang. Ia akan memberikannya untuk Ehab dan Sineen. Semenjak kedua orangtua Ehab meninggal dua tahun lalu, Ehablah yang bekerja mencari uang. Sehari-hari ia bekerja menjahit kain-kain yang dikirim dari Israel. Upahnya 50 shekel sebulan. Tidak pernah cukup untuk makan.
“Nahla!” teriak Sineen gembira begitu melihat Nahla. Ia berada di depan rumah sambil membawa lenteranya. Sineen berwarna kamomil. Berbintik-bintik seperti warna cahaya Bassam, namun lebih terang dan panjang. Sineen memeluknya.
“Kami membawakanmu lentera,” ujar Nahla. Diberikannya satu untuk Sineen.
“Kau baik sekali,” Sineen menerima.
“Apa kalian sudah makan, anak-anak?” tanya Nenek Dalaal, “kami membawakan maqloubeh dan kubbi.”
“Sudah, Nenek, banyak orang yang memberikan kami makanan hari ini!” seru Sineen gembira.
“Apa warna lentera-lentera kita ini, Nahla?” tanya Ehab. Ia seumur Bassam, namun tubuhnya lebih pendek dan kecil.
“Lentera kita berwarna Jaffa,” ujar Nahla gembira. Bassam menggantung lentera-lentera mereka di dinding luar rumah Sineen, di atas gambar Yasser Arafat.
“Apa warna Jaffa, Nahla?” tanya Sineen.
“Kamomil dan lemon.”
“Dan kurma,” balas Bassam.
“Benar, anak-anak, ke situlah kita akan kembali suatu saat nanti,” sambut Nenek Dalaal.
Nahla mendongak. Kerlap-kerlip cahaya kamomil beterbangan dari lentera-lentera mereka. Mula-mula berbentuk titik-titik, kemudian menjelma bunga-bunga kamomil dengan seratus kelopak. Bunga-bunga cahaya itu beterbangan ke angkasa. Menuju bulan baru yang masih malu mengintip di langit sana. Bersama suara murottal Alquran yang dilagukan dari dalam masjid-masjid Balata. Bersama Ramadan berwarna kamomil yang cahayanya memanjang hingga ke Jaffa. (*)
2016
Maya Lestari Gf lahir 18 Agustus 1980. Ia menulis novel silat dan fantasi. Karya terkininya, Labirin sang Pinyihir (2015). Sehari-hari ia bergiat sebagai praktisi homeschooling
Catatan:
*Petikan puisi penyair Palestina, Mourid Barghouti, berjudul Pengecualian. Musakhan, fasoulya beyda, sumac, maqloubeh, mansaf, dan bulgur ialah nama-nama makanan keseharian Palestina.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]
Leave a Reply