Cerpen Ken Hanggara (Suara Merdeka, 26 Juni 2016)
Suatu malam, ketika kepalaku setengah pusing, seseorang mengetuk pintu. Kuintip dari jendela; aku tahu ia bukan manusia. Tidak ada manusia hidup tanpa kepala. Karena tidak pernah takut dengan apa yang orang sebut hantu, kubuka saja pintuku dan kutanya ada perlu apa dia kemari.
Lelaki itu tentu tidak bisa bicara, tetapi di lehernya terkalung sekeping white board dan nyaris membuatku tersedak. Seekor hantu membawa white board, dan ia memegang spidol hitam seperti seorang guru yang siap menerangkan sebuah teori di depan kelas. Apa yang Anda pikirkan jika melihat hantu semacam ini?
Aku tidak mau menyinggung perasaan seekor hantu, maka aku diam dan memberi kesempatan si hantu untuk menulis sesuatu. Aku tahu ia memang harus menulis sesuatu untuk menjawabku. Ia tidak berkepala dan sudah pasti tidak bermulut. Dengan apa lagi ia menjawab jika bukan tanpa tulisan?
White board itu seukuran kotak makan anak SD dan tinta spidolnya berbau tengik. Seperti kematian. Si hantu, dengan canggung, mengambil papan tersebut dari lehernya seakan itu kalung dan mulai menulis sesuatu. Ia menulis begitu cepat dengan hasil yang sangat buruk, karena memang tidak punya bola mata. Ia selesai dan menyerahkan white board-nya padaku. Di sana tertulis: “Boleh minta tolong?”
Kujawab bahwa waktuku tak banyak dan sekarang sudah malam. Aku harus tidur sebab besok pagi bekerja. Ah, ya, besok pagi harus ke luar kota. Seekor hantu mungkin mengerti urusan pekerjaan yang tidak beres bisa membuat manusia dipecat dan tidak punya uang untuk makan, dan tidak lama kemudian mati karena tidak bisa mencari uang dengan cara lain.
Sebelum ia menjawab, kusadari kekeliruan lain. Hantu ini tidak berkepala dan bau amis dan sekujur bajunya belepotan lumpur kering. Tapi, bagaimana ia bisa mendengar? Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk beberapa saat sampai akhirnya si hantu seperti menyadari kebingunganku, karena suasana begitu sunyi. Ia membuka kancing bajunya satu per satu dan kulihat sebuah telinga menempel di dada, di antara kedua puting susu yang kering.
Hantu tersebut menulis sesuatu yang isinya menyatakan telinga tersebut berfungsi sebagaimana telinga umumnya, jadi ia masih bisa mendengar, walau tanpa melihat dan bicara. Hanya telinga satu-satunya organ yang bisa ia selamatkan dari sebuah insiden di masa lalu.
“Baiklah,” kataku. “Sekarang, katakan saja… atau tuliskan saja, apa yang bisa saya bantu?”
Hantu itu menulis, “Antar saya pulang.” Sebelum saya protes, ia menambahkan, “Jika Anda berhasil mengantar saya pulang, bayaran yang pantas akan Anda dapatkan.”
Aku tidak suka urusan ini. Hantu ini memintaku mengantarnya pulang? Ke mana? Ia bilang ada bayaran yang pantas. Apa ia akan memberiku uang? Aku tidak bicara dan bingung harus merespons apa. Mungkin saja benar hantu ini bisa memberiku uang dan aku menjadi lebih kaya dalam waktu semalam. Bukankah biasanya segala sesuatu yang berhubungan dengan gaib pasti ajaib?
Kupikir hantu ini mungkin memberiku sejumlah uang, dan bukan beberapa lembar daun seperti di film hantu Suzzana. Mungkin hantu itu dulunya orang kaya raya dan dia tersesat di dunia dan ingin segera pergi ke surga tapi tidak tahu jalan. Untuk itulah dia meminta bantuanku mengantarnya.
Tapi, aku tidak mau gegabah dan salah jalan. Aku butuh waktu berpikir. Hantu ini masih berdiri diam dengan white board beserta spidol yang juga masih di tangannya, menunggu keputusanku. Aku persilakan masuk ke ruang tamu dan menyuruhnya duduk, sementara aku bisa ganti baju sembari berpikir.
Seekor hantu datang tengah malam. Hantu tanpa kepala, dengan sebuah telinga di tulang dada. Ia memintaku mengantarnya pulang. Ia janjikan bayaran yang pantas. Aku tidak mau salah memutuskan, karena mulai tidak yakin hantu itu memiliki uang yang banyak. Mungkin ia setan yang menggodaku. Atau mungkin Tuhan mengutus malaikat untuk mengujiku. Tapi, aku bukan nabi dan hanya seorang pegawai kantor biasa yang jarang menyembah Tuhan dan banyak bermain perempuan. Kenapa ini terjadi padaku?
Aku kembali ke ruang tamu sebelum mengganti baju dan bertanya siapa namanya. Dia menjawab, tentu dengan tulisan yang cakar ayam: Sapono. Aku tidak pernah tahu ada nama seaneh itu, tetapi mungkin memang ada. Sapono menambahkan, di bawah huruf yang menyusun namanya, bahwa ia adalah seekor malaikat yang tersesat ke bumi dan tidak bisa balik ke surga.
“Aku tidak percaya kamu malaikat. Tubuhmu berbau amis dan bajumu jelek, juga belepotan lumpur kering. Tidak ada ciri khas malaikat. Mataku tidak silau melihatmu.”
Sapono mungkin tersinggung. Meski aku tidak tahu ekspresi wajahnya, tetapi aku tahu tubuhnya agak terguncang mendengar kesangsianku. Ia menulis dengan tergesa dan menyodorkan white board tersebut padaku dengan gugup. Ia bilang ia mungkin tidak kelihatan seperti malaikat, tetapi memang betul ia malaikat yang tidak sengaja jatuh dari surga ke bumi, jatuh tepat di atas sebuah wilayah tambak, yang agak berlumpur, dan ia baru saja berjalan sejauh empat ribu kilometer sampai menemukan rumah dengan lelaki yang jarang menyembah tuhannya.
Aku tanyakan kenapa ia berjalan sejauh itu dan kenapa tidak mencari bantuan di dekat wilayah tambak tersebut. Aku tersenyum dan berpikir setan atau hantu atau apalah ini mencoba menipuku, tetapi aku sendiri yang akan menipunya nanti. Aku menunggu jawabannya sambil meraih asbak dan menyulut sepuntung rokok yang ada di kantung baju tidurku. Sementara asap rokok mengepul di wajahku, white board itu kembali aku terima.
Kubaca keras-keras tulisannya: Karena saya dikirim oleh Tuhan untuk Anda.
“Untuk apa?”
Ia menulis lagi: Untuk sesuatu yang darurat. Sudahlah, jangan banyak tanya. Saya sudah lelah menulis tanpa kepala. Saya harus berhenti. Sebelumnya saya beritahu Anda; kepala saya lepas saat tubuh saya menancap ke kubangan lumpur setengah kering. Dan saya tidak bisa menemukan di mana kepala saya berada. Saya putuskan, saya berjalan kaki saja, sebab sayap saya juga sudah patah dua-duanya.
“Baiklah. Pertanyaan terakhir. Setelah ini, janji tidak tanya lagi. Apa bayaran yang pantas untuk saya?”
Bayaran yang pantas itu tidak usah Anda pikirkan. Pokoknya Anda antar saja saya pulang. Anda hanya perlu mengikuti petunjuk-petunjuk dari saya, dan Anda tuntun saya, lalu kita pergi bersama sampai tujuan. Anda tidak akan menyesal. Ia tulis itu dengan tubuh yang basah oleh keringat.
Karena tidak tega (mungkin memang ia kelelahan menulis dengan cara begitu), aku pergi ke kamar dan segera ganti baju. Malaikat tanpa kepala ini mengekorku ke halaman depan dan ia memberiku instruksi-instruksi ke arah mana aku harus menuju. Ia pegang kedua bahuku. Jika aku harus lurus, ia remas dua kali bahuku. Jika belok kanan, bahu di kanan ia cubit, begitupun sebaliknya. Jika aku melewatkan tikungan, ia remas tiga kali bahuku dan aku harus balik badan. Sapono menulis peraturan tersebut dan menyuruhku menghafal. Begitu hafal, ia buang white board-nya ke tempat sampah.
Demikianlah bagaimana akhirnya aku mengantar seorang malaikat untuk pulang ke surga. Aku kira, ia memang ke surga dan mungkin di bagian bumi tertentu ada sebuah jalan masuk menuju surga. Ada semacam pintu di atas langit-langit gua purba, mungkin. Atau barangkali ada lubang khusus di angkasa yang tidak diketahui manusia biasa.
Kami jalan begitu jauh. Lurus, belok kanan, belok kiri, lurus lagi. Sesekali kami berhenti lama, dan si malaikat mengingat sesuatu dahulu sebelum ia tahu ke mana kami harus melangkah. Setiba di depan sebuah danau, kami berhenti dan malaikat itu melepas pegangan di bahuku dan merangkak menuju air. Ia membasuh tubuhnya di sana dan ia melambaikan tangan padaku. Sapono menyuruhku mandi.
Aku mandi dan merasa air di danau aneh itu begitu segar. Selesai mandi, Sapono mengeluarkan dua ekor ikan bakar dari kantung celananya. Aku tidak tahu bagaimana ia dapatkan ikan bakar itu, tetapi aku lapar dan kami makan. Aku mengunyah seekor dan Sapono menjejalkan seekor lainnya, sepotong demi sepotong, ke lubang kerongkongan yang terkuak di leher merahnya.
Selesai makan, kami lanjutkan perjalanan. Tidak begitu jauh. Kami sampai di tepi jalan raya yang amat asing di kepalaku. Sapono beralih ke depanku dan menjabat tangan erat padaku. Aku tanya bagaimana aku pulang dan bagaimana ia melunasi bayaranku. Ia tidak menjawab dan berdiri tegak di tepi jalan. Sebuah bus berhenti dan Sapono naik. Bus itu hitam kelam dan Sapono memberi isyarat padaku untuk ikut naik. Karena tidak tahu jalan kembali ke rumahku, aku pun naik.
Bus itu berisi banyak lelaki tanpa kepala dengan seorang pendamping yang kukira bernasib sepertiku. Ada banyak malaikat nyasar ke bumi dan banyak juga dari mereka yang tidak tahu jalan pulang. Aku tidak peduli. Aku hanya berharap Sapono menepati janjinya membayarku dan aku bisa pulang dengan selamat ke rumah.
Saat itulah seseorang di bangku belakangku menyapaku. Ia tukang jagal bernama Markun. Ia sudah membunuh puluhan manusia. Ia tidak bisa berhenti sampai tertangkap. Katanya, belakangan ini menunggu waktu eksekusi. Di sisinya, malaikat tanpa kepala diperkenalkan oleh Markun sebagai Saidah. Saidah mengangguk padaku, tentunya tanpa kutahu bentuk rupanya, karena ia seperti Sapono: tanpa kepala.
Markun bilang, “Kita tidak bisa pulang.”
“Maksud Anda?”
“Bus ini tidak kembali.”
Aku tidak menjawab dan menjawil lengan Sapono. Yang kujawil tidak merespons dan tetap dalam posisi duduknya yang tegak. Aku menoleh ke kiri dan kanan, bertanya ke semua pengantar malaikat yang ada dalam bus ini, tapi semua orang menunduk. Tak ada yang menjawab.
Bus terus melaju dan aku tak mungkin melompat keluar. (92)
Gempol, 10 Mei 2016
— Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.
Al Dina Yuliyana
Bagus sekali cerpennya,, kata” yg dipakai sngat mudah dipahami. Trima kasih telah membuat saya menemukan imajinasi baru
tianti1224
Ini part pertama dari Apartemen Malaikat ya?
Menarik. Lalu suka dengan jawaban: karena Tuhan yang mengutus. Aah, kriteria Tuhan itu unik ya?
Kenapa seekor hantu? Seekor malaikat?