Cerpen Kristin Fourina (Suara Merdeka, 12 Juni 2016)
“Aku masih berusaha membunuh api dalam kenangan ibuku dan ibumu,” bisikanku seperti hembusan siang yang membakar kenangan.
Keheningan menenggelamkan ingatanku dan ingatanmu pada api. Kupandang anyaman ingatan itu yang sontak membuat tubuhku bermandikan lara dan nelangsa. Mungkin kebahagiaan itu ibarat jalanan panjang yang kalau kita ingin menemu ujungnya kita harus merangkak-rangkak. Meskipun menerjang api sekali pun, aku akan tetap merangkak menggapai kebahagiaan itu. Seperti rumah yang diserbu hujan, aku pun akan terus mendekapmu agar kau tak kuyup oleh rasa putus asa yang semakin lama semakin membanjir.
Menghamburlah padaku, dan hanyutlah pada ketenangan yang kualirkan dalam hatimu. Api itu memang telah melelehkan kehalusan budi ibuku dan ibumu, tapi tak akan sanggup menghanguskan kisah yang telah kita tulis bersama.
***
Tak ada kegiatan yang menyibukkanku kala itu. Daun-daun kering yang berserakan di halaman rumah seolah menggapai-gapai tanganku minta disapu. Bagiku kegiatan menyapu hanya dilakukan oleh seorang perempuan. Ibukulah yang biasanya menyapu seluruh halaman rumah hingga tak ada sehelai daun pun terlihat berserak di halaman. Apalagi ibuku sangat memanjakanku, ia tak memperbolehkan aku membantunya menyapu selama ini. Mungkin karena aku anak satu-satunya, dan aku seorang lelaki. Tapi entah kenapa daun-daun kering itu seolah memanggil-manggilku minta disapu.
Dan daun-daun kering itu pun kusapu hingga membukit di sudut halaman. Namun aku tak tahu, harus dikemanakan daun-daun kering itu. Sebab itu kuputuskan untuk membakarnya. Tidakkah itu lebih praktis daripada harus menggali tanah dan kemudian baru membuang daun-daun kering itu dalam galian? Ya, kuambil korek dalam saku bajuku.
Jika saja, ibu tak melihat hasil kerjaku saat itu, tentu semua cerita ini tak akan bermula. Yang jelas, ibuku berteriak-teriak seperti orang kesurupan begitu api yang kunyalakan membesar, menjilat-jilat daun kering dan menghanguskannya.
Dengan teriakan maha keras itulah, sontak aku terperangah dan berdiri kaku menatap ibu.
“Kau mau membakar ibu? Atau kau mau membakar dirimu sendiri dan kau mau mati?” ibu berteriak di hadapanku sambil mengguyurkan seember air pada daun kering yang sedang terbakar dengan tergesa.
“Apa aku berbuat sesuatu yang salah?” tanyaku kala itu.
“Apa yang ingin kau bakar?”
“Aku hanya membakar daun kering.”
“Kita hampir terbakar kalau ibu tak datang.”
“Aku tak paham dengan apa yang ibu katakan,” kataku sambil terus memperhatikannya.
“Semalam aku bermimpi bapakmu,” kata ibu kemudian.
“Tapi apa hubungannya api dengan bapak?”
“Ada.”
“Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba ibu memarahiku hanya karena aku menyapu daun kering dan membakarnya.”
Ibuku malah menggelengkan kepalanya, “Hanya saja, api itu mengingatkanku pada bapakmu. Dan semalam ibu bermimpi bapakmu.”
“Ibu terlalu berlebihan memarahiku hanya karena aku menyapu dan membakar daun.”
“Sungguh, ibu minta maaf. Bila melihat api yang berkobar, ibu ingat bapakmu. Apa kau mau menemani ibu besok, kita akan ke makam bapakmu. Sekarang mungkin bapakmu sedang merndukan kita, itu sebabnya ia datang dalam mimpi ibu.”
“Ya,” jawabku bersungut-sungut meninggalkan ibu dengan kenangannya yang terus ia pelihara.
***
Kami menembus pohon-pohon kelapa dengan bus yang melesat seolah terbang. Karena jarak tempuh ke makam bapak yang terbilang jauh, maka kami tak mungkin berjalan kaki untuk ke sana. Apalagi, ini musim hujan yang sewaktu-waktu bisa menipu. Ibu tak mau gegabah ke makam bapak menggunakan motor, karena bisa saja hujan merontokkan jarum-jarum dinginnya ke tubuh ibu yang tetap akan menggigil meski telah mengenakan jas hujan.
Dan tiba-tiba ibu berbisik padaku, “Memelihara kenangan buruk memang seperti menggenggam penyesalan. Tak ada yang tahu kapan penyesalan itu bisa terlahir kembali menjadi sebuah pengampunan.”
“Tapi menyimpan kenangan yang buruk membuat seseorang tak akan pernah bisa keluar dari dendam dan kebencian, juga amarah atas kenangan buruk yang mengapa saat itu bisa terjadi begitu saja,” sahutku menimpali.
Tiba-tiba hujan benar-benar menampakkan diri dan menemani perjalanan kami ke makam bapak.
Ibu terdiam sejenak.
“Semua tak akan terjadi seburuk itu jika saja hujan deras tiba-tiba turun saat itu,” ucap ibuku perlahan.
“Apa pun yang ibu katakan tetap tidak akan membuatku mengerti jika ibu tetap tidak mau berterus terang tentang apa yang terjadi pada bapak pada saat itu,” sahutku.
“Ibu tidak tahu harus memulai cerita dari mana. Tetapi ketahuilah, semua kejadian saat itu terjadi karena bapakmu sangat menyayangimu.”
“Karena itulah aku ingin tahu bagaimana kejadiannya. Jika bapak memang melakukan hal buruk karena menyayangiku, kenapa harus ibu tutup-tutupi dariku?”
Ibuku sepertinya sudah akan memulai cerita, tapi rupanya ia urungkan karena tujuan kami, yaitu makam bapak sudah kian dekat.
“Jika tidak segera turun, makam bapakmu akan terlewat,” ucap ibuku sambil berdiri dan bergegas minta turun dari bus.
“Dan ketahuilah, kau tak perlu membenci bapakmu karena dulu ia melakukan perbuatan buruk itu karena ia sangat menyayangimu,” kata ibuku ketika kami berjalan beriringan menggunakan payung menuju makam bapak.
“Kampung ini sudah hampir hilang dari ingatanku kalau saja makam bapak tidak ada di sini, dan aku tak pernah mengunjunginya,” kataku tak menggubris ucapan ibu.
Kampung tempat bapakku dimakamkan ialah tempat awal mula yang membuat bapakku dipenjara. Kata ibuku, sifat bapakku sangat jauh berbeda dengan sifatku. Seperti malam dan siang, ibuku mengumpamakan sifat kami berdua. Bapakku ialah seorang yang sangat kasar. Atau bisa dibilang preman, saat itu. Yang dilakukannya ialah yang dibenci oleh kebanyakan orang. Akhirnya bapakku dipenjara oleh suatu sebab yang masih dirahasiakan ibu padaku. Seperti ingin melemparkanku dari rahasia itu, ibuku bahkan mengajakku pindah ke sebuah tempat baru, tempat di mana tak ada bayangan kenangan tentang bapakku.
Belum ada yang tahu sebab pastinya mengapa tiba-tiba bapakku menghabisi nyawanya sendiri di penjara. Mungkin merasa menyesal oleh perbuatan buruknya. Apakah bapakku tak akan pernah bisa mengampuni dirinya sendiri jika tetap hidup? Apakah kenangan dalam kepala bapakku telah mampu meledakkan kekuatannya untuk tetap hidup dan bertahan? Tak ada yang tahu.
Seorang perempuan cantik seusiaku tiba-tiba tersenyum dan menyapa kami ketika kami hendak pulang dari makam bapak. Itulah kau.
“Ya, kami dari makam,” jawab ibuku begitu kau menanyakan dari mana kami.
Hmm, aku bahkan tidak menyadari bahwa sesungguhnya saat itu kau telah menjadikanku laron yang senantiasa ingin terbang mengitari nyala api yang ada dalam dirimu.
Ibuku terdiam ketika kau menawari kami untuk mampir sebentar sementara hujan reda dan kami bisa melanjutkan pulang. Apalagi yang ada dalam benak ibuku, tentu aku tidak tahu. Karena itulah aku membujuk ibu untuk menghormati ajakanmu untuk berteduh.
Karena penasaran, aku nekat berteduh di emperan rumahmu sementara ibuku berdiri mematung di tengah jalan yang didera hujan. Rasanya kaki ibu terlalu berat untuk diayunkan ke emperan rumahmu. Justru aku tidak mampu membaca situasi dan mengajakmu berkenalan.
Percayalah, aku sangat terkejut begitu ibumu keluar dari pintu rumah sambil berteriak-teriak dan menuding-nuding ibuku. Aku tidak menyangka kehadiranku dan ibuku adalah musuh bagi ibumu. Karena itu, ibuku buru-buru menarik lenganku dan mengajakku pulang.
“Tentu ibu tahu, kau bingung. Karena itu, ibu akan berterus-terang padamu. Mulai saat ini dan seterusnya, kau tak perlu berhubungan dengan perempuan itu dan keluarganya. Belajarlah untuk memelihara kenangan, seperti ibu.”
Aku tercenung, “Mereka pernah dilukai bapak?”
“Seseorang telah menjadi korban pembakaran yang dilakukan oleh bapakmu. Kau tak perlu membayang-bayangkan kejadian itu, karena saat itu kau masih sangat kecil. Ini sudah menjadi takdirmu, takdir ibu, takdir bapakmu, takdir…”
“Dan seseorang yang menjadi korban pembakaran itu?”
“Ialah bapak dari perempuan muda tadi dan suami dari perempuan yang meneriaki ibu tadi.”
“Mengapa bapak melakukan kejahatan itu?”
“Tidak, itu memang takdir.”
“Lalu takdir macam apa yang membiarkan kejahatan itu terjadi?”
“Hah! Mengapa kau terus bertanya? Bapakmu menyayangimu. Kau tak perlu meragukan itu. Karena itu, saat kau sekarat di rumah sakit, bapakmu mengemis di depan tetangga. Kau kira saat itu bapakmu punya uang untuk membayarmu berobat? Bahkan tak ada pinjaman sedikit pun yang dikeluarkan oleh juragan kikir itu. Bapakmu tak bisa menunggu. Dan ia bakar juragan kikir itu agar hangus bersama harta bendanya.”
Aku mulai paham, ada kenangan buruk yang tak bisa dilawan dalam hidup ibuku dan ibumu. Namun setelah pertemuan pertama kita waktu itu, aku justru semakin rajin ke makam bapak, bukan untuk menziarahinya, melainkan untuk menemuimu. Karena aku pun tak mampu melawan rasa yang selalu membayangiku terhadapmu.
Dan tentu saja, kita bertemu tanpa ibuku dan ibumu ketahui.
***
Kau masih bungkam. Gelombang api dalam kenangan itu telah menggulung kehalusan budi ibuku dan ibumu. Tak ada perahu yang mampu menyelamatkan kita dari derasnya api yang menenggelamkan harapan untuk tetap selalu bersama. Seumur hidup, kita akan senantiasa berkerudung api.
“Bisakah kau membunuh api dalam kenangan ibuku dan ibumu?” tanyamu rapuh bersama kenangan yang luruh dan cintamu yang tak sanggup kurengkuh? (92)
Kulon Progo, 2016
Kristin Fourina, lahir di Yogyakarta 13 November 1987. Alumni Sastra Indonesia UNY. Beberapa kali memenangi lomba menulis cerpen. Beberapa cerpennya dimuat di media massa. Cerpennya juga termuat dalam beberapa buku antologi bersama, salah satunya Bayang-bayang (2012).
Leave a Reply