Cerpen S Prasetyo Utomo (Media Indonesia, 10 Juli 2016)
SEUNTAI bunga anggrek ungu tergeletak di meja teras. Zahra dan Aryo, pengantin baru, tak memperhatikan bunga-bunga segar berembun itu. Kupu-kupu menyingkap kabut tipis pagi di antara bunga-bunga anggrek ungu yang tumbuh di pelataran rumah. Pengantin baru itu duduk berdampingan, termangu-mangu di teras. Mencecap teh. Mereka berdiam diri. Tiba saatnya mereka turun ke kota, meninggalkan Umi, kembali bekerja. Mereka tak menemukan kata-kata untuk berpamitan pada Umi. Tak tega meninggalkan Umi. Tapi mereka juga ingin menempati rumah sendiri. Rumah di pinggir kota, tak jauh dari tempat kerja mereka. Di rumah itu Zahra, sebagai dokter, berketetapan hati membuka praktik sore, menolong orang-orang yang memerlukan pengobatan.
Umi mendekat dengan wajah menahan rasa kehilangan. Tersenyum. Duduk di teras, menghadap meja bundar dengan sekuntum bunga anggrek ungu di atasnya. “Kalau kalian akan menempati rumah sendiri, berangkatlah siang nanti. Biar Umi tetap merawat rumah ini, menjaga toko dan mengolah kebun bunga, sambil menunggu Abah pulang. Suatu saat nanti pasti Abah berhenti mengembara, kembali ke rumah.”
Saling pandang, Zahra dan Aryo mengangguk pelan. Melacak kesunyian di wajah Umi.
“Datanglah sesekali menengok Umi,” pesan perempuan itu, menampakkan kecintaannya pada penantian. “Aku sudah terbiasa menanti pembeli bunga-bunga di toko, memberi mereka bunga-bunga segar yang kurawat dan kucintai. Aku akan menyemainya kembali di ladang, dan merawat bibit-bibit bunga baru. Menanti seseorang tertarik pada bunga-bungaku, dan membelinya. Aku terbiasa menanti Abah pulang. Kalian punya dunia sendiri.Aku tak mau kalian terpasung di rumah ini.”
***
Di meja teras tergeletak seuntai bunga anggrek ungu, segar berembun. Umi mengambilnya dengan tangan gemetar. Masih saja ia menemukan kiriman bunga anggrek pada dini hari. Bunga anggrek ungu ini untuk Zahra, anak perempuan Umi yang baru menikah. Zahra sudah meninggalkan rumah, hidup bersama suaminya. Mereka menempati rumah di perkampungan, dan sebagai dokter muda, Zahra menghendaki berada di dekat orang-orang yang mesti ditolongnya. Tapi kenapa, pikir Umi, kiriman bunga anggrek ungu itu selalu tergeletak di meja teras rumah, masih segar, baru dipetik dari kebun, dan menggoda untuk diambil?
Umi tak tahu, akan berbuat apa pada bunga anggrek ungu yang dikirim untuk anak perempuannya yang sudah menikah itu. Tak mungkin bunga anggrek itu dibuang. Ia meletakkannya dalam vas, dan aneh, bunga anggrek ungu itu tidak pernah layu, sebelum Zahra pulang, melihat, dan mengaguminya. Zahra tak pernah bertanya, dari siapa bunga anggrek ungu itu. Sudah pasti, bunga anggrek ungu itu dikirim Ismail, pemuda seberang jalan, yang berdiam di rumah kayu seorang diri. Lelaki itu teduh sepasang matanya. Memancarkan keteduhan alam pegunungan dan langit pagi yang melingkupinya.
Semula Umi menduga, kiriman bunga anggrek, yang kini kian beraneka warna, akan berhenti, setelah Zahra menikah. Zahra bersahabat dengan Ismail semenjak kecil. Bahkan ayah Ismail pernah datang mengetuk pintu, meminta Umi agar Zahra menikah dengan anak lelakinya. Belum terlaksana pernikahan itu, ayah Ismail meninggal. Tak pernah lagi dilanjutkan perbincangan pernikahan Ismail dengan Zahra. Tapi kiriman bunga anggrek ungu tak pernah berhenti, hampir setiap minggu. Meski Zahra tak lagi di rumah, kiriman bunga anggrek itu masih terus berlangsung.
Kiriman bunga anggrek aneka warna selalu tergeletak di meja teras. Umi yang memungut untaian bunga-bunga anggrek itu, merawatnya, seperti seorang gadis yang sedang jatuh hati. Lama-kelamaan, Umi merasa kiriman-kiriman bunga anggrek itu untuknya. Apalagi ia telah bertahun-tahun, berpuluh tahun, ditinggal Abah. Sejak Zahra berumur sembilan tahun, Abah meninggalkan rumah, berguru pada Kiai Jangkung di Pesantren Lembah Bayang-Bayang.
Sungguh aneh, tiap kali bunga anggrek itu tergeletak di meja teras, degup dada Umi berdetak, seperti gadis yang menanti kedatangan pemuda pujaan. Ia salah tingkah, gugup, gelisah, dengan tangan bergetar, saat jari-jarinya menyentuh tangkai bunga anggrek itu. Ia merasakan aliran darah yang deras. Bila Ismail tak mengirim untaian bunga anggrek, ia terhimpit kekosongan. Tertegun di teras, dalam kesenyapan: tanpa semilir angin, tanpa kabut merapat di bumi, tanpa hangat matahari pagi.
***
Terdengar suara langkah kaki yang sangat dikenali Umi. Itu langkah-langkah ringan kaki Ismail. Lelaki itu datang seperti bayangan, lenyap serupa mimpi. Tak pernah benar-benar hadir di alam nyata. Umi ingin memergoki lelaki itu meletakkan seuntai bunga anggrek di meja teras, diam-diam, tanpa pesan, tanpa suara. Tepat pada saat Ismail meletakkan bunga anggrek merah di meja teras, Umi membuka pintu. Lelaki muda itu mengangguk. Tersenyum. Sepasang matanya yang teduh itu bercahaya.
“Duduklah!” pinta Umi. “Ada hal yang perlu kubicarakan!” Tenang, Ismail duduk di kursi teras. Menanti Umi mengatakan sesuatu. Lelaki muda itu tak lagi bisa mengelak.
“Bukankah kau tahu, Zahra sudah menikah?” kata Umi, “Kau masih mengiriminya bunga.”
“Saya teringat kegemaran masa kecil kami,” balas Ismail. “Hanya dialah, gadis kecil, yang bersahabat denganku. Semua orang tak mau berteman denganku, anak penjahat, yang ditinggal pergi ibunya. Mereka selalu mengolok-olokku. Hanya Zahra yang mau bermain bersamaku. Dulu ia suka mengajakku menyusuri semak belukar waktu pagi, di hari libur sekolah, hanya untuk mencari kembang-kembang liar, dan dibawanya pulang. Pernah kami mencapai tepi kebun anggrek yang luas dan indah. Dia sangat takjub dengan keindahan bunga-bunga anggrek ungu. Ingin memiliki. Tapi takut memetiknya.”
“Karena itu kau mengirimi bunga-bunga anggrek itu untuknya?“ Ismail menunduk. Tak berani menatap Umi. Masih saja Umi menahan diri, merasakan ketakjuban yang dipendamnya diam-diam pada si anak penjahat itu. Umi dulu selalu memendam rasa cemas bila Zahra bermain dengan Ismail, mencari bunga bunga di semak belukar. Tapi kali ini ia merasakan keteduhan batin berada di hadapan lelaki muda yang dulu dicurigainya itu. Seorang wanita, meski berumur setengah baya, berhadap-hadapan dengan pemuda itu, merasa teduh, tentram, dan menemukan kebanggaannya sebagai perempuan.
“Zahra sudah meninggalkan rumah,” kata Umi, pelan, “kau tahu itu.”
“Saya tahu,” kata Ismail. “Saya kirim bunga untuknya untuk mengingat akan dirinya di masa lalu. Saya tak ingin dia lupa diri.”
“Lalu, bagaimana dengan hidupmu? Kau tinggal seorang diri di rumah itu. Ibumu meninggalkanmu semasa kau kecil. Ayahmu meninggal sebelum menikahkanmu.”
“Saya akan segera menikah. Saya mohon Abah dan Umi melamar seorang gadis untuk kunikahi.”
“Kalau begitu, pergilah ke pesantren Lembah Bayang-bayang. Cari Abah. Mintalah dia agar melamar gadis itu untukmu,” kata Umi, bimbang dengan perkataannya sendiri. Ia tak yakin bila Ismail berani mencapai pesantren Lembah Bayang-bayang untuk menemui Abah. Lagi pula, ia juga tak yakin, bila Abah berkenan pulang. Abah pulang hanya mengikuti perasaannya sendiri.
***
Secangkir kopi yang harum, mengepul, biasa dinikmati Abah dan Umi di pagi hari, sebelum lelaki itu pergi ke ladang dan Umi ke toko bunga. Wajah Abah kelihatan tenang setelah minum kopi pagi. Tapi telah bertahun-tahun, berpuluh tahun, Abah meninggalkan rumah, dan Umi selalu menikmati secangkir kopi sendirian. Duduk tanpa teman. Mengenang harum aroma rokok Abah, yang dihisapnya dengan diam-diam. Umi juga tak bisa berharap Zahra pulang menengoknya setiap saat. Ia sadar, Zahra dan Aryo, pasangan suami-istri yang selalu sibuk dengan kegiatan mereka.
Telah berhari-hari Umi tak menemukan kiriman bunga anggrek dari Ismail. Diam-diam ia selalu menanti kiriman itu, yang akan memberinya detak dada yang aneh, seperti seorang gadis merindukan kekasih. Kadang ia malu dengan perasaannya sendiri. Kalau Abah atau Zahra mengetahui perasaannya, tentu ia akan merasa sangat malu. Ia senantiasa sendirian menikmati kopi, di teras rumah yang sunyi, rumah besar yang kosong.
Umi terbiasa dengan kesunyian. Terbiasa dengan harapan-harapan. Terbiasa dengan kekuatan menahan diri. Kali ini ia tak yakin Abah akan pulang, hanya untuk melamar calon istri Ismail. Tapi pagi itu sebuah taksi memasuki pelataran rumahnya, dan turun seorang lelaki, dengan rambut yang memutih, melangkah tenang, duduk di teras, menemaninya, menghisap rokok kesukaannya, Umi tercengang.
Abah benar-benar pulang.
“Aku merasa bertanggung jawab untuk menikahkan Ismail,” kata Abah. “Karena itu, aku pulang sekarang.”
Umi masih terheran-heran memandangi Abah.
“Kita lamar gadis itu untuk Ismail. Aku tak akan meninggalkanmu sebelum mereka nikah,” kata Abah, tenang.
Tiba-tiba Umi merasa sangat sepi. Ia berpikir, tak lama lagi Abah akan kembali ke Lembah Bayang-bayang. Ia akan sendirian menjaga toko bunga dan sendirian di rumah. Tak ada lagi kiriman bunga anggrek setelah ini. Ismail akan menikah. Hari-hari bakal tanpa pengharapan bagi Umi. (*)
2016
S Prasetyo Utomo, sastrawan kelahiran 1961. Pada 2007, ia menerima Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen Cermin Jiwa. Buku fiksinya Bidadari Meniti Pelangi (2005).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id @Cerpen_MI
Leave a Reply