Cerpen Yona Primadesi (Media Indonesia, 12 Juni 2016)
SEJAK pindah ke rumah ini, hubungan Midah dengan ibunya makin berjarak. Ini bukan kali pertama pertengkaran mereka. Terlalu dekat jarak antara satu pertengkaran dan pertengkaran lainnya. Seperti deretan pinang di sepanjang bulevar kompleks. Titik pangkal persoalan sebetulnya sederhana, hanya perkara rumput yang semakin rimbun di halaman.
“Kamu bertengkar sama ibu?” mata laki-laki itu tak bergeser dari makanan di meja.
“Kenapa tidak jawab? Tidak dengar aku bicara?” Laki-laki itu menatap segaris punggung, juntaian rambut legam di bahu Midah. Sendok menggantung di udara, menunggu gerak.
Midah mengembus napas lurus-lurus. Mengalihkan pandangan pada tumpukan piring kotor, air yang mengucur dari keran, dan rumput di halaman. Di luar gelap, tapi matanya menangkap pantulan cahaya dari lampu teras.
“Ibu bicara apa sama kamu?” Jangankan tubuh, bahkan bola mata Midah tak menoleh sekejap pun. Hanya dadanya turun naik dengan bunyi napas, juga suara yang berat. “Bisa tidak kalau bicara itu lihat orangnya?” Nada suaminya meninggi.
Midah tahu, pertengkaran lainnya tak akan bisa dihindari. Ia memilih bungkam belaka.
“Kamu dengar tidak aku bicara apa?” Suara bentakan tertangkap gendang telinga Midah. Disusul bunyi meja digebrak tangan yang besar dan kekar. Ah, untung saja telapak tangan itu hanya menampar permukaan meja, bukan pipinya.
“Aku capek ditelepon ibumu hanya gara-gara rumput. Kamu mengalah sedikit bisa tidak? Urusan di kantor sudah bikin pusing, jangan kamu tambah dengan masalah tidak penting begini,” nada suara laki-laki itu makin meninggi.
“Lalu kenapa tidak kamu buang saja handphone-mu atau kamu babat rumputnya. Mudah, bukan?” Midah bersuara. Ia memandang samar bayang di halaman.
Seketika suaminya menghantamkan piring ke punggungnya, Midah tersengal sakit, tapi tak peduli.
“Tolol! Menyesal aku menikah denganmu,” Laki-laki itu merutuk, meninggalkan ruangan. Midah cukup bisa tersenyum.
Posisinya statis. Ia menatap ke luar, wajah tirusnya terpantul di kaca jendela. Andai saja suaminya tahu bahwa Midah juga menyesal telah memenuhi permintaan ibu untuk menikah tanpa berpikir dua kali.
***
Setiap Midah pulang kerja, ibu tak pernah berhenti bercerita tentang tetangga yang anak gadisnya sudah menikah dan punya cucu. Ibu selalu merasa ia lebih layak jika dibandingkan dengan tetangga. Awalnya Midah tidak menggubris, hingga ibu bercerita mengenai mimpinya.
“Tadi malam ibu mimpi.”
“Mimpi apa?”
“Almarhum kakek datang, ia bertanya mengapa kamu dibiarkan telanjang, padahal almarhum nenek meninggalkan banyak kain tenun di lemari. Harusnya ibu memberimu satu.”
“Memangnya ibu mimpi aku telanjang? Terus dikasih tidak tenunannya buatku?” Ibu membuang napas panjang. Melengos pergi. Ibu tahu Midah keras kepala. Tapi bagi Midah, mimpi ibu sebuah pertanda.
Midah sendiri lupa sejak kapan mimpi tak sekadar bunga tidur. Tidak semua mimpi, hanya beberapa. Barangkali ketika Midah bermimpi gigi gerahamnya patah, dan sepuluh menit kemudian adik laki-lakinya memberi tahu bahwa nenek meninggal dunia. Atau saat Midah bermimpi menggunting sendiri rambut panjangnya, lalu hal buruk bertubi-tubi menimpa.
Dengan berat hati Midah memutuskan untuk menikah. Menikah dengan laki-laki yang bahkan ia sendiri tidak yakin apakah mencintai atau sekadar menyukainya. Midah hanya tahu laki-laki itu begitu tergila-gila padanya. Sejak pertemuan pertama mereka, ribuan pesan, sambungan telepon, kunjungan, juga hadiah kecil tak berhenti Midah terima darinya. Midah menikah karena ia yakin pertanda lewat mimpi ibu, dan lelaki itu terlihat mencintainya. Bagaimana dengan perasaan Midah? Bukankah perempuan makhluk paling fleksibel untuk urusan hati? Perempuan akan dengan mudah mencintai karena terbiasa, begitu pikirnya.
Ibu senang bukan kepalang. Pesta meriah digelar dan dihadiri banyak tamu. Ibu tak henti-henti tersenyum. Pamer keberuntungan; anak perempuan yang cantik, karier bagus, mapan, dan akhirnya menikah. Pujian membanjiri. Seakan bahagia memiliki parameter baru.
***
Telepon genggam bergetar berulang di kantung celana, membuyarkan lamunan Midah. Ia merogoh kantong. Midah menghela napas dalam-dalam. Satu pesan pendek. Sudah tentu dari ibu, batinnya. Siapa lagi yang tahu nomor ponsel Midah selain suami dan ibu. Midah berkali-kali berusaha menghindari ibu dengan mengganti nomor ponsel. Lidahnya kelu karena rentetan pertanyaan ibu. Kapan rumput itu kamu pangkas, Midah? Tetangga sudah banyak yang menegur ibu soal rumput di pekaranganmu. Pesan malam ini pun sama. Sekali lagi ibu ingatkan atau ibu sendiri yang akan membersihkannya. Midah melempa ponsel ke dalam genangan air di wastafel dengan rasa kesal.
“Ibu mimpi Mid, kamu dan suamimu bangun rumah di sebelah. Kita bertetangga.”
Jantung Midah berdegup tak menentu. Tidak seperti lars tentara dalam barikade. Juga tidak seperti bunyi bedug azan di masjid. Bagaimana kalau ibu tahu jika mereka berencana keluar dari rumah ini? Pikir Midah.
Midah dan suami menemukan sebidang tanah di pinggir kota. Agak terpencil, tapi ia suka. Midah berkeras ingin jauh dari rumah ibu. Dan tempat baru itu lebih dekat dengan kantor suaminya. Mereka akan segera pindah.
“Kenapa jauh-jauh ke sana, Mid? Di sebelah, sewa rumahnya lebih murah.”
“Tapi Bu, aku dan Mas Eky sudah memutuskan. Tabungan kami cukup kok.”
“Nanti biar ibu yang bicara sama Eky. Lagi pula coba kamu perhatikan rumah di sebelah, pekarangannya luas. Kamu bisa menanam apa saja di sana: bunga, bawang, tomat. Kamu suka berkebun, bukan?”
Nyatanya Midah tidak suka berkebun. Ibu tidak tahu atau tidak mau tahu. Ibu suka berkebun. Midah tidak. Midah terlihat suka karena Ibu. Setiap pagi Midah harus menyiram, menyiangi, memberi pupuk, menyetek, mencangkok, hingga memanen. Ketika Midah sibuk bekerja, tetangga lewat menyapa sekadarnya. Wah, rajin sekali. Pasti bangga kamu punya putri yang telaten berkebun. Selalu pujian bernada sama. Midah pikir, sebuah cara klasik untuk dapat hasil panen cuma-cuma dari ibu. Ibu suka pujian belaka.
Midah dan suaminya pun mengalah. Pindah ke rumah baru persis di sebelah rumah ibu. Rumah yang kemudian menjadi bahan pertengakaran antara Midah, ibu, juga suaminya.
Kemarin malam Midah bermimpi. Ia didatangi rumput-rumput di pekarangan. Ia berbicara dengan rumput. Tak tahu menggunakan bahasa apa. Hanya ia mengerti percakapan mereka, pun sebaliknya. Rumput-rumput itu mengajak Midah berjalan-jalan ke pantai. Ah, pantai. Midah suka pantai. Ia suka laut. Ia suka berenang, menyisakan lelah di bibir pantai.
Midah suka laut. Ketika di tengah laut, ia tidak memiliki ikatan, tidak ada ketergantungan, sendiri. Jauh di luar jangkauan apa pun dan siapa pun. Hanya kekosongan yang membentang.
Midah menatap jauh. Rumput di pekarangan sudah tinggi. Rumahnya memiliki pekarangan luas. Awal kepindahan, pekarangan dibiarkan kosong, tanpa tanaman, tanpa hiasan, hanya sebatas tanah hitam yang akan becek saat hujan deras. Di sana ada kursi dan meja taman, sebuah ayunan dan cahaya lampu untuk ia menulis sampai larut malam. Ia tidak berencana untuk menambah apa-apa lagi. Midah merasa nyaman dengan pekarangannya. Suatu pagi ibu berkunjung, membawa gerobak dipenuhi tanah gembur, pupuk, bermacam-macam bibit bunga.
“Mid, kenapa kamu biarkan pekarangan kosong begini? Sayang tanah begini luas tidak ditanami. Biar ibu yang hias, ya?” Midah mendengus. Mereka berdebat, tapi ibu cepat mengalah. Gerobak dibiarkan di sudut pekarangan. Menjelang senja, Midah asyik menutupi seluruh permukaan pekarangan dengan rumput. Ia beli dari tukang bunga di belokan jalan.
Ia tidak menanam bunga atau batang pohon buah. Midah hanya menanam rumput. Gerobak dari ibu masih berada di sudut pekarangan. Ibu kecewa, tetapi pekarangan Midah sudah hijau.
Tapi, persoalan lain muncul. Midah menolak memangkas rumput di pekarangan. Menyiram pun ia tak mau. Menurut Midah, itu bisa dilakukan suaminya. Apa lagi yang bisa dilakukan laki-laki itu selain makan, berangkat ke kantor, membaca koran, sibuk dengan gadget, lalu sesekali menidurinya. Suaminya tidak pernah sekali pun melakukan hal remeh soal domestik.
Bahkan menaruh sepatu ke rak pun ia tak mampu. Kesibukan di kantor sering menjadi alibi. Midah juga bekerja, tidak hanya di rumah, pikirnya. Ia harus melakukan semua pekerjaan sekaligus. Tapi setiap kali dimintai bantuan menyiram atau memotong rumput, jawab suaminya selalu lelah. Ah, barangkali suaminya lelah selepas menunggangi kuda betina yang seksi dan montok di tempat kerjanya. Atau karena harus berpindah dari satu hotel ke hotel lain setiap hari. Dan, Midah sudah beberapa kali memergoki mereka.
Rumput pekarangan semakin tak terurus. Sulit membedakan rumput atau gulma yang nyaris menjangkau kusen jendela. Midah membiarkannya, hingga ia bermimpi. Mimpi berjalan-jalan ke pantai bersama rumput-rumput.
Sepanjang lorong suaminya menggerutu. Sekali-dua kali berteriak memanggil. Midah tak menyahut. Ia hanya menemukan lantai digenangi air yang tumpah dari keran westafel yang dibiarkan terbuka.
Kepingan kaca dan sisa makan malam lalu yang menghantam punggung Midah berhamburan di sana. Segera suaminya menutup keran tanpa berhenti merutuk dan mengumpat.
Dibukanya pintu belakang. Jidatnya berkerut. Pekarangan bersih seperti sediakala. Tak sehelai rumput pun di sana. Hanya tanah hitam. Ia berlari menuju teras rumah. Pemandangan yang sama. Tak ada rumput, juga tak ada Midah. Mereka telah pergi, bertamasya, menuju laut. (*)
Yona Primadesi menulis puisi, cerpen, dan esai. Menetap di Bandung.
Leave a Reply