Cerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 24 Juli 2016)
SIAPA yang tak mengenal Salgi? Perempuan itu sekarat selama 20 tahun dan sepertinya belum akan mati hingga beberapa tahun yang akan datang. Di rumah yang terbuat dari kayu tenam, ditemani lelaki yang pernah mencintainya (lelaki itu kini duduk menungguinya, meski hati dan pikirannya berlayar ke laut jauh), sepanjang waktu Salgi telentang dengan mata lebih banyak tertutup dan tubuh yang diam. Hampir semua kulit punggungnya hitam dan mengelupas akibat tidur yang panjang itu hingga memperlihatkan beberapa bagian daging merah pucat. Kuku-kukunya bulat berwarna kehijauan seolah akan segera meletus dan mengeluarkan cairan busuk. Kepalanya sudah lama sekali botak, menyisakan rambut tipis tak merata mirip bulu anak burung baru keluar dari cangkang telur.
“Jangan bodoh, Sayangku. Seharusnya kau menyerah saja. Kematian jauh lebih indah ketimbang sekarat selama puluhan tahun,” tukas lelaki kurus dengan urat-urat biru menyembul di balik kulit pelipisnya. Sebenarnya ia tidak tahu apa benar kematian itu lebih indah atau tidak. Ia belum pernah mati. Jadi jelas ia berbohong.
Ia menyiapkan bubur yang semakin hari dibuat semakin encer dan memasukkannya secara paksa ke mulut Salgi yang kering dan gelap. Pada sendokan keempat, Salgi benar-benar menolak membuka mulutnya lagi. Dengan putus asa lelaki itu bergumam, apa yang kau lakukan padaku ini, Salgi? Ia tidak ingin kelalaiannya menjadi penyebab kematian Salgi. Untuk itu ia belajar menyuapi Salgi dengan sabar bagai merawat bayi sambil terus melafalkan doa agar perempuan itu segera mati pada sebuah pagi dan semuanya menjadi selesai sebagaimana yang diharapkannya selama ini dan ia bisa pergi lagi ke tempat seharusnya ia menghabiskan masa hidupnya.
Akan tetapi, ternyata, Salgi perempuan paling keras kepala yang pernah dikenalnya. Perempuan itu tetap menutup mata, diam, dan tidak mati-mati. Ia seolah sengaja melakukannya untuk menahan lelaki itu tetap di dekatnya; melupakan bau angin laut, ikan-ikan, udang berkulit kemerahan dengan punggung yang membungkuk, perempuan sepanjang pesisir tempat ia melabuhkan kapalnya untuk beristirahat sambil pesta minuman keras, badai yang menawarkan kebebasan sekaligus mengandung bahaya yang menantang. Hanya dengan cara tidur panjang Salgi bisa menahan lelaki itu, membuat si pelaut tak pernah ke mana-mana sebab suatu kali lelaki itu bersumpah hanya akan kembali ke laut setelah jiwa Salgi dicabut oleh kematian.
Lelaki itu mungkin tidak tahu bahwa Salgi, dalam tidur panjangnya, juga telah melafalkan doa-doa agar Tuhan tidak segera mengambil kehidupan dari tubuhnya—bahkan sampai tubuhnya membusuk sekali pun. Seandainya Salgi diberi kemampuan menentukan hari kematian sendiri, perempuan itu tak akan pernah melakukannya. Perempuan paling bodoh pun akan punya cara menggenggam sebuah cinta yang ia inginkan. Sesuatu yang sering dianggap remeh oleh lelaki sedang jatuh cinta mana pun.
Cinta itu gila, Bogo, bisik Salgi suatu malam saat mereka tidur bersama pertama kali. Malam ketika lelaki itu berjanji melepaskan dunianya selama Salgi bersamanya (lihat, betapa cerobohnya lelaki itu). Kita yang gila, Salgi, kita yang gila, balas Bogo seolah tengah bercanda terhadap kehidupan. Ia tak pernah menyangka kalau kegilaan itu kemudian ditunjukkan oleh Salgi dalam sekarat selama 20 tahun dan ia terjebak bersamanya; Salgi yang tidur sepanjang tahun-tahun yang kering, tidak hidup, tidak mati. Musim tak pernah berganti sejak itu. Angin berbelok arah ke tempat-tempat lain seolah tak ingin tercemar bau busuk perempuan sekarat itu. Orang-orang mulai menganggap Salgi sebagai sebuah kutukan yang mengerikan. Sawah-sawah mengering. Sungai-sungai menyisakan hamparan batu yang berdebu.
Cinta itu gila, Bogo, kembali suara itu berdengung di kepala si pelaut dan ia mendesah berat. Betapa selama ini mereka berdua sudah menjelma hantu dan orang-orang telah lama menjauhi rumah mereka.
Lalu yang tersisa dari cinta mereka adalah dunia kecil sunyi.
***
Tak ada satu orang pun yang tahu Salgi datang dari mana. Ia tiba-tiba ada di kampung itu. Seolah kehadirannya tak lebih dari bagian dari kedatangan orang-orang luar untuk bekerja sebagai buruh proyek pembangunan jalan atau para tukang kredit dari Utara yang membawa buntalan kain di bahu mereka dan berjalan dari kampung ke kampung sekali dalam seminggu dengan buku tagihan di tangan. Beberapa dari orang-orang itu memilih menetap, menjadi bagian dari kehidupan kampung, bahkan menikah, dan membangun keluarga. Namun, Salgi tentu saja bukan bagian dari orang-orang itu. Ia datang sendirian pada sebuah pagi bersamaan dengan turunnya embun serupa beteri yang keluar dan melarikan diri dari sebuah dongeng yang lupa ditutup oleh seorang ibu yang tertidur begitu saja dengan anak-anak berjatuhan di ujung kakinya.
Ketika Salgi membuka mata pertama kali, sebutir air di daun keladi membelah diri dan masing-masing jatuh ke dalam dua buah matanya dan ia merasakan sensasi segar di seluruh tubuhnya dan ia mulai mengedip-ngedipkan mata lalu mencatat hari itu sebagai hari kelahirannya.
***
Lelaki pelaut itulah yang menemukan Salgi di dekat rimbunan keladi tempat anak-anak sering membawa anak ayam atau burung yang sekarat dan menghidupkannya kembali dengan cara menutupinya dengan daun keladi paling lebar. Masih pagi sekali ketika itu dan si lelaki baru kembali dari kampung pesisir tempat ia menambatkan kapal kecilnya dengan tubuh asin dan amis dan mulut bau minuman keras. Ia pulang untuk sekadar melepaskan rindu kepada orang-orang dari masa kecilnya, sekadar menyiangi kuburan ayah ibunya yang meninggal karena wabah muntaber, dan berencana pergi lagi pada bulan berikutnya.
Hanya saja, barangkali benar kalau hari itu ia setengah mabuk dan menyangka baru saja menemukan seorang bidadari yang jatuh dari pintu langit. Salgi dibawanya pulang bersamanya. Perempuan itu tidak bicara satu kata pun. Tak menolak. Tak memberontak. Ia seolah tahu seseorang memang akan menemukannya dan kepada orang itu ia akan menghabiskan hidupnya. Seperti yang dilakukan Puteri Bungsu ketika Bujang Bekurung mencuri selendangnya dan membuat ia tidak bisa lagi terbang ke kahyangan. Begitu pula Salgi, ia tahu, satu-satunya takdir yang akan ia jalani adalah hidup bersama pelaut itu.
***
Dan orang-orang kampung itu tidak ingin peduli Salgi datang dari mana. Memikirkannya saja tidak, sebab sihir Salgi telah membutakan orang yang memandangnya. Bahkan seandainya Salgi lahir dari perut seekor anjing mereka bisa menerimanya. Kulit Salgi yang licin berwarna gading, mata jernih, hidung bangir, dan sederet gigi putih menjadikan Salgi perempuan paling cantik di kampung mereka. Ia sedemikian populer hingga seekor burung beo pun sering meneriakkan namanya di tengah hari dan orang-orang tak merasa terusik mendengarnya. Setiap orang memimpikan Salgi. Setiap orang menyimpan nama itu di sudut hati. Membisikkan namanya diam-diam sambil masturbasi di tempat-tempat sepi.
Salgi.
Salgi.
Salgi.
Betapa mereka tak pernah bosan menghiasi bibir dengan nama itu. Betapa mereka menanggungkan sakit karena merasa tidak akan pernah bisa memiliki perempuan itu. Hanya Bogo, Salgi sering berkata. Ia tak akan pernah mengkhianati janji hati di hari kelahirannya saat Bogo menemukan dan membawanya pulang.
Akan tetapi, pada akhirnya, seorang pelaut tentu tetaplah pelaut. Ia yang sebebas angin. Ia yang tak bisa hidup tanpa bertemu badai. Seiring tahun-tahun berjalan, Salgi merasakan kalau hati lelaki itu tak lagi bersamanya. Maka, Salgi mulai merencanakan tidur panjangnya. Ia mengambil selembar tikar pandan dan menggelarnya di lantai kayu. Di atas tikar itu, ia telentang. Diam dan menakutkan.
Sampai di tahun ke-20, Salgi masih telentang di tikar yang sama dan tak jauh darinya Bogo menjelma lelaki tua dengan rambut abu-abu yang setiap empat jam sekali memaksa Salgi membuka mulutnya dan memasukkan sesuatu ke dalamnya—lebih sering bubur encer, terlalu encer. Dari dada Bogo yang tipis kadang tertengar suara batuk yang menyakitkan, mengisyaratkan sebuah penderitaan atas sebuah kekalahan besar dalam hidupnya.
***
Hingga, di satu sore yang lebih kering dari hari sebelumnya, seorang anak kecil yang bermain sembunyi-sembunyian telah tersesat di rumah kayu tua itu dan menemukan dua tubuh tua tidur berjajar di atas tikar pandan. Mata anak itu terbeliak saat ia melihat ratusan atau barangkali ribuan semut mengerubungi dua tubuh yang mungkin sudah jadi mayat itu. Semut-semut yang keluar masuk dari lubang hidung, mata, telinga, dan bagian tubuh lainnya.
Bocah itu segera menjerit-jerit, membuat kampung seketika gempar. Kejadian itu segera mengembalikan ingatan orang-orang kepada sebuah rumah kayu tua; kepada Salgi. Perempuan yang nyaris tidak mereka pikirkan lagi setelah bertahun-tahun sekarat dan tak tampak berguna selain mendatangkan nasib buruk dan musim kering tanpa akhir dan membuat para lelaki bercinta dengan pohon sambil memelihara bayangan perempuan itu di masa lalu.
Sementara, semut-semut terus keluar masuk dalam iring-iringan yang tak putus-putus, semakin ramai, semakin rapat, berkerumun di tubuh Salgi dan Bogo yang tampak sangat lapuk. Tubuh yang dikerubungi semut itu tentu saja belum mati. Dan mereka tidak akan mati dalam waktu dekat. Paling tidak itu yang diinginkan Salgi.
“Kau membuatku ingin menangis, Salgi,” bisik Bogo sambil merasakan semut menggigiti kelopak matanya. “Aku belum pernah melakukannya seumur hidupku, aku belum pernah menangisi apa pun.”
Salgi diam. Selalu diam. Dan Bogo terisak-isak bagai anak kecil di depan seorang bocah yang tak kuat lagi menahan kakinya yang gemetar. ***
GP, 2016
Yetti A.Ka, kumcer terbarunya Penjual Bunga Bersyal Merah (Diva Press, 2016). Tinggal di Padang, Sumatera Barat.
Aulia
Kasih analisis cerpennya dong kayak alur, tokoh, tempat, dll