Cerpen Kurnia Gusti Sawiji (Suara Merdeka, 24 Juli 2016)
Jati diri hilang di stasiun kereta api. Tidak ada yang tahu apakah barang itu hilang di tengah keramaian peron atau terseret kereta api. Tidak ada yang tahu atau mau tahu, kecuali seorang penjaga loket tiket.
Ia adalah seorang lelaki paruh baya yang sudah menjaga loket semenjak ia masih akil baleg. Adalah ayahnya yang menurunkan pekerjaan itu kepadanya, dan adalah kakeknya yang menurunkan pekerjaan itu kepada sang ayah, dan begitu seterusnya berurut ke atas. Singkat kata, pekerjaan menjaga loket tiket adalah sebuah pekerjaan turun-temurun, dan kelak ia juga akan menurunkan pekerjaan ini kepada anak lelakinya yang tak lama lagi akil baleg.
Stasiun ini padat. Karena sesungguhnya, sesiapa yang ingin pergi ke tempat-tempat yang jauh harus berangkat dari sini. Karena kepadatan dan keramaiannya yang tidak terkira, maka setitik kecerobohan bisa mengakibatkan kehilangan. Biasanya ketika seseorang mengalami kehilangan, mereka akan melaporkannya kepada petugas keamanan, yang lalu akan mengumumkannya di ruang kendali yang terhubung dengan pengeras-pengeras suara yang dipasang di berbagai penjuru stasiun. Namun walau begitu, tidak akan ada yang peduli, karena para musafir sudah memiliki tujuannya masing-masing. Maka dengan seiring waktu berjalan, seseorang yang mengalami kehilangan itu pun akan memasrahkan barangnya yang hilang dan bergegas menuju tujuannya sendiri.
Semenjak ia berada di stasiun ini pertama kali, sudah banyak kehilangan terjadi. Ayahnya pun mengatakan kepadanya bahwa di zamannya dulu, kehilangan sudah seringkali terdengar di pengeras-pengeras suara itu. Barang-barang yang hilang beraneka ragam, mulai dari cinta hingga impian. Sebanyak itu barang yang hilang, sebanyak itu pula yang tidak ditemukan, dan sebanyak itu pula orang-orang yang tidak peduli dengan kehilangan tersebut. Seolah-olah kehilangan adalah sesuatu yang wajar terjadi di sebuah stasiun kereta api, tempat dimana orang-orang akan menuju tujuan yang lain ketika ia merasa tujuan lamanya yang sudah ia tempati tak lagi sehati dengannya.
Namun kehilangan siang ini membuat penjaga loket bergetar hatinya. Ada sebuah luapan tak terbendung di dadanya yang membuatnya merasa harus menemukan barang yang hilang itu. Namun ia tidak bisa meninggalkan loketnya. Sudah tugasnya untuk menjadi perantara antara para musafir dan tujuan mereka masing-masing. Selangkah saja ia keluar dari loket itu, para musafir takkan bisa mencapai tujuan mereka. Maka, ia pun memutuskan untuk bermalam di stasiun yang memang berhenti beroperasi pada tengah malam selama enam jam, dan tidak ada musafir yang bepergian pada waktu itu.
Si penjaga loket sebenarnya juga tidak mengetahui luapan mendadak di hatinya. Ia sudah mendengar banyak kehilangan. Memang, hilangnya sebuah jati diri kini adalah yang pertama yang ia dengar, namun apakah ini pernah terjadi sebelumnya, ia tidak tahu. Namun bagi si penjaga loket, keduanya sama mengerikannya. Maka itu, ia harus menemukannya, lalu menjaganya dengan tangannya sendiri.
Malam pun tiba. Stasiun sudah tutup. Dalam keheningan ini, penjaga loket pun memutuskan untuk tetap berada di stasiun. Setelah menelepon keluarganya dan mengatakan bahwa ia tidak dapat pulang hari ini karena suatu perkara penting, ia berdiri dan melihat-lihat ke sekeliling stasiun. Setelah menghirup nafas panjang, ia pun mulai berjalan mengelilingi stasiun dan memeriksa bagian-bagian tersembunyi di seluruh sudut stasiun; kolong, tempat sampah, hingga rel. Namun, tidak ia temukan apa-apa. Tapi ia belum mau menyerah.
Selagi ia mencari-cari, ia bertemu dengan seorang tukang sapu yang jauh lebih tua darinya. Seketika ia terkejut, namun ia teringat bahwa ayahnya juga pernah bercerita tentangnya; seorang tukang sapu yang umurnya hampir sama dengan stasiun ini dan hanya keluar ketika di malam hari, ketika para musafir tidak ada dan penjaga loket sudah pulang. Satu-satunya bukti keberadaan yang jelas darinya adalah kebersihan stasiun di pagi hari.
“Selamat malam, Pak! Tumben tidak pulang? Ada urusan apa? Kok kelihatannya sedang mencari-cari sesuatu?” tanya tukang sapu, memecah keheningan.
“Aku sedang mencari jati diri yang hilang siang tadi. Aku ingin menyimpannya dan memberikannya kepada orang lain. Tetapi jika tidak ada yang mau, biarlah ia tersimpan dengan baik, daripada tercicir karena seseorang yang tidak bertanggung jawab,” balas penjaga loket.
“Oh, pengumuman tadi siang ya? Memang ini pertama kalinya ada yang kehilangan jati diri. Tapi di zaman sekarang, saya kok tidak merasa heran ya?” ucap tukang sapu.
Penjaga loket bergidik dan termenung sementara. Ia lalu bertanya, “Maksud Bapak apa? Mengapa tidak heran?”
“Para musafir zaman sekarang memiliki pendirian yang lemah. Kebanyakan mereka sudah memilih suatu tujuan, namun ketika menjalaninya, mereka cepat menyerah dengan berkilah bahwa tujuan itu tidak sesuai dengan diri mereka. Padahal tujuan baru yang mereka pilih pun belum tentu sesuai dengan diri mereka. Mereka hanya ingin mencari tujuan yang mereka inginkan, bukan yang mereka butuhkan. Maka itu, pengorbanan yang terjadi pun semakin besar,” jawab tukang sapu.
“Pengorbanan? Pengorbanan apa?”
“Oh? Bapak tidak tahu ya? Sebenarnya, semua musafir yang datang ke stasiun ini akan mengalami kehilangan, dan itu mereka sengajakan. Sebab itulah dinamakan pengorbanan. Mereka yang datang ke stasiun ini untuk berpindah ke tujuan yang lain melalaikan satu atau lebih barang mereka supaya hilang. Apa yang diumumkan dari ruang kendali hanya sebagian kecil dari kehilangan di stasiun ini.”
Penjaga loket benar-benar kaget akan apa yang ia dengar, sehingga ia terduduk di lantai tempat ia sedang mencari-cari. “Lalu, apa bedanya antara kehilangan yang lain dan yang diumumkan?” tanyanya lemah.
“Mereka yang meminta untuk diumumkan kehilangannya adalah para musafir yang pengecut. Mereka tidak kuat dengan tujuan yang sedang mereka jalani, namun untuk berpindah ke tujuan lain juga separuh hati. Mereka mengharapkan simpati dengan meminta tolong mengumumkan kehilangan mereka, mengharapkan ada musafir yang mau peduli dan mencarinya, lalu membujuknya untuk tidak berpindah tujuan,” jawab tukang sapu.
“Untuk apa mereka capek-capek membawa barang-barang yang pada akhirnya mereka lalaikan supaya hilang di stasiun?” tanya penjaga loket lemah dan bingung.
“Hakikat manusia memang begitu. Tidak mudah meninggalkan sesuatu yang awalnya merupakan tujuan kita. Tapi untuk berpindah ke tujuan lain, semua yang berhubungan dengan tujuan lama harus ditinggalkan. Atas alasan itu, saya terkadang lebih suka menganggap stasiun ini sebagai tempat perpisahan, bukan tempat kehilangan atau pengorbanan.”
“Lalu, barang-barang yang hilang itu kemana?” tanyanya lagi.
“Tidak tahu. Saya tidak pernah menemukannya.”
Penjaga loket masih termenung lemah. Jati diri itu bukan miliknya, tidak ada hubungan apa-apa dengannya, dan ia tidak akan diuntungkan atau dirugikan karenanya. Tapi tidakkah menyedihkan jika seseorang, hanya karena ia terlalu cepat menyerah menjalani suatu pilihan yang ia pilih sendiri, harus mengganti dirinya sendiri untuk sesuai dengan tujun barunya yang juga ia pilih sendiri. Lalu bagaimana jika tujuan yang ini juga sulit dijalani? Apakah seseorang itu harus mengganti dirinya berulangkali? Lalu, apakah dirinya yang sesungguhnya?
Tapi penjaga loket masih tidak menemukan apa kaitan hal tersebut dengan dirinya. Mungkin, apa yang ia inginkan adalah menemukan jati diri yang hilang itu lalu mencari siapa pemiliknya. Ia bisa bertanya kepada petugas keamanan siapa yang meminta diumumkan kehilangannya siang tadi, lalu ia bisa mengetahui kemana ia pergi karena bagaimanapun, ia adalah satu-satunya perantara antara para musafir dan tujuannya masing-masing. Ia akan meminta izin kepada keluarganya untuk pergi beberapa bulan lamanya, mereka pasti memaklumi. Ia akan menemui pemilik jati diri itu dan memberikan jati dirinya.
“Ah, Pak. Sebentar lagi stasiun akan dibuka. Sebaiknya Bapak ke loket. Bukankah itu adalah tugas yang harus dijalankan? Tugas yang sudah mendarah daging dalam diri Bapak secara turun-temurun?” ujar tukang sapu, namun tidak dipedulikan oleh penjaga loket.
Penjaga loket lalu pergi ke loket hanya untuk menutup jendelanya. Ia lalu berkemas, menelepon keluarganya, dan pergi ke ruang kendali. Disana ia bercakap-cakap dengan petugas dan sudah diketahuinyalah orang yang meminta diumumkan kehilangan jati dirinya itu. Setelah ia periksa pergi kemana orang itu, ia pun menunggu kereta di peron. Pada pukul enam pagi, kereta pertama datang, dan ia pun menaikinya. Kepada masinis ia katakan untuk langsung pergi, dan masinis mematuhinya.
Dari jendela kereta, ia melihat para musafir berduyun-duyun datang. Mereka panik ketika melihat loket tutup. Penjaga loket hanya tersenyum tipis. Dalam hati, ia merasa sedikit senang telah menghukum para musafir yang terlalu gampang menghilangkan barang-barangnya. Maka, ia pun melaju menuju tujuannya di antah berantah. (92)
Kuala Lumpur, Juli 2016
Kurnia Gusti Sawiji, lahir di Tangerang, 26 November 1995. Kini ia sedang studi Fisika di Fakultas Sains Universiti Malaya, Malaysia. Ia aktif dalam kegiatan menulis dan bergabung dalam grup kepenulisan FAM (Forum Aktif Menulis) Indonesia dan komunitas penulis muda UNSA. Cerpen terbarunya termuat dalam antologi Orang Bunian (Unsapress, 2016). Ia pernah meraih Juara III penulisan esai se-ASEAN yang diadakan Universitas Diponegoro, Semarang dan juara favorit dari lomba menulis cerpen tingkat nasional yang diadakan Rayakultura.
Leave a Reply