Cerpen Risda Nur Widia (Jawa Pos, 31 Juli 2016)
INILAH kematian paling indah yang terjadi pada peradaban manusia. Tangisan. Kepala pecah diterjang peluru. Darah menyemburat seperti percik petasan tahun baru di langit-langit kota. Bilik-bilik rumah kayu tenggelam dalam abu kehancuran musim dingin di bulan Desember. Dan kau terjebak sebagai seorang Wehrmacht [1] dalam drama kematian ini. Tidak ada lagi doa yang pantas dijabarkan untuk menyelamatkan semua kehancuran ini. Bahkan para serdadu menganggap bahwa: Tuhan sudah enggan ikut campur dalam pertempuran penghabisan di Stalingrad.
Peperangan ini telah merenggut banyak nyawa. Mungkin juga kematian ini sudah dituliskan di almanak waktu, dan musim dingin di Stalingrad, kota Stalin, Volga, adalah saksi ketika kesedihan menggumpal; meresap, menjadikannya serpihan-serpihan udara hingga gugur bersama salju. Untuk membayangkannya kau tidak sanggup. 200 ribu lebih serdadu terbaik Jerman bertempur sia-sia. Bahkan seperti boneka kau berjejal bersama puluhan serdadu di gorong-gorong yang dibuat untuk menghalau musuh di sepanjang Sungai Don, di sisi utara Volga; sekaligus menjadi pemakaman bagi tubuh-tubuh itu bila sewaktu-waktu ajal merenggut nyawa. Di tengah gempuran peluru ratusan Red Army [2], Rusia, yang mengepung sisi lain sungai, kau melihat wajah-wajah murung.
Kananmu misalnya. Ia tidak berminat lagi menembakkan senapannya. Jiwanya telah membeku. Pria itu memilih menulis surat kepada kekasihnya; secarik pesan terakhir yang diharapkan mampu meredam rasa rindunya. Pun yang terjadi dengan seorang pria paro baya di samping kirimu. Ia lempar senjata jauh lantas memandang lelah foto keluarganya. Kata pria itu kemudian: “Sudah habis riwayatku! Tiada makan malam bersama kalian, Sayang!”
Bahkan di antara keputusasaan itu ada seorang yang nekat menembak kepalanya sendiri. “Kekuasaan telah membunuh jiwaku! Membusukkan tulang-tulangku!”
Menangis sudah tidak mungkin. Kau–kalian—hanya bisa mengumpat: Kekacauan ini dimulai oleh ambisi satu orang hingga akhirnya menyeret banyak jiwa. Kediktaktoran penguasa Jerman, Hitler, yang ingin menghancurkan ras Yahudi dan ras-ras rendah Timur, serta permusuhan alami fasis Jerman dengan komunis Rusia telah meletakkan kau dan kawan-kawanmu dalam posisi yang demikian sulit. Tidak ketinggalan arogansi Hitler yang ingin mendobrak sejarah sebagai satu-satunya penguasa yang berhasil mengalahkan Rusia. Sesuatu yang gagal dilakukan Napoleon Bonaparte. Maka, pada musim panas 1941, diluncurkanlah Operasi Barbarossa. [3]
Ribuan Wehrmacht digiring menyisiri setiap lembah dan sungai untuk membunuh apa saja. Sekitar lima korps angkatan darat, tiga belas infantri, tiga divisi berpanser, tiga divisi bermotor, dan satu divisi anti-pesawat dikerahkan menuju Volga, Stalin. Pasukan itu membentuk Angkatan Bersenjata Jerman ke-6 yang dipimpin oleh Jenderal Federick Von Paulus. Kesatuan terbesar yang diturunkan Nazi untuk menaklukkan kota Rusia.
Stalingrad yang membentang sepanjang lebih dari 20 mil ke utara dan selatan dengan sungai yang panjangnya lebih dari dua mil di sisi kota, awalnya adalah perjalanan menarik. Biru langit mengiringmu pada awal perjalanan. Kau pun banyak melintasi desa; melihat pohon mapel di musim semi dengan tupai melompat; musim gugur yang merontokkan daun dan bunga-bunga tulip di lembah. Dari semua diorama itu kau sering menuliskan puisi yang akan kau bacakan kepada kekasihmu setelah perang. Namun semuanya hanya angan-angan. Peperangan mengacaukan segalanya.
Apalagi berbekal kemenangan pada musim panas lalu atas negara-negara Barat dengan serangan kilat yang disebut dengan: Blizkrige [4], pemimpin Nazi itu ingin melebarkan kekuasaannya. Penguasa berkepala batu itu –Hitler—mengirimmu bersama ribuan serdadu ke lembah-lembah di Timur. Para Wehrmacht seolah membawa tugas berat untuk menguasai Kota Stalin. Sesaat kau pun termenung. Kau sadar betapa kekacaun ini begitu nyata. Gerammu kemudian: “Perang telah merusak jiwaku! Mengoyak impianku!”
***
Tembakan terdengar sepanjang hari. Pasukan divisi ke-6 menipis. Korban berjatuhan. Pernah beberapa kali kalian mencoba mendesak Jenderal Frederich untuk menyanggupi desakan dari Jenderal Zhukov, pemimpin perang Red Army. Namun Hitler menolaknya. Kau dan serdadu lainnya tidak diperbolehkan menarik selangkah kaki dari divisi ke-6. Kau dan kawan-kawanmu dipaksa bertahan, dan menyaksikan kota menjadi rata karena kemalangan. Bahkan ketika kau menyisir kota, sering kau mendapati banyak jiwa terenggut. Malang.
Sungguh sial nasib ratusan mayat yang berserak itu. Tidak terhitung jumlahnya: tubuh-tubuh itu koyak dengan isi perut terburai, wajah berlumur darah tanpa sepasang bola mata atau telinga, bahkan sering kau mendapati seorang serdadu yang mengerang setelah separo tubuhnya hancur terkena bom. Kau ingin menangis melihat itu semua. Namun air mata sudah tidak lagi berharga. Air mata hanyalah sebuah kekalahan lain.
Kau memandang Kota Volga. Di kejauhan tampak seorang Weh rmacht yang menggeliat-geliat; meraung menahan sakit. Ia terkena serpihan bom dari serombongan pesawat yang dimaksudkan untuk membebaskan para Wehrmacht. Serangan Luftwaffe [5] memang membuka sedikit jalan bagi pasukan Jerman. Namun pesawat-pesawat yang dipimpin oleh Goering tidak hanya membunuh para Red Army. Serangan itu berhasil menumpas juga para Wehrmacht di lapangan pertempuran.
Matamu memanas. Kau mengerling pada senapanmu. Entah sudah berapa kali moncong senapan itu menembus kepala pasukan Red Army; membuat tanah tertutup putih salju itu menjadi merah. Tidak ada juga sedikit pun rasa bangga telah menumpas orang-orang yang tidak memiliki salah kepadamu itu. Malah rasa dosa yang menumpuk. Bahkan kau ingat pernah menggunakan senjata ini untuk membunuh seorang serdadu tak berdaya di Balka. Di sabana yang terletak 12 mil dari kota dengan tebing curam. Di sanalah kau harus membunuh sahabat terbaikmu.
Kau ingat, setelah pengepungan segerombol pasukan Red Army, tank dari divisi enam terkena bom. Bom itu meluluhlantakkan kendaraan baja tersebut. Kabut menyelimuti. Kau menyibaknya, lantas mendapati Collin—sahabatmu—meregang dengan tubuh separo menggantung di badan tank. Kakinya matang terbakar. Separo tubuhnya koyak terkena serpihan bom. Namun, Tuhan masih memberinya nyawa. Pria itu mengerang kesakitan.
“Ia tidak akan bertahan,” kata seorang Wehrmacht lain. “Lekas bunuh dia!”
Kau terperangah. Rasanya tak mungkin kau membunuh sahabatmu sendiri. Teman masa kecilmu. Kau pun tidak tahu: Apa yang kau katakan nanti kepada ibunya di rumah? Wanita tua yang kini hidup seorang diri karena sudah tidak memiliki suami itu pasti sangat gelisah. Hancur pula hatinya saat dihadapkan pada kenyatakan bahwa satu-satunya orang yang ditunggunya telah mati.
“Kalau kau tak sanggup, aku saja yang melakukannya,” serdadu itu mengokang senjata.
Kau menariknya. “Biarkan aku yang melakukannya!”
Kau melengos ke arah Collin. Wajahnya pucat. Sang ajal belum juga merenggut nyawanya. Limbung kau menyibak rambut emas jagungnya. Mencium keningnya.
“Maafkan aku,” katamu mengokang senjata T-34s. Air matamu jatuh. “Adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan?”
Sahabatmu itu menangis. “Tuliskan surat untuk ibuku. Katakan aku mati dengan heroik!”
Kau menembak kepalanya satu kali. Pun di antara desing tembakan, kau mendengar ucapan terima kasihnya. Dan entah mengapa hingga kini terus terbayang kalimat itu; detik-detik kematian tragis tersebut. Berhari-hari setelahnya, kau terus menangis. Sampai akhirnya lesap sudah air matamu. Dan kini kau sadar: Tiada lagi yang dapat ditangisi di sini, karena para serdadu ini yang kelak akan ditangisi.
Kau lempar lagi tatapanmu ke arah seorang Wehrmacht yang separo tubuhnya remuk terkoyak bom. “Inilah nyanyian bagi orang-orang yang kalah!” Katamu lirih membacakan larik puisi yang baru saja kau tulis. Membidikkan senapanmu. “Seorang harus membaca semua puisi yang ditulis di tengah kehancuran ini.”
Kau menembaknya tepat di kepala. Satu kali. Pria itu terkapar. Tapuk matamu pun disergap rasa perih ketika melihat kematian itu. Namun tiada air mata yang merintik.
***
Salju masih turun di tengah medan pertempuran. Belum ada tanda-tanda devisi pasukan ini ditarik. Setiap hari lapar dan putus asa sering datang. Kau pun merasa sudah lusinan kali memainkan drama kematian ini, dengan dipaksa duduk di depan kursi beludru merah dan mengira akting para prajurit yang meregang benar dan asli. Para Wehrmacht seolah diharapkan mati dengan heroik, mengilhami, dan menyayat hati. Namun kenyataannya tak ada seorang yang paham: Ba gaimanakah kematian sebenarnya di sini?
Seorang pria paro baya yang selama beberapa hari penyerangan hanya memandang foto keluarganya berkata kepadamu: “Apakah kau sudah menikah, Kawan?”
Kau menatap wajah putus asa itu. “Belum. Tetapi aku punya seorang kekasih yang menungguku pulang.”
“Ahh, aku memiliki seorang anak dan istri yang cantik.” Ia menyorongkan foto keluarganya itu ke arahmu. “Tapi mereka semua sudah mati!”
“Maksudmu?”
“Mereka mati karena kekacauan ini.” Ia diam sesaat. Murung. Kemudian menatapmu.
“Maukah kau menembak kepalaku agar aku bisa makan malam bersama mereka di surga?”
Kau tertegun: Apakah ini cara terbaik serdadu mati dengan menembak kepalanya agar pecah seluruh kenangannya, atau para serdadu lebih berharap mati daripada melihat semua kekacauan ini?
Udara dingin menyengat kulit. Kembali terdengar desing bom terjatuh di kota. Pesawat-pesawat tempur itu melintas lagi dengan suara berisik di atas kepalamu. ***
Catatan:
[1] Wehrmacht merupakan sebutan bagi angkatan darat Jerman.
[2] Red Army, Pasukan Merah, sebutan bagi angkatan darat Rusia.
[3] Operasi Barbarossa merupakan gerakan pasukan Jerman yang dilakukan oleh Hitler di seluruh penjuru Rusia. Hitler berencana membuat parade militer Jerman di lapangan sebelum malam Natal tahun 1941.
[4] Blitzkrieg merupakan serangan kilat yang paling terkenal dilakukan oleh Hitler ketika manaklukkan banyak negara Eropa Barat, seperti: Polandia, Prancis, Belanda, Belgia, dan banyak lainnya.
[5] Luftwaffe adalah istilah yang umum digunakan untuk merujuk kepada angkatan udara Jerman. Selain itu, istilah ini juga sering digunakan untuk merujuk secara spesifik kepada Angkatan Udara Jerman pada zaman Jerman Nazi. Pada Perang Dunia II.
RISDA NUR WIDIA, kuliah di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta. Juara II sayembara menulis sastra mahasiswa se-Indonesia UGM (2013), nominasi Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013), penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Buku kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Bunga-Bunga Kesunyian (2015).
Leave a Reply