Cerpen Kartika Catur Pelita (Suara Merdeka, 31 Juli 2016)
“Ibu tak ingin kau jadi pilot. Setelah kehilangan Ayah, lalu abangmu, Ibu tak ingin kehilanganmu karena terbang!”
Padahal sejak kecil ia suka diajak Ayah terbang. Padahal ia paling senang melihat ayahnya terbang. Padahal ia bangga memiliki Ayah dan Abang yang pintar mengemudikan pesawat terbang.
Demi Ibu, ia akhirnya memupus cita-cita yang sudah kadung mendarah daging. Demi Ibu, selepas SMA, ia urung mendaftar ke sekolah penerbang.
***
Ketika ia kelas 5 SD, Ayah tercinta pergi tak pernah kembali.
Padahal Ayah sudah berjanji hendak merayakan ulangtahunnya dengan memberinya maket pesawat terbangyang sudah lama diimpikannya. Padahal ia sudah membayangkan Ayah datang dengan membawa kado yang sudah lama didambakan. Pada kenyataan Ayah tak pernah menepati janji. Pesawat yang dikemudikan Ayah terjun ke tengah lautan luas. Bangkai pesawat dan penumpang tak pernah diketemukan. Naas.
Kehilangan menumbuhkan gumpalan luka deras.
Ibu kemudian memilih menjadi single parent. Beliau bekerja keras demi membesarkan buah hati.
“Ibu ingin kalian tumbuh dengan rasa kasih sayang. Ayahmu sudah tak ada. Namun kalian masih memiliki Ibu. Kasih sayang Ibu takkan dibagi pada siapa pun, hanya untuk kalian. Kalian belajar yang sungguh-sungguh. Ibu akan menjalankan amanat ayahmu. Kalian berjanjilah.”
“Berjanji apa, Bu?”
“Kalian takkan merepotkan Ibu. Kalian menuruti kata-kata Ibu.”
“Kami berjanji, Bu. Insya Allah.”
“Ayahmu memang meninggalkan pensiun, namun tentu tak mencukupi untuk biaya hidup kita ke depan…”
Ibu bekerja keras. Kemampuan beliau memasak, menumbuhkan pundi-pundi uang demi membesarkan kami. Katering yang dirintis Ibu, bukan hanya menghidupi kami, namun juga mensejahterkan kehidupan karyawan yang kami anggap bagai keluarga.
Cerah pada bulan Juli. Selepas SMA, permata sulung, memohon izin untuk mengikuti jejak Ayah.
“Antoni ingin jadi penerbang, Bu. Seperti Ayah…”
“Mengapa kau ingin seperti Ayahmu?”
“Karena Antoni ingin membuat Ibu bangga seperti Ibu bangga pada Ayah.”
“Ibu akan memikirkannya.”
“Bukankah saat Antoni TK Ibu pernah bertanya pada Antoni, apa cita-cita Antoni. Ibu masih ingat?”
“Tentu, Nak. Jika memang itu keinginanmu, mengapa Ibu melarang. Ibu ingat, Ayahmu pun pernah berujar pada Ibu, jika beliau ingin ada anaknya yang kelak mengikuti jejaknya. Tapi…”
“Ibu tak usah khawatir. Antoni akan baik-baik saja. Bukankah Ibu selalu bilang jika jodoh, rezeki dan maut itu di tangan Allah.”
Ibu mengizinkan. Beberapa tahun kemudian Kak Antoni mengenakan seragam pilot dan menerbangkan pesawat. Aku memeluk Kak Antoni yang menjulang gagah. Air mata bangga meleleh di pipi tirus Ibu.
***
Pada jelang akhir tahun, ketika semalaman hujan turun menderas. Subuh di hari Ahad, gerimis masih menetes di dedaunan pohon rambutan di depan rumah.
Pada sebuah ruang tamu, kau jadilah saksi saat foto permata hati terjatuh. Bingkai lepas. Pelapis foto terkelupas. Apa artinya ini, ya Allah? Sebuah firasatkah?
Ibu termangu, pagi kelabu, ketika seorang teman Kak Antoni mendatangi rumah dan berkabar sendu. “Ibu yang tabah, ya. Kami mendapat kabar jika pesawat yang dikemudikan Antoni mengalami kecelakaan. Pesawat…”
“Bagaimana kabar anakku? Ia baik-baik sajakah?”
“Kami sedang mengevakuasinya…”
“Bawa saya ke sana. Bawa saya…”
Ia kelu mengantar Ibu dan melihat Kak Antoni yang telah terbujur kaku. Paras Kak Antoni terlihat bersih. Ia seperti sedang tidur panjang. Ia tengah tersenyum.
“Bangunlah, Nak. Bangunlah. Lihat Ibumu. Kau baik-baik saja, kan?”
“Kak Antoni sudah pergi, Bu. Relakan.”
“Ya, Allah, setelah kau mengambil suamiku, mengapa kau sekarang merenggut anakku. Apa salahku pada-Mu. Apa salahku…”
Ibu sangat syok karena kehilangan Kak Antoni. Ia bisa merasakan bagaimana rasa kehilangan yang merajai Ibu, setelah kehilangan suami, kini beliau kehilangan satu jantung hati.
***
Ia memilih menjadi lelaki rumahan.
Ia menemani Ibu. Ibu yang sepeninggal Ayah dan Kak Antoni memilih semakin menenggelamkan diri pada kesibukan mengelola katering. Ia sesekali membantu Ibu, membantu pemasaran. Ia yang sangat bangga pada Ibu yang memiliki kantung ajaib pada benaknya, sehingga selalu tercipta resep kuliner baru darinya. Sehingga pelanggan merasa puas. Ibu yang menjadikan masakan dan kue sebagai passion. Ibu yang memadankan hobi dan passion untuk bisnis.
Ia yang memilih menjadi penulis. Mencurahkan ide melalui aksara-aksara sarat makna. Menguarkan perasaan dengan rangkaian kata nan indah. Ia memenuhi keinginan Ibu untuk bekerja yang tak berhubungan dengan laut dan pesawat.
Bahkan sejak kecelakaan yang menimpa Ayah dan kakak, mereka tak pernah terbang, naik pesawat. Ibu melarangnya bepergian dengan pesawat. Sejak itu setiap bepergian ia memilih naik bus, kereta atau kapal laut.
Ia sedang mengerjakan proyek: menuliskan biografi seorang menteri. Menteri yang tengah menggapai keinginan menjadi presiden. Ia menuliskannya dengan meramu bumbu, seperti yang diinginkan. Harga sesuai kesepakatan, dan buku pun terwujud sesuai harapan.
Ia sudah berangan naik bus. Namun rencana tiada terlaksana, ketika agenda peluncuran buku diajukan, dan ia harus menepatinya. Bahkan ia mendapat telepon dari menteri.
Ia menimang-nimang tiket pesawat dan hotel yang diantarkan kurir.
***
Ia menaiki pesawat terbang. Ia memasuki badan pesawat dengan gugup.
Ini kali pertama ia naik pesawat, setelah dua puluh tahun absen. Saat duduk di bangku pesawat terbang bagian belakang, ia tiba-tiba diselaputi rasa rindu.
Ia rindu pada ayahnya yang hilang di tengah lautan.
Ia rindu pada abang yang sangat sayang padanya.
Ia rindu pada ibunya yang suka mendendangkan kisah masa kecilnya.
“Kau pergi ke mana?”
“Ke Jakarta. Peluncuran buku menteri itu.”
“Kau naik apa?”
“Pesawat.”
“Bukankah Ibumu melarangmu naik pesawat. Bagaimana jika terjadi sesuatu. Bulan depan kita akan menikah.”
“Insya Allah tak terjadi apa-apa. Aku akan baik-baik saja.”
Ia tiba-tiba teringat perbincangan via telpon dengan kekasihnya sesaat sebelum ia memasuki pesawat.
Ia tiba-tiba merasa sangat rindu. Entah pada apa—siapa.
Ia menghela nafas asa. Sebentar lagi pesawat mengudara. Ia mendoa lama, memejamkan mata lega. Pesawat akhirnya mengangkasa. Ia melihat langit biru dan awan-awan cerah menari. Ia seperti melihat Ayah dan Kak Antoni terbang. Aneh, mengapa mereka mengapung di angkasa, seperti burung, padahal tiada punya sayap. Ahai, betapa menyenangkannya seandainya manusia bisa terbang. Bisa pergi ke mana suka. Baru sepuluh menit pesawat terbang, ketika terdengar peringatan darurat.
Penumpang berteriak-teriak. Ia tak kalah serak berteriak melantunkan doa! “Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar…”
***
Seorang ibu sedang duduk di kursi malas. Ia sedang menjahit kemeja kesayangan anak bungsunya. Jrus. Jarinya tiba-tiba tertusuk jarum, darah menetes. Airmata tiba-tiba mengucur meruah dari sudut matanya yang menyepuh. (92)
Kota Ukir, 3 Februari 2015-12 April 2016
Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1971. Karya berupa cerpen, esai, dan puisi dimuat di media cetak lokal-nasional, dan media online. Menulis buku fiksi Perjaka, Balada Orang-orang Tercinta dan Bintang Panjer Sore. Ia tinggal di Jepara dan bergiat di komunitas Akademi Menulis di sana.
Leave a Reply