Cerpen Dinar Rahayu (Media Indonesia, 31 Juli 2016)
“HIDUP ini perih,” sapanya sambil menciumku. Usianya empat puluh sekian dan sudah malang melintang di dunia pertunjukan. Selalu girang, walau kacamatanya baru diganti dari kacamata minus ke lensa progresif. Perutnya agak maju, tapi masih bisa tertutup kaus overall hitam. Celana juga hitam.
“Tapi kolorku biru,” begitu ia bilang kalau tatapanku sudah tampak menggambarkan sesuatu. Aku kenal cukup lama dan ia sudah tahu pasti kalau mataku sedang membentuk karakter demi tulisanku berikutnya. Secara keseluruhan dirinya adalah kebalikan dari diriku. Di atas kepalaku hujan dan petir sering turun bertubi-tubi dan dirinya adalah pelangi dan matahari.
Kalimat “hidup ini perih,” diambilnya dari perkataan salah satu tokoh di lakon yang sedang dipentaskan dan ia tinggalkan diam-diam sebelum selesai. Kami pergi cari makan saja. Aku tiba menjelang malam, langsung ke gedung pertunjukan tempat ia mementaskan lakon itu di kota ini. Ia sedang keliling berbagai kota untuk pementasan lakon itu.
“Kalau saat latihan, hidup ini perih kok terasa lucu dan satire ya,” gumamnya. “Tapi tadi di pentas kok jadi kelihatan menggurui, ah sudahlah,” ia mengambil rokok dan menyulutnya seolah resensi yang dibuatnya bisa hilang bersama asap rokok.
Ia sobat karibku, juga sobat penulis naskah lakon yang kemarin meninggal karena sakit komplikasi. Istri mendiang penulis lakon itu ternyata menulis naskah untuk mengenang sang suami, semacam biografi yang difiksikan, dan meminta temanku menjadi sponsor pementasannya. “Sebetulnya susah juga,” keluhnya suatu ketika. Tapi akhirnya malam itu bisa juga naskah itu dipentaskan. Di poster, selain ada wajah para pemain, ada juga wajah istri dan mendiang suaminya itu. “Biar tambah laku,” katanya, nyengir.
Atas nama segala macam, ia sudah bilang pada semua untuk menuliskan yang baik-baik saja, atau kalau pun ulasan mendalam, dibikin remang-remang saja, cenderung ke arah pujian. Semua penulis resensi yang ia kenal sudah setuju, kecuali satu yang belum bisa ditemuinya. Darling, begitu ia menyebutnya. “Si Darling seperti Maleficent, kalau lupa diundang, nanti mengutuk,” katanya. Maleficent suka menulis ulasan di media. Tapi Maleficent bukan pagar tanpa pintu atau menara yang tak bisa didaki. Temanku dan Maleficent jatuh cinta. Pasti nanti subuh dia belok sebentar ke rumah si Maleficent untuk membujuknya dengan cara apa pun.
“Yuk, habiskan makanan ini. Enak. Pesan lagi kalau mau. Temani aku ya. Nih, baca sisa kopiku,” katanya sambil menyorongkan cangkirnya. Rupanya ia masih ingat buku cara meramal dari ampas kopi dan teh yang dulu aku beli saat jalan-jalan dengannya.
Aku mengambil cangkirnya, kutelungkupkan pada tatakannya, kuputar-putar searah jarum jam, dan kubalikkan kembali cangkir itu. Konon ampas kopi di dasar cangkir dan lelehannya di dinding bisa bercerita tentang masa depan seseorang. “Bagaimana?” tanyanya antusias.
“Ada kadal, ada jalan belok-belok, ada bintang atau kutil, atau apalah…”
“Coba baca cangkirmu,” lanjutnya tetap antusias terhadap kemampuan meramalku.
“Tidak ah. Aku minum kopi supaya dapat kafein,” aku mengelak, kalimatku terdengar jitu dan terkesan sangat ilmiah.
Menjelang pementasan, aku tiduran di pojok di antara kain dan kardus dan kerangka angsa raksasa entah bekas pertunjukan siapa yang belum dibereskan, sementara ia menyalami pemain, diwawancara, menerangkan, memberi sinopsis. Ia menjawilku dan mengajakku pulang ketika subuh mulai datang.
“Kapan pulang?” tanyanya saat ia menurunkanku di hotel tempatku menginap.
“Besok atau lusa, nanti kuberi tahu,” jawabku. Aku juga ingin sekejap menikmati Kota Kata-Kata ini. Konon atmosfir Kota Kata-Kata tidak tersusun dari dua puluh persen oksigen, tujuh puluh persen nitrogen dan sepuluh persen gas lain, tapi dua puluh persen oksigen dan sisanya zat halusinogenik. Di sini kata-kata diproduksi, dikemas, dan dikirim ke berbagai kota di seluruh dunia. Kata-kata adalah sarapan, makan siang, makan malam, dan camilan warga kota. Kata-kata adalah kopi dan teh yang diseduh di semua sudut jalan. Aku akan menemui seseorang yang tinggal di sini. Seseorang yang selalu mengutuk cahaya.
“Cahayanya salah, pindah saja ya,” begitu sapanya saat kami bertemu.
Kalau ia memintanya di tempat shooting, semua akan tergopoh-gopoh membetulkan cahaya yang salah itu. Ada yang memindahkan lampu, mengatur cahaya yang bandel itu, mengulangi adegan gagal karena cahaya yang salah itu. Tapi di sini tak akan ada yang menurutinya. Maka kami pindah meja saja mencari cahaya yang benar. Tapi senja adalah waktu yang sangat skizofren, cahaya berubah dari semburat jingga jadi merah dan kelabu. Ia menggumam perlahan menyadari dirinya tak bisa mengatur cahaya.
“Sudahlah, ini hanya makan, cukup bisa baca menu saja,” kataku menengahi pergumulannya dengan cahaya sialan itu.
Tua, beruban, dan tetap bangsat. Keletihan menggantung di tiap pori-pori tubuhnya. Kantung matanya tampak menggelendong seolah-olah penuh harta karun, ubannya bertambah lima-enam lembar atau dua puluh mungkin. Waktu begitu bernafsu menatahkan jejak di wajahnya yang keriput di sana-sini. Di keningnya garis-garis lipatan kulit melintang seperti jurang sejajar. Begitulah aku menggambarkan dirinya dengan kata-kata karena tak diperkenankan mengungkapkan perasaan dengan cara menyerang secara fisik dengan pisau atau garpu. Dia bilang punya pacar baru, tapi sampai pacaran saja. Lantas aku ini apa?
“Ya masih sama, bukannya hati bisa dibagi-bagi?” tukasnya sambil melambaikan tangan seolah pertanyaanku adalah lalat yang bisa menyeruak masuk begitu saja. “Kau tahu, hatiku terbuat dari batu dan pasir, tak berguna membicarakan itu. Kalian keterlaluan memandang kaum kami. Kamu bikin patung diri kami di hatimu dan bilang bahwa kami harus begini-begitu. Sayangku, kami tidak seperti itu. Lagi pula, pertanyaan macam apa itu?”
Aku mengangguk. Ya deh.
Ia menggerutu sambil memandangi menu sebelum akhirnya memutuskan memesan pecel dan kentang goreng.
“Di zaman ini, perjalanan, makanan yang mengenyangkan, cara bikin makanan yang detail, cara makan dan suasana saat makan adalah lingkaran kenyamanan. Satu cara supaya rutinitas lebih bisa ditanggung. Ada karyaku, film dokumentasi tentang itu. Bagaimana tulisanmu tentang pejuang-pejuang bersayap, apa itu?”
Seperti biasa, sesudah menggerutu, sambil makan ia akan bercerita panjang tentang apa saja. Diakhiri dengan pertanyaan untuk meyakinkan bahwa si pendengar menyimak dari awal sampai akhir.
“Ah biasalah. Buntu,” tukasku.
“Kamu harus datang tengok-tengok, menumpang temanmu yang sedang tugas ke daerah perang. Tak perlu di depan garis perang, kau anggap saja bulan madu ke Beirut misalnya. Wah, aku kok sok tahu ya,” ia menertawakan kalimatnya yang tak bisa ditarik sesudah diucapkan. Ia mengelap bibirnya.
Aku mengeluarkan botol kecil berisi selai marmalade. Ia menaikkan alisnya. “Ah, waktu itu, kok kita tidak sempat siram-siram madu dan jilat-jilat ya.”
“Yang kubeli bukan madu, tapi ini. Warnanya mirip, kuning-kuning begitu…” kusodorkan botol kecil itu. Ia menyipitkan matanya lalu mengambil kacamata.
“Marmalade?” ia mendecak lalu tertawa. “Kenapa ya kita tidak sempat? Lupa.”
“Ketiduran.”
Si Bangsat tertawa kembali. Aku tertawa juga. Lalu dia bilang dia percaya ada makhluk lain selain kita di bumi ini, dan kita harus bersyukur mereka tidak mendatangi kita karena kalau mereka berkunjung, maka pilihan kita hanya jadi budak mereka atau punah. Bahwa adiknya tidak bunuh diri, tapi melakukan “euthanasia epik” dengan cara lompat ke bawah jembatan karena penyakitnya sudah tak tertanggungkan. Ia bilang juga, hasil tes kankernya mungkin selesai besok. “Jangan kau temani, hatimu kan juga terbuat dari batu dan pasir. Lagi pula aku ingin mengetahui itu untuk diriku sendiri,” katanya.
“Kopi di sini enak,” lanjutnya pelan.
“Kan tidak apa-apa ya sudah wine, lanjut kopi, lanjut madu, eh marmalade maksudku. Supaya tidak ketiduran. Yang tidak boleh itu duren sama soda ya,” bisiknya.
Siang hari di stasiun kereta tabung, aku menempelkan irisan limau ke lidah dan meminum teh pesananku. Ada waktu setengah jam sebelum keretaku tiba. Temanku mengantar sampai stasiun, menitipkan kue khas kota ini dan keripik untuk ibu dan keluarganya. Ia masih harus tinggal di Kota Kata-Kata. Hebat, pikirku. Dua malam di kota ini aku mabuk. Mabuk kata-kata tak kalah pengar dari mabuk lain. Kata-kata bertarung sengit di ruang kesadaranku berebut perhatian, dan akhirnya semua mati sebelum sempat kutuangkan dalam tulisan. Yang tinggal hanya kata-kata bersayap mengumpulkan ruh kata-kata yang mati itu.
Si Bangsat Tua Bangka Beruban sudah melesat pagi-pagi, ia harus menuju Gunung Jiwa, atau Macondo, atau Kota Terapung, atau Pandora, atau apalah aku lupa karena aku masih setengah sadar saat ia menggumamkan tujuannya itu. Rasanya ia menyoal juga cahaya lampu kamar. Tak pernah ia bertemu cahaya yang benar kecuali cahaya yang bisa diaturnya, barangkali.
Tapi di meja kamar hotel, dekat lampu duduk, ditindih bolpoin, ia menyimpan kartu nama temannya, kalau-kalau aku berniat ke daerah perang jadi turis, temannya itu pasti akan membantu. Bunyi tang-ting-tung dan suara seseorang di pengeras suara menandakan keretaku segera datang. (*)
2016
Dinar Rahayu. Lahir di Bandung, 9 Oktober 1971. Menyelesaikan studi di Jurusan Kimia ITB. Novelnya Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch (2002). Karya-karyanya ramai diperbincangkan di kalangan peneliti sastra. Januari 2015, Dinar menghadiri Festival Sastra Winternachten, Belanda.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id @Cerpen_MI
Leave a Reply