Cerpen Satmoko Budi Santoso (Media Indonesia, 14 Agustus 2016)

Badut ilustrasi Pata Areadi
SEPULUH tahun sudah Fahri menjalani kehidupannya sebagai badut di sebuah kelompok sirkus keliling. Dari kota ke kota Fahri dan kelompoknya setia mengais rejeki. Banyak orang mengenal nama Fahri karena kelompok sirkus itu juga kerap muncul di koran. Formasi para pemainnya, nama dan perannya, tentu saja diingat baik, lekat di hati masyarakat. Tentu juga, banyak aksi dalam sirkus keliling itu yang ditunggu-tunggu. Ada atraksi menegangkan antara orang dan harimau. Orang dan ular. Orang dan gajah. Orang dan lingkaran api, dan sebagainya.
Namun, diam-diam, di antara semua atraksi menegangkan itu, yang paling ditunggu adalah aksi Fahri. Aksi Fahri selalu mengundang gelak tawa. Memang, ia akan selalu beraksi sebagai pemecah suasana tegang, setelah atraksi-atraksi sebelumnya yang sungguh mendebarkan.
“Ha ha ha… Si badut keluar! Lihat, Mama!” demikian pekik seorang anak seusia SMP, kepada ibunya.
“Satu tahun yang lalu ia beraksi di kota ini, apakah sekarang atraksinya akan sama?” respon ibunya.
“Kalau sama kita yang rugi, Mama.”
Anak itu ingat, satu tahun lalu kemunculan Fahri yang mengundang gelak tawa menggunakan properti pendukung berupa sepeda roda satu, permainan tiga bola kasti, dan permainan tiga botol yang masing-masing ujungnya diberi selipan kain yang dibakar. Serupa bom molotov. Jenis aksi yang dipertunjukkan Fahri adalah secara bergantian ia melempar tiga bola kasti itu ke udara beberapa menit. Setelah itu berganti melempar tiga botol berapi ke udara juga secara bergantian.
Ternyata, aksi Fahri saat itu berbeda dengan satu tahun yang lalu! Tentu saja anak itu girang bukan kepalang. Aksi sang badut justru senang mempertontonkan kesedihan. Meski ia tampil dengan akting menyedihkan, uniknya tetap saja mengundang tawa berderai.
Ya, Fahri pun tampil tanpa hidung khas badut yang berwarna merah menyala, sebesar bola kasti. Ia merengek-rengek. Dengan bahasa isyarat tangan dan seluruh anggota tubuh, ia memberi tahu penonton bahwa ia telah kehilangan hidung khasnya.
Penonton tentu mudah mencerna apa maksudnya. Penonton ada yang merespon gaya berkomunikasi Fahri dengan berdiri. Menunjuk ke pantat. Artinya, hidung khas Fahri cuma hilang terselip di pantat. Ketika ada yang merespons seperti itu, Fahri pun sibuk mencari ke arah pantatnya yang besar. Sebesar tiga bantal. Ternyata tidak ada. Ia kembali bersedih.
Ada pula penonton yang merespon kekalutan Fahri yang mencari hidung khasnya dengan melempar sebuah tulisan besar berspidol hitam. Fahri pun membuka kertas itu. Isinya: jangan sedih wahai badut. Aku belikan yang baru, ya. Fahri menunjukkan tulisan besar itu kepada khalayak. Sontak para penonton berteriak, “Ya, kami belikan yang baru. Oke???!!!”
Fahri malah merespon dengan gelengan kepala. Ia memberi isyarat terus bersedih dan bersedih. Namun, penonton tentu tetap menganggapnya sebagai kelucuan.
***
Rupanya diam-diam banyak orang yang kecewa dengan aksi Fahri saat itu. Karena ia hanya beraksi satu gaya saja. Salah satu yang kecewa berat dan ia tunjukkan rasa kecewanya adalah si anak yang mania terhadap aksi si badut itu.
“Mama, aksi si badut saat ini berbeda dengan satu tahun lalu. Lebih sedikit. Cuma satu. Padahal dulu pakai bola dan botol segala.”
“Jadi, kita tetap rugi, dong?”
“Iya, Mama.”
“Wah, seratus lima puluh ribu tiketnya.”
“Tapi, ya lumayanlah. Daripada si badut tidak muncul. Satu gaya dalam beraksi nggak apa-apalah.”
Usai pertunjukan, si anak minta diantar ibunya menemui Fahri di belakang panggung. Ia ingin selfie bersama si badut.
***
Sesampainya di rumah pastilah anak itu menceritakan pengalamannya menonton sirkus kepada teman-teman sepermainannya. Sebagian besar dari teman-temannya kebetulan belum pernah menonton sirkus. Maklum, miskin. Pastilah daripada untuk membeli tiket yang tergolong mahal bisa untuk menyambung kebutuhan hidup sehari-hari.
“Wah, aku penasaran sekali dengan si badut itu, tapi orangtuaku jelas tidak akan mampu membelikan tiket semahal itu. Beli sepatu saja selalu yang murah,” demikian tanggapan salah seorang anak.
“Tapi, kau bisa membaca mengenai badut dan sirkus itu di koran. Biasanya, setelah tampil, mereka akan muncul di koran. Coba besok baca koran di sini ya,” sergah si anak yang sudah menonton pertunjukan sirkus itu.
Sang ibu pun mendengar percakapan anak-anak itu di rumahnya. Ia terharu.
“Wah, anak-anak SMP sekarang sudah cerdas dalam mengatasi rasa penasarannya. Dulu, meski SMP, sama dengan mereka, rasanya aku tak secerdas itu,” demikian gumam sang ibu.
***
Keesokan harinya sebuah koran lokal memuat mengenai pertunjukan sirkus itu. Sambil berkerumun, banyak anak membaca koran. Penuh rasa ingin tahu mengenali profil sirkus yang tampil di kota mereka.
“Iya nih, benar yang kamu ceritakan kemarin. Si badut itu tampil tanpa hidungnya yang khas,” ujar salah seorang anak.
“Lho tunggu, tunggu. Ternyata, ini nih baca. Menarik pengakuannya. Hidung khasnya memang benar-benar hilang ketika mau tampil. Jadi, bukan dibuat-buat,” kata seorang anak lagi.
“Iya. Kemarin kau bilang ia hanya berpura-pura, ternyata sungguhan,” imbuh anak lainnya lagi.
“Coba aku baca dulu. Aku belum cermat sih,” kata satu-satunya anak yang kemarin telah melihat pertunjukan sirkus, “Wah, seru juga. Ternyata tidak hanya hidung khasnya yang hilang, ya? Dia juga kehilangan semua barang yang akan ia gunakan dalam pertunjukan. Ia sedianya akan tampil dengan atraksi dua kipas raksasa, sepeda roda tiga, dan tiga tupai. Wah, semuanya hilang dicuri orang. Kasihan sekali.”
“Iya tuh lihat judul beritanya. Badut yang teraniaya. Badut itu merasakan kesedihan yang mendalam karena barang-barangnya hilang dan ia bawa kesedihannya ke arena pertunjukan!”
Sebegitu penasaran dengan keriuhan anak-anak yang sedang berkerumun membaca koran, si ibu yang sempat mendampingi menonton pertunjukan sirkus itu ikut nimbrung membaca koran.
“Wah, pantesan ia bisa tampil dengan sangat sedih. Rupanya, ia sangat menghayati rasa sedih atas kehilangan barang-barang yang mestinya ia gunakan untuk tampil!” begitu respon sang ibu, “Sudahlah yang penting kalian semua sudah tahu mengenai pertunjukan sirkus itu. Semoga tahun depan mereka akan kembali datang ke kota kita. Dan akan tampil dengan tanpa kehilangan barang-barang penting untuk beraksi. Ibu berjanji, kelak jika mereka pentas lagi di kota kita, kalian semua akan ibu traktir nonton.”
Anak-anak itu pun memekik bersama. Mereka bersorak. Bahagia bersama. Meskipun masih hanya menggenggam harapan semata.
***
Di malam hari, si anak yang sempat menonton pertunjukan sirkus itu ternyata masih kepikiran dengan berita yang dibacanya dari koran di siang hari.
“Sialan. Di mana-mana yang namanya aksi pencuri selalu saja membuat sedih. Bangsat! Kasihan benar si badut itu!” demikian si anak itu mengumpat di dalam hati.
Syukurlah, ia ternyata menyimpan dengan baik nomor ponsel yang sempat dimintanya ketika ia foto selfie bareng si badut seusai pertunjukan berlangsung. Ia kirimkan SMS kepada si badut sebagai bukti rasa perhatiannya yang dalam.
Pak Fahri yang baik. Saya telah membaca cerita bapak di koran mengenai barang-barang bapak yang hilang untuk pertunjukan sirkus itu. Saya juga ikut sedih, Pak. Padahal jika barang-barang itu tidak hilang, saya yakin bapak bisa tampil lebih memukau. Lebih lucu. Lebih mengundang tawa. Terus terang, bagi saya, hanya kemunculan bapak yang saya tunggu-tunggu. Atraksi lainnya maaf saya kurang suka. Karena cenderung hanya ‘menyiksa’ binatang. Menyuruh ini-itu. Padahal belum tentu ia mau. Penampilan bapak juga lebih banyak tanpa binatang. Kalau pun pakai binatang, bapak saya lihat tidak “menyiksa” mereka. Salam hormat saya, Pak Fahri.
Lama si anak itu menunggu balasan dari si badut. Barulah setelah sekitar sepuluh menit seusai SMS, si anak itu mendapatkan balasan.
Terima kasih perhatiannya, ya. Kamu baik sekali, mau memperhatikan aku. Aku sudah tahu siapa pencurinya. Ternyata temanku sendiri dalam satu pertunjukan sirkus. Ia mencuri dan membuang barang-barang untuk aksiku karena ia iri jika aku selalu menjadi bintang di setiap pertunjukan. Ia ingin agar aku dipecat oleh bosku karena teledor menjaga barang penting yang akan digunakan untuk pentas. Kini temanku yang mencuri itu justru sudah dipecat oleh bosku. Syukurlah, Tuhan masih melindungiku dan dengan caranya sendiri menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya. Doakan, ya. Kelak aku bisa datang lagi ke kotamu. Menghiburmu. Membuatmu bisa tertawa puas. Aku sendiri puas jika orang lain bisa bahagia dengan aksiku. Salam dari Kak Badut Fahri.
Anak itu pun lega sudah mendapatkan balasan SMS dari badut pujaan hatinya. Ia hanya bisa prihatin. Dalam satu kelompok, antarteman saja bisa saling menjatuhkan. “Ternyata itu tidak hanya kudapati di sekolahku. Alat tulisku sering dicuri karena si pencuri tidak ingin tersaingi nilainya olehku.”
Sebelum tidur, anak itu mendoakan agar badut pujaan hatinya selalu dilindungi Tuhan di setiap langkahnya. Dijauhkan dari fitnah yang keji. Dimudahkan segala rejekinya. Sempat terlintas dalam angan-angannya. Ia bercita-cita menjadi seorang badut juga. Bukan polisi. Bukan tentara. Bukan politisi. Tapi, ia pun sadar, cita-cita yang dibayangkannya masih dapat berubah setiap saat. Ia sendiri belum begitu yakin dengan cita-citanya kelak. Mau jadi seperti apa. (*)
Satmoko Budi Santoso, sastrawan, tinggal di Yogyakarta. Novelnya Kasongan (2012) mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta, Oktober 2013.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain.Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id @Cerpen_MI
Fachri Zul
Reblogged this on Fachri Zul and commented:
Cerpen ini membuat saya bertanya-tanya. Mengapa cerpen itu harus memakai tokoh yang bernama Fahri(Nama yang sama dengan nama saya hehe), lalu kenapa harus seorang badut, dan kenapa di akhir cerita si anak kecil penggemar badut itu justru ingin menjadi badut? Entahlah, mungkin hanya saya yang terlalu berpikiran negatif. Dan saya merasa cerpen satu ini memiliki sebuah “sindiran khusus” untuk masyarakat dewasa ini. Ah entah, apa hanya saya saja yang berlebihan.