Cerpen Muliadi GF (Jawa Pos, 14 Agustus 2016)
MESKI tak menjanjikan penyelesaian—mungkin akan berakhir di tengah jalan seperti yang lainnya—aku tetap berharap yang satu ini berbeda. Semoga ia hidup dan terbang ke luar sana, menuju benak orang-orang dan dihidupkan oleh mereka.
Bila keberuntunganku berlanjut, suatu hari mungkin aku bisa melihat salah satu tokoh ciptaanku berdiri di muka toko, memandangku dengan tatapan akrab dan sekaligus asing. Kubayangkan ia berseru:
“Hei, Jung, aku ingat hari itu, hari ketika kau menulisku!”
Aku akan ke luar, lalu menatapnya lekat-lekat. Setelah menoleh ke kanan-kiri dan percaya tak seorang pun memperhatikan kami dan kalaupun ada mereka takkan tahu hubungan antara kami berdua, barulah aku berani membuka mulutku—Oh, harus kuingat, mestinya suara tak di butuhkan saat itu!
“Kau mengenalku?”
“Tentu saja. Aku tahu banyak tentangmu; kau selalu duduk menulis dan merokok di atas kasur kempes tempatmu tidur setiap malam, berhadapan dengan buku tulis yang bertengger di bantalan kursi di depanmu,” jawabnya.
“Suatu malam aku mendengar panggilanmu, suara lirih yang memekakkan telinga—kau tahu maksudnya? Aku mengangkat telingaku. Meski sesamaku di alam bawah-sadarmu menyuruhku tetap diam dan tidak keluar, tapi aku mengabaikan mereka, kujawab panggilanmu dan, tak kuduga, sekarang aku sudah berdiri di sini, menatap orang-orang lewat dari entah mana menuju ke entah mana pula.”
Kukatupkan jaketku—hari itu dingin—lalu meraih bungkusan rokok dari saku celana dan mulai merokok. “Apa lagi yang kau ingat?” kataku mengujinya.
Sebenarnya tak perlu kulakukan karena sepertinya ia memang mengingat semuanya, bahkan pada hal-hal yang telah lama kulupakan.
“Di dekat kaki kursi ada asbak motif etnik dan sebuah sendok plastik putih,” kata-ka tanya meyakinkan, “Juga gelas besar yang kau dapatkan dari sebuah seminar. Majikanmu menjanjikan salah seorang dari kalian akan pulang dengan membawa hadiah laptop, tapi ketika pulang masing-masing hanya mendapat selembar sertifikat dan sebuah gelas besar yang lumayan untuk kopi, teman begadang. Waktu itu 8 Desember, Desember yang muram. Langit selalu murung bulan itu. Seringkali, bila kau keluar, sepatumu terbenam di genangan air hingga kaus kakimu basah.”
Ah, mulut itu, pasti bukan mulut asli!
“Kau tak mungkin mengingat semuanya,” kataku. “Dan kehadiranmu saat ini sangat mencurigakan. Pembaca dapat dengan mudah mengetahuinya, dan mengira ini hanya sebuah cara licik yang begitu kentara untuk menutupi ketidakmampuanku bercerita.”
Ya, mereka dapat dengan mudah menyinggung soal penokohan, karakterisasi yang lemah, yang begitu mudah dikenali, dan kesamaan suara antara tokoh aku dan lawan bicaranya. Sialan.
Orang yang mengaku pernah menjadi tokoh ceritaku itu terdiam. Itu hanya membuatku semakin yakin akan pikiranku barusan. Kalau itu benar, artinya tak ada gunanya ini diteruskan. Lebih baik aku melanjutkan pekerjaanku; berhenti di luar situ hanya menghabiskan waktu dan bisa mengundang teguran majikan.
“Kau berhenti lama waktu itu,” katanya lagi. “Merokok dan merokok, tak melakukan apa pun selain merokok, hingga rokokmu habis. Puntungnya kau belesakkan di asbak yang ditenggeri patung primitif itu, yang rambut gimbalnya bagai tak pernah disampo selama dua abad. Lalu kau minum seteguk kopi.”
Ia bicara seolah betul-betul ada di sana, pada waktu yang telah berlalu itu, dan melihat serta merekam semuanya. Betul-betul tipuan yang mudah dikenali. Aku ingat kadang-kadang aku melakukan sesuatu untuk mengelabui diriku sendiri dengan harapan tipis bahwa para pembaca imajinerku juga akan tertipu secara indah olehnya. “Tertipu secara indah”, ini frase yang perlu ditertawai.
“Kau masih tak ingat, Jung?” ia bertanya.
Ingatanku mencoba memindai cepat deretan sosok imajinatif yang pernah hadir mengisi cerita-ceritaku sebelum ini. Tak ada petunjuk. “Tidak,” jawabku.
“Kau juga tak ingat ceritamu itu?”
Kuperhatikan sosoknya baik-baik. Lelaki itu berambut panjang sebahu. Matanya kekuningan, dan tampak urat-urat halus di bola matanya yang mengingatkanku pada batu cincin jenis “sisik naga” dari Enrekang. Hidungnya besar dan penuh bintik-bintik bekas jerawat. Di pipinya, bintik-bintik yang sama mencipta lubang-lubang kecil hingga aku meyakinkan diri bahwa wajah seperti inilah yang biasa dijuluki “muka nanas”. Ia bertubuh kurus, tampak lebih kurus lagi karena saat itu ia memakai kemeja yang tampak kebesaran, digulung di sikunya. Celananya jins hitam yang sudah kusam. Ia bersepatu tenis; saat itu aku memakai sepatu basket yang alasnya tinggi, sehingga meskipun kami berdiri sama tinggi aku percaya bahwa sebenarnya ia lebih tinggi dariku.
Namun, setelah lama memperhatikannya begitu, aku juga tak menemukan bayangan tentang seperti apa cerita yang dimaksudnya. “Saya tidak ingat cerita itu,” kataku.
Ia lalu mengajakku duduk di tepi trotoar, dengan kaki kami memijak aspal jalan.
“Begini, Jung,” katanya, menggandeng pundakku. “Dulu, kau adalah orang yang percaya bahwa setiap orang pasti mempunyai ruang dalam kepalanya tempat ia dapat betul-betul menyendiri, bercakap-cakap sendiri, melakukan apa pun yang ia mau tanpa diketahui orang lain; sebuah ruang tempat orang itu menyimpan rahasia-rahasianya; seumpama buku harian, di ruang itulah ia bisa menuliskan semua yang ingin ia katakan tanpa perlu khawatir orang lain akan membacanya.
“Waktu itu, dengan penuh percaya diri kau merasa mampu menjadi apa saja dalam cerita-ceritamu. Suatu malam, pada pengujung tahun 2006, engkau masuk ke dalam kepala seseorang. Orang itu tinggal di bilangan Jalan Andi Makkasau, rumahnya berdekatan dengan papan reklame besar bergambar iklan margarin. Tubuhmu begitu halus dan ringan seperti angin, melompat masuk ke dalam kepala orang itu.
“Engkau pun mulai mencari ruang rahasianya. Engkau menduga, ruang seperti itu dibatasi dinding-dinding yang dibangun oleh orang itu dari bahan yang ia temukan sendiri dalam kehidupannya. Ini berbeda untuk setiap orang. Akan halnya orang itu, dinding ruang rahasianya ia bangun dari musik, dari lagu-lagu. Engkau tahu hal itu karena sepengamatanmu, bila ia berjalan masuk ke dalam toko, orang itu selalu mencantolkan headset di telinganya dan tampak begitu menikmati alunan lagu, tapi bukan, bukan itu yang sebenarnya terjadi; kau percaya orang itu sedang sibuk di dalam ruang rahasianya dan leluasa melakukan apa saja yang ia mau di sana. Orang lain takkan tahu.
“Akan tetapi, setelah beberapa lama berkeliling dalam kepala orang itu, engkau menyadari begitu sulit menemukan pintu menuju ruang rahasianya. Di mana dinding yang memperdengarkan musik? Kau memasang telinga baik-baik. Tak terdengar apa pun kecuali dengung mesin pikiran orang itu, tanpa kata-kata.
“Malam berikutnya, barulah aku muncul. Engkau butuh rekan untuk membantu misimu, maka kau pun memanggilku. ‘Bantu aku mencarinya,’ katamu. ‘Untuk apa?’ aku bertanya. ‘Kita bisa mengetahui rahasia-rahasia yang disembunyikannya, dari situ syukur-syukur kita bisa memperoleh jalan keluar bagi permasalahan hidup kita,’ katamu. Nah, jalan keluar, ini dia…. Aku sempat ragu: ‘Sulitkah?’ tanyaku. ‘Tentu saja, tapi dua kepala masih lebih baik dari satu kepala, pasti akan lebih mudah bila bersamasama,’ jawabmu. Aku pun setuju.
“Maka malam itu kita berdua mengubah diri menjadi seperti angin dan melompat masuk ke dalam kepala orang itu. Sampai di kegelapan kepalanya kita tak mampu melihat satu sama lain. Seperti dalam gua. Kau berbisik: ‘Pasang telingamu baik-baik, tajamkan pendengaranmu.’ Namun, tak terdengar suara kecuali raungan mesin yang telah kau dengar kemarin. Awalnya aku bertanya itu apa, tapi kau tak acuh. Engkau percaya, asalkan aku bisa tenang sedikit saja aku akan mampu menjawab pertanyaanku sendiri.
“Tak lama kemudian kau berbisik kembali, ‘Jangan berisik di dalam sini, pasang telinga dan luruskan tanganmu ke depan, mari kita meraba-raba sambil berjalan selangkah demi selangkah!’
“Selang beberapa malam di dalam sana, pelan-pelan kau mulai sadar akan kemungkinan bahwa kita tersesat. Segenap pori-pori tubuhmu mengendusnya; sebentuk kekhawatiran yang pantas buatmu. Ada pun diriku, belum menyadari kemungkinan tersebut.
“Kita berada dalam kegelapan dan harus mencari pintu atau sebuah celah terbuka, tempat kita bisa lewat keluar. Kita pun meraba-raba. Sesekali tanganmu menyentuh kulitku tanpa sengaja. Aku tak peduli. Hal terpenting saat itu adalah pintu itu. ‘Coba ke kiri,’ usulku beberapa lama kemudian.
“Aku percaya kau juga memusatkan pikiran pada letak lengan kirimu sepertiku, kemudian melangkah ke kiri, melangkah menyamping seperti kepiting. Kita menjadi sepasang kepiting yang bergerak ke kiri dalam kegelapan. Kedua tangan sama-sama terentang ke depan dengan telapak terbuka lebar. Dari bisikanmu, aku tahu sesekali tanganmu menyentuh bidang datar—yang kau yakini sebagai dinding.
‘“Kamu yakin kita harus ke kiri?’ tanyamu ragu. Aku diam saja. Engkau mungkin bisa menebak bahwa aku sama ragunya denganmu. Aku bilang ‘ke kiri’ hanya agar kita bergerak, tidak tinggal meraba-raba di tempat yang itu-itu saja. Lalu, setelah beberapa lama berjalan ke kiri, kau berinisiatif, ‘Sekarang ke kanan?’ tanyamu. Aku mengiyakan. Kita meluruskan pandangan, menghadap ke depan, lalu bergerak ke kanan. Sepasang kepiting itu sekarang berjalan ke kanan. Terdengarlah suara berdebuk, kita tertumbuk dinding. ‘Kamu baik-baik saja?’ kau bertanya. ‘Majulah! Kita sisiri saja dinding ini,’ jawabku sedikit jengah.
“Kita berdua pun menyisir dinding itu, menyusuri teksturnya yang kasar dengan telapak tangan sembari kaki kita melangkah maju. Bergerak di sisi dinding seperti itu membuatku teringat suasana saat kereta masuk terowongan. Aku tahu rasanya karena sebelum itu kau juga pernah menjadikanku tokoh—sampingan dalam sebuah cerita berlatar kereta api. Hanya bedanya, sekarang tanpa sedikit pun cahaya. Setelah beberapa jam seperti itu, terlihatlah secercah terang di ujung pandangan kita. ‘Itu dia!’ aku memekik. ‘Ya, pasti itu pintunya,’ kau sama gembiranya.
“Kita melangkah lebih cepat. Meskipun di belakangmu aku sering melanggar kakimu, kau tak peduli. Berhari-hari dalam kegelapan tak sepadan dengan kemarahan sebentar saja—hanya karena kakimu kulanggar, tanpa sengaja pula. Sebentar lagi kita bebas, di luar sana engkau pasti menyerangku bila melakukannya lagi.
“Sampai di mulut cahaya terang itu, kau melongokkan kepala keluar. Karena tak sabar melakukan hal yang sama, kutarik bahumu lalu melongok pula. ‘Betul, kan, apa kubilang?’ kataku bangga.
“Sekali itu kau harus mengakui instingku lebih baik dalam mengenali cahaya. Kau sempat berkelakar: di lain waktu, bila listrik mati, secepatnya kau akan memanggilku.
‘“Ayo, tunggu apa lagi?!’ ucapku bersemangat, menyadarkanmu dari kegembiraan yang meluap. Kita pun melangkah keluar, berhenti sebagai kepiting, mulanya aku percaya kita telah kembali menjadi manusia seutuhnya, dengan tubuh lurus menghadap cahaya dan kaki-kaki berjalan mantap, masuk ke dalam terang di luar. Kurentangkan tangan lebar-lebar seolah kegelapan yang baru saja kita tinggalkan telah menghimpitku dan kini aku terbebas.
“Lalu kau yang pertama menyadarinya, ‘Di mana matahari?’ terlontar pertanyaan setengah panik dari mulutmu.
“Aku mengamati sekeliling, setelah itu barulah aku tersadar. ‘Gunung, pohon… seharusnya ada pohon-pohon di sekitar sini, kita ada di mana?’
“Mungkin kita bersamaan melihat ke bawah waktu itu, ke tempat kita berpijak, karena bersamaan pula terdengar suara kita terkejut. Di bawah kita terlihat warna putih merata. Di atas juga sama, hanya ada warna putih terang benderang. Dan segala yang ada di sekeliling juga hanya warna putih, tiada yang lain. Langit, awan, burung-burung, gedung-gedung, kendaraan, semua itu tak ada. Rumah, toko-toko, rumput, juga tak nampak. Putih, putih, dan putih seluas mata memandang. Kita terdiam beberapa lama. Pada puncak kediaman itu, kau kem bali terkejut.
‘“Engkau di mana?’ suaramu tercekat ketakutan.
“Aku pun menoleh. Suaramu terdengar jelas di sampingku, tapi aku tak melihat tubuhmu di situ. ‘Aku yang mestinya bertanya, di manakah kamu?’ balasku.
“Aku memutar tubuh, kembali kulihat warna putih mengelilingiku. ‘Memangnya di mana kamu?’ tanyaku lagi. Tubuhmu tak terlihat secuil pun. ‘Jangan main-main sekarang, ini bukan waktunya,’ kataku tak percaya.
“Engkau membalas: ‘Aku tak main-main, aku memang tak melihatmu, kupikir kamu yang mempermainkanku.’
“Suaramu jelas-jelas di sampingku waktu itu, terasa dekat sekali, tapi sosokmu sama sekali tak kelihatan. Aku bertanya kalut, mengapa bisa begitu?
“Engkau tak tahu. Lalu kau mencoba memanduku, ‘Sekarang kamu melihat ke arah mana? Mungkin jika aku melihat ke sana pula, aku bisa tahu di mana kamu berada.’
“Aku kembali melihat sekeliling. Masih seperti tadi: putih, putih, dan putih. ‘Aku tak tahu,’ balasku. ‘Di sini hanya ada warna putih mengelilingiku.’ Jangan-jangan… aku menunduk, mencoba melihat tubuhku sendiri. Oh, tidak! Aku bahkan tak bisa melihat tubuhku: tangan, kaki, lututku, semuanya menghilang! Yang terlihat lagi-lagi hanya warna putih. Aku tak percaya kita telah terbebas dari kegelapan dan kini tertelan cahaya putih terang-benderang!
“Aku syok, lama aku bungkam. Samar-samar suaramu terdengar: ‘Kamu masih mendengarku?’ Aku hanya bisa mengiyakan dengan lemah dan putus asa.
“Tak kehabisan ide, kau mengusulkan: ‘Mari kita saling mengulurkan tangan, jika memang kamu di dekatku, tangan kita pasti akan bersentuhan.’
“Aku menunggu beberapa lama hingga kau tersadar yang sesungguhnya terjadi. Dan tatkala saat itu tiba, kau berteriak histeris memanggil-manggil tanganmu. Kudengar kau mulai menangis. Aku sangat ingin menghiburmu tapi aku sendiri juga sadar keadaanku sama saja denganmu. Mungkin tanpa sadar aku juga mulai menangis. Sungguh tak bisa dipercaya. Kenapa semua itu bisa terjadi? Aku bertanya-tanya sendiri tapi tak juga kutemukan jawaban, begitu sulit dipahami.
“Sedikit pulih dari kebingungan, aku bertanya, ‘Dari arah mana tadi kita datang?’
“Meski telah berhenti menangis, kau tak menjawab pertanyaanku. Kau malah bicara hal lain, ‘Bila tahu begini jadinya aku akan memilih kegelapan tadi, kita masih bisa percaya bila diri kita sedang meraba-raba jalan.’
“Terang saja aku merasa disalahkan, karena akulah yang pertama kali melihat celah terang itu. Tapi aku diam saja, tak mau membuat keadaan menjadi semakin pelik dengan berdebat, setidaknya pada saat itu. Aku berputar—atau hanya sedang membayangkan diriku berputar melihat sekeliling—tetap tak ada petunjuk; hanya warna putih yang tadi.
“Lalu kamu kembali histeris, berteriak-teriak panik, ‘Apalagi yang akan kita lakukan?! Apa lagi?!’
“Aku menegah, ‘Sudah, tenanglah. Kita pikirkan sama-sama,’ begitu kataku, jelas-jelas kata-kataku, meskipun aku sendiri tak tahu apa yang harus dipikirkan selanjutnya. Memikirkan apa, dan mulai dari mana? Di sekeliling kita hanya ada warna putih, tanpa sedikit pun celah bagi titik tolak berpikir; tak satu pun tanda yang bisa memberi petunjuk, sekecil apa pun itu, untuk memutuskan langkah selanjutnya.
“Tiba-tiba kau menudingku, ‘Semua ini gara-gara kamu, kalau kau tak memandu kita ke sini kita tak akan sampai begini!’
“Aku terperangah. Apakah cahaya terang di sekeliling kita telah membuatmu amnesia? ‘Ingat-ingatlah mulanya, kalau kamu tak mengajakku masuk ke kegelapan kepala orang itu kita tak akan sampai di sini!’ kataku tak kalah sengit.
“Kau terdiam beberapa lama, lalu dengan suara lebih tenang kau bicara, ‘Maafkan aku. Sekarang memang bukan waktunya saling menyalahkan, kita harus mencari jalan keluar.’
“Tapi aku telah telanjur tersinggung. ‘Jalan keluar?!’ semprotku, ‘Kamu yang terobsesi jalan keluar! Kamu membujukku mengikutimu masuk ke dalam kegelapan tadi untuk mencari jalan keluar. Dan sekarang kita berada dalam warna putih semata dan lagi-lagi kau memikirkan jalan keluar, hah, jalan keluar?!’ Aku kehilangan kesabaran.
“Kau pasti tak menyangka aku bisa sekeras itu kepadamu. Kau terdiam sangat lama. Mungkin setelah meyakinkan diri bahwa aku telah mampu mengendalikan diri, kau lalu berkata lirih, yang bila kuingat sekarang itulah usulmu yang terakhir. Dengan nada putus asa yang berat, kau bilang begini: ‘Mari kita berjalan, tak usah pedulikan ke arah mana, jika kamu yang pertama kali bertemu jalan keluar itu, maka berteriaklah; aku pun demikian.’
“Sejak saat itulah aku tak pernah lagi mendengar suaramu. Terkadang, dalam kelelahan mencari, aku berteriak memanggilmu. Namun tak ada jawaban. Mungkin kau tak mendengarku, mungkin pula sengaja tak mau mendengarku, atau mungkin juga kita berdua telah terpisah terlalu jauh sehingga bila kau berteriak aku tak bisa mendengarmu. Kadangkala aku juga merasa mungkin selama ini sebenarnya kau diam-diam mengikutiku.”
Saat mengucapkan kalimat terakhirnya, lelaki itu menatapku tajam.
“Tidak, tidak,” kataku cepat. “Aku tak mengikutimu.”
Ia tetap menatapku tajam.
Ditatap seperti itu sungguh membuatku tak nyaman. Kuulang, “Serius, aku tak mengikutimu.”
“Jadi kini kau telah mengingat cerita itu. Bukan begitu, Jung?” Tatapan tajamnya masih menancap di mataku.
“Ya, aku ingat. Tapi tak seperti anggapanmu….”
Tatapannya melunak. Ia menoleh ke samping sehingga tak dapat kulihat wajahnya dengan jelas, tapi sepintas aku menangkap seringai sinis dari wajah itu. Dari arah itu, ia menoleh kembali ke arahku, membawakanku seulas senyum tipis yang misterius.
“Tentu saja,” katanya. “Memang, kau tak mengikutiku. Karena dengan mudahnya kau meletakkan pulpenmu, dan meninggalkan kertas-kertas di hadapanmu, serta meninggalkanku di sana sebagai korban dari cerita dengan akhir terbuka. Semudah itu bagimu. Belakangan aku baru menyadari kebenaran itu.”
Ada kemarahan terpendam di balik kata-kata itu.
“Bukan maksudku begitu, maafkan aku, tapi sebuah cerita haruslah diakhiri,” kucoba mencairkan suasana. “Sudahlah, kita tinggalkan soal itu sejenak. Sejujurnya aku heran kenapa tiba-tiba kau bisa menemukanku di sini, bolehkah kutahu?”
Alih-alih ditujukan untuk memenuhi rasa ingin tahuku, aku merasa jawabannya lebih menyerupai pembalasan dendam.
“Butuh waktu sangat lama sampai aku menyadari kemampuanku mencipta-ulang diriku,” katanya. “Setelah itu barulah aku menciptakan semua ini,” ia merentangkan tangan lebar-lebar seolah hendak merangkul semuanya sekaligus: jalan raya, tiang listrik, papan iklan, rambu-rambu, pemakai jalan, pedestrian, semua yang ada di sekitar kami, termasuk toko tempatku bekerja sekarang. Setelah diam dengan penuh rasa bangga akan kemampuannya, ia menyambung, “Dan terakhir, aku menciptakanmu: seorang penjaga toko yang ingin menjadi pencipta.”
Aku terperangah. Serasa kehilangan pijakan. Kutatap lekat-lekat permukaan aspal di bawahku seolah hendak memastikan apakah hukum gravitasi masih berlaku, saat terdengar suaranya tajam menusuk, “Dan itu artinya aku juga bisa melakukan hal yang sama seperti yang telah kau lakukan padaku.”
Setelah itu, ia bahkan tak memberiku ke sempatan mengetahui warna sepatunya. ***
Barru, 2015
MULIADI GF, lahir di Bojo, 29 Mei 1986, suka membaca dan menulis cerpen, tinggal di Barru, Sulawesi Selatan.
Leave a Reply