Cerpen AS Laksana (Jawa Pos, 21 Agustus 2016)
MEREKA dirawat di ruangan yang sama, di sebuah rumah sakit kota kecil di daerah pesisir utara, dan keduanya mengidap penyakit yang tampaknya hanya bisa disembuhkan oleh mukjizat. Ruangan berwarna putih, dengan satu jendela, dan di dindingnya tergantung dua lukisan bunga. Gadis remaja yang tempat tidurnya berada di samping jendela sudah dua minggu menempati kamar itu. Ada masalah besar yang merusak fungsi paru-parunya. Untuk meringankan penderitaannya, dokter menyarankan gadis itu duduk tegak di tempat tidurnya tiap pagi dan sore sebelum tiba jam besuk. Ia harus melakukannya untuk membuang cairan yang terus memenuhi paru-paru.
Gadis remaja yang satunya lagi dirawat di ruangan itu lima hari kemudian. Sekujur tubuhnya melemah, begitu pula detak jantungnya. Ia, seperti putri tidur dalam dongeng, hanya terbaring dengan mata terpejam sejak hari pertama masuk.
“Sakit apa ia, Suster?” tanya gadis di tepi jendela kepada perawat.
“Dokter sedang memastikannya,” jawab si perawat.
“Ia bisa sembuh, kan?”
“Kami berharap begitu. Kami berharap semua pasien yang dirawat di rumah sakit ini bisa kembali sehat, apa pun penyakit mereka, dan kami berusaha semampu kami.”
Lalu perawat meninggalkan ruangan, meneruskan pekerjaan di ruangan-ruangan lain.
Kini mereka hanya berdua. Si gadis di tepi jendela duduk di tempat tidurnya sore itu, mematuhi saran dokter.
“Ada yang hendak kusampaikan kepadamu, entah kau bisa mendengar suaraku atau tidak,” katanya. “Kita beruntung dirawat di tempat ini. Segala hal di sini terawat baik, sehingga kita bisa merasa tenteram di tangan mereka. Yang lebih penting lagi, dari jendela kamar ini kita bisa menikmati matahari sore yang menakjubkan. Ia berwarna jingga, dan aku menyukai kehangatan yang dipancarkannya. Dan, kau tahu, setiap kali cahaya hangat matahari menyentuh kulitku, aku seperti mendengar semua sel tubuhku bernyanyi bahagia.”
Itu disampaikannya pada hari kedua si “Putri Tidur” dirawat, dan sejak itu tiap pagi dan sore gadis di tepi jendela selalu menceritakan segala yang ada di luar sana, seperti orang iseng karena tidak ada hal lain yang bisa dikerjakan, sementara teman sekamarnya nyaris tidak bergerak dan tidak pernah membuka mata.
Pada Rabu sore pekan ketiga, ia bercerita tentang pelataran rumah sakit. “Kau tahu, rumah sakit ini memiliki taman yang bagus sekali. Ada danau kecil di pelataran, ada anak-anak berlarian di tepi-tepinya, dan ada sepasang angsa seputih salju sedang berenang di danau itu.”
Perawat masuk dan menyapa ramah, menanyakan apakah keadaannya sudah lebih enak sekarang. Gadis di tepi jendela menjawab bahwa keadaannya makin membaik, napasnya lebih ringan, dan mungkin sebentar lagi ia akan segera meninggalkan ruangan ini. Perawat itu meletakkan nampan berisi makanan di atas meja kecil di samping tempat tidur pasien.
“Jendelanya ditutup, ya, Sayang,” kata perawat. “Sudah petang sekarang.”
“Silakan,” kata gadis itu.
Perawat menutup jendela, lalu mengusap tangan dan wajah gadis itu dengan handuk yang dibasahi air hangat. Setelah itu kepada pasiennya ia mengucapkan selamat beristirahat dan semoga mendapatkan mimpi indah pada saat tidur nanti malam. “Setiap orang berhak memiliki mimpinya yang paling indah,” katanya.
Gadis di tepi jendela sekarang merebahkan dirinya di tempat tidur. Lalu sambil tiduran ia bicara lagi, meski Putri Tidur di sebelahnya tidak pernah bisa menanggapi semua ucapannya. “Seorang teman pernah menceritakan kepadaku tentang penulis bernama Jose Saramago, tetapi bukan cerita tentang penulis itu yang ia sampaikan, melainkan tentang neneknya. Mereka dari keluarga yang serba kekurangan. Di negeri mereka di Portugal sana, nama ‘Saramago’ sebetulnya adalah nama tanaman liar yang biasa dimakan orang-orang miskin, lalu nama itu melekat menjadi nama keluarga karena begitu miskinnya mereka.
“Nah, si nenek suatu hari duduk-duduk saja di depan pintu, menikmati matahari sore yang bulat besar dan berwarna jingga. Ia bilang, ‘Sayang sekali aku harus meninggalkannya, cepat atau lambat. Jika diizinkan hidup lebih lama, aku ingin hidup barang dua ratus tahun lagi. Bagaimanapun hidup ini indah, seperti apa pun keadaan kita.’ Perempuan tua itu meninggal tak lama kemudian. Ia seperti bisa merasakan bahwa saatnya sudah dekat. Karena itu ia gunakan sisa waktunya untuk menikmati keindahan sore hari.”
Menjelang tengah malam, terdengar suara peluit kereta api sayup-sayup di kejauhan, roda-roda besinya berdentam menggilas rel. Gadis itu menyukai bunyi kereta api, kadang ia membayangkannya sebagai suara ombak atau arus sungai yang deras di pegunungan. Ia belum pernah melihat kereta api seumur hidupnya, konon seperti ular besar, tetapi dari besi.
Di luar, angin menggugurkan daun-daun yang sudah menguning, dan besoknya tukang sapu akan membersihkan pelataran dari guguran daun-daun yang sudah menguning itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ada seekor burung hinggap di bubungan atap kamar mereka, bulu-bulunya berwarna cokelat tanah, dan ia memiliki dua sayap seperti malaikat.
“Aku setuju pada nenek itu, bagaimanapun hidup ini indah. Jika bisa hidup selamanya, aku ingin menggunakan seluruh waktuku untuk menikmati semua keindahan di luar sana. Akan kusampaikan terima kasih kepada angin yang memberi kita napas dan kesejukan, kepada bunga-bunga, kepada hamparan rumput dan tanaman perdu yang warna hijaunya menyegarkan. Mereka memberi kita kebahagiaan, hanya saja kita sering melupakan mereka ketika kita sehat.”
Beberapa waktu kemudian, gadis yang hanya terbaring mulai bisa membuka mata. Tubuhnya masih lemah tetapi kesadarannya pulih pelan-pelan. Pandangannya bertemu dengan langit-langit dan dinding ruangan yang serbaputih. Di ruangan itu ia hanya sendirian, tempat tidur di samping jendela sudah kosong. Agak lama ia mencoba mengenali ruangan yang asing baginya, sebuah kamar yang bukan kamar tidurnya. Ia tidak menyadari sedang berada di rumah sakit sampai seorang perawat datang dan menyapanya. “Hai, kau sudah membuka mata dan kelihatan sangat sehat hari ini, Sayang,” kata perawat itu.
Gadis itu mencoba tersenyum. Si perawat merapikan tempat tidur dengan gerak tangan yang cekatan dan mengganti botol infus.
“Sudah berapa lama saya di sini, Suster?” tanyanya.
“Tiga minggu lebih,” kata suster.
“Dan selama itu saya tidur?”
“Begitulah, dan pasti kau bermimpi indah selama tidur, sebab kau tampak sehat dan bahagia ketika bangun.’’
Gadis itu diam beberapa saat, matanya masih sayu, dan sekarang bahkan tidak memandangi apa-apa seperti orang melamun.
“Saya tidak menyangka bahwa saya sedang sakit dan dirawat di sini, Suster. Saya merasa berada di pantai, menikmati matahari sore dan warna jingganya yang menyenangkan, menikmati angin, debur ombak, dan hamparan pasir. Pada hari lainnya saya berada di gunung, berjalan tanpa alas kaki, merasakan rumput yang basah oleh embun pagi. Rasanya dingin sekali dari telapak kaki sampai ke tulang-tulang. Tetapi itu hawa dingin yang menyenangkan. Saya menyukai pemandangan di sana, penuh tanaman perdu dan bunga-bunga.”
“Kurasa kau akan cepat sembuh jika setiap malam mendapatkan mimpi yang menyenangkan seperti itu,” kata si perawat.
Sebetulnya masih ada banyak pengalaman yang ia ingin ceritakan, tetapi gadis itu belum cukup kuat untuk bercerita terlalu panjang. Ia masih merasa cepat lelah, lagi pula perawat itu tidak mungkin menghabiskan seluruh waktu bersamanya. Ia masih harus mengerjakan urusannya dengan pasien-pasien lain.
“Suster,” panggil si gadis ketika perawat itu hendak meninggalkan ruangan.
“Ya,” kata si perawat.
“Aku merasa selama ini ada orang di sebelahku,” kata si gadis. “Kemarin, atau entah kapan, aku samar-samar mendengar ia bicara. Apakah ia sudah pulang, Suster?”
“Ya, kemarin malam,” kata perawat.
“Sayang sekali, sebetulnya aku masih ingin mendengar ia bicara.”
“Nanti kusampaikan kepadanya.”
Gadis itu masih terus bermimpi tiap malam. Ia menikmati kicau burung-burung, duduk-duduk di tepi kolam, melihat lengkung pelangi setelah gerimis turun di musim panas, mengagumi semua hal yang selama ini ia abaikan. Ia berpikir alangkah tololnya ia selama ini. Banyak keindahan yang bisa dinikmati dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa selama ini ia tidak pernah memperhatikan semua itu?
Malam itu sebelum tidur ia berjanji kepada dirinya sendiri, nanti akan pergi ke pantai jika sudah sehat, menikmati sore yang menyenangkan di sana, menikmati kehangatan cahaya matahari, mengagumi warna jingga sebelum matahari terbenam. Ia juga akan pergi ke gunung, menikmati hawa segar dan hijau daun-daun. Ia akan menyampaikan terima kasih kepada apa saja, seperti yang dilakukan oleh gadis teman sekamarnya.
Besoknya, pada pukul sembilan pagi, kakaknya datang menjenguk dan mengabarkan bahwa ibu tidak bisa datang karena tidak enak badan. “Ia terlalu memikirkanmu, kurang tidur, dan kebanyakan menangis,” kata kakaknya. “Ayah baru bisa datang besok pagi karena hari ini banyak urusan di kantor.”
“Sampaikan kepada mereka aku baik-baik saja,” katanya. “Dan ibu jangan kebanyakan menangis, nanti seluruh kota terendam banjir dan tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan orang-orang dan semua binatang, sebab Nabi Nuh sudah tak ada.”
Seperti benar-benar mendapatkan mukjizat, hari demi hari keadaan gadis itu semakin membaik. Ketika tubuhnya sudah lebih kuat, ia meminta dipindahkan ke tempat tidur di tepi jendela. Pada saat kesadarannya mulai pulih dan telinganya sudah bisa menangkap suara orang bicara, ia mendengar samar-samar apa yang disampaikan oleh gadis yang dirawat sekamar dengannya. Ia ingin menikmati pagi dan sore hari seperti teman sekamarnya itu. Ia ingin melihat sendiri taman bunga dan danau kecil di pelataran rumah sakit ini, melihat sepasang angsa di danau, melihat kanak-kanak berlarian di tepi-tepinya.
Perawat memenuhi permintaannya. Sore itu ia duduk di tepi jendela dan tidak melihat apa-apa. Tidak ada matahari jingga, tidak ada taman bunga dan danau kecil; ia tidak melihat apa-apa di luar selain pagar tembok putih.
“Kenapa sekarang ada tembok, Suster?” tanyanya kepada perawat. “Teman sekamar saya bisa melihat danau dan angsa dari jendela ini dan saya senang saat mendengar ia menyampaikan apa yang ia lihat. Saya bisa merasakan seolah-olah saya sedang duduk di tepi danau itu, melihat anak-anak kecil berlarian, melihat sepasang angsa seputih salju. Ia juga bilang dari jendela ini kita bisa menyaksikan matahari sore. Sekarang tembok ini menutupi semua keindahan itu.”
Perawat memandangi gadis itu, kelopak matanya berkedip-kedip menahan air mata yang hendak jatuh. Ia memalingkan wajahnya ke arah jendela yang terbuka.
“Sebenarnya dari dulu seperti itu,” kata si perawat. “Pagar tembok itu sudah ada sejak aku mulai bekerja di rumah sakit ini.”
Gadis itu merasa kecewa mula-mula karena pemandangan di luar jendela meleset dari harapannya, tetapi pelahan-lahan ia menyadari sesuatu yang lain. Bagaimanapun ia harus berterima kasih kepada gadis yang pernah dirawat sekamar dengannya. Teman sekamarnya itu telah menceritakan segala pemandangan indah di luar sana, dan semuanya karangan belaka, sebab sebenarnya ia sendiri hanya melihat tembok di depan matanya.
“Boleh kututup jendelanya?” tanya perawat.
“Biarkan saja terbuka, Suster,” katanya. “Saya masih ingin menikmati pemandangan.”
Gadis itu tak tahu apa saja yang sudah diceritakan oleh teman sekamarnya; ia hanya mendengar satu atau dua cerita pada saat telinganya mulai bisa menangkap suara. Tetapi sekarang ia berpikir mungkin gadis itulah yang telah membuatnya mendapatkan semua mimpi pada saat ia tidak sadar selama tiga minggu.
“Suster tahu di mana ia tinggal?” tanyanya. “Nanti kalau sudah boleh pulang, saya ingin menemuinya dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Saya beruntung dirawat di sini dan ditempatkan sekamar dengannya. Ia telah memberi saya mimpi-mimpi yang menyenangkan.”
Sekarang perawat itu betul-betul menangis. Tidak ada lagi yang ia bisa sembunyikan.
“Ia sudah meninggal, Sayang,” katanya, “satu hari sebelum kau membuka mata.”
Dari arah utara, sayup-sayup terdengar bunyi peluit kereta api.
“Aku tahu ia menyukai suara kereta api. Ia pernah menceritakan hal itu dan ia bilang belum pernah melihatnya sama sekali.”
“Ya,” kata si perawat, “dan sebenarnya ia belum pernah melihat apa pun seumur hidup. Ia buta sejak lahir.”
Sunyi beberapa saat. Gadis itu merasakan kelopak matanya basah.
“Suster tahu di mana ia dimakamkan? Saya ingin menceritakan kepadanya seperti apa bentuk kereta api. Saya sudah berkali-kali melihatnya. Ia besar dan panjang, seperti ular raksasa, tetapi dari besi.” ***
.
.
Catatan penulis:
Cerita ini diolah dan dikembangkan dari sebuah cerita yang saya dapatkan di internet.
.
.
AS Laksana, cerpenis kelahiran Semarang, tinggal di Jakarta.
.
Seperti Ular Raksasa, tetapi dari Besi. Seperti Ular Raksasa, tetapi dari Besi. Seperti Ular Raksasa, tetapi dari Besi.
Affan
Saya pernah baca cerita ini, lupa di mana, tapi penceritaan nya yang ini jauh lebih bagus.
lakonhidup
Ide dan alur ceritanya 100% sama dengan cerpen di link berikut ini ya?
https://lakonhidup.wordpress.com/2015/11/15/dari-balik-jendela/
Apakah dengan “catatan penulis” di akhir cerita berbunyi : “Cerita ini diolah dan dikembangkan dari sebuah cerita yang saya dapatkan di internet.” serta merta jadi legal kesamaan ide & alur cerpen ini dengan cerpen yang ditirunya?
Affan
Kalau itu saya juga tidak tahu sih hehe
iisfm
Sama bangettt ituh..
Padahal sy suka cerpen2 A.S Laksana, ide, alur, gaya ceritanya yg unik. Ternyata nyontek jg! Ga keren!
*fanskecewa*
infocops
A.S Laksana gak niru kok cerpen Ahmad Sastra, karena Kisah Gadis Buta memang cerita umum yg anonim, kisah itu termasuk kisah-kisah inspiratif, seperti kisah Timun Mas, Malin Kundang, dsb. Bisa jadi, cerpen ini sengaja dibuat utk memparodikan cerpennya AS. Heheh.
lakonhidup
Saya tadi sudah coba search di google, mencoba menemukan “Kisah Gadis Buta” yang anonim itu.
Beberapa link yang saya baca, berkisah tentang: seorang gadis buta yang diberi sepasang kornea oleh kekasihnya tanpa sepengetahuannya, dan ketika bertemu muka pertama kali dengan kekasihnya yang ternyata buta, setelah operasi pemasangan korneanya sukses, gadis itu memutuskan untuk meninggalkan kekasihnya. Dari tempat yang jauh, sang kekasih berpesan untuk menjaga hadiah sepasang kornea yang dihadiahkannya itu. Sang gadis banjir air mata, sangat menyesali keputusannya.
Apakah yang dimaksud kisah ini?
infocops
Bukan. Bukan yg itu. Coba klik link ini:
http://adetya-anbu.blogspot.co.id/2013/10/kisah-gadis-buta.html?m=1
Ini diposting pada bulan Oktober 2013, sedangkan cerpen AS di Republika (2015) dan ASL di JP (2016).
lakonhidup
Saya sudah membacanya. Terima kasih link-nya.
“Kisah Gadis Buta (KGB)” di link itu benar-benar ringkas, dan saya menemukan ada beberapa kesamaan identik pada cerpen “Seperti Ular Raksasa, tetapi dari Besi (SUR, tdB)” dan cerpen “Dari Balik Jendela (DBJ)” yang tidak tersurat pada “KGB”, misalnya:
===
Pada “DBJ” –> Dua orang pasien yang mempunyai //penyakit serius//
Pada “SUR, tdB”–> … keduanya mengidap //penyakit yang tampaknya hanya bisa disembuhkan oleh mukjizat//
===
Pada “DBJ” –> Setiap menjelang siang, Pak Mahmud dibolehkan //duduk selama satu jam supaya cairan yang ada di paru-parunya cepat hilang//
Pada “SUR, tdB”–> Ada masalah besar yang merusak fungsi paru-parunya. Untuk meringankan penderitaannya, dokter menyarankan gadis itu //duduk tegak// di tempat tidurnya tiap pagi dan sore sebelum tiba jam besuk. Ia harus melakukannya //untuk membuang cairan yang terus memenuhi paru-paru//
===
Dan, mungkin ada kesamaan-kesamaan identik lainnya jika kita luangkan waktu untuk meniliknya lebih detail.
Jika kita berhusnuzhan, mungkin, ya mungkin saja, dua kesamaan identik itu merupakan tafsiran kedua penulis dari clue “pada satu malam gadis itu sesak nafas” pada “KGB”?
Benarkah? Ya, tentu hanya kedua penulis yang tahu pasti jawabannya.
Pertanyaan saya berikutnya: apakah penulis “SUR, tdB” sebelumnya pernah membaca “KGB” dan “DBJ”, mengingat urutan waktu terbit di atas?
“KGB” (09 Oktober 2013)
“DBJ” (15 November 2015)
“SUR, tdB” (21 Agustus 2016)
Hmmm… karena catatan penulis pada bagian akhir cerita: //Cerita ini diolah dan dikembangkan dari sebuah cerita yang saya dapatkan di internet.// TIDAK merujuk ke link manapun di internet.
infocops
Kalau sering baca cerpen ASL. Dia memang suka bikin tulisan satire. Jadi kemungkinan, dari tulisan ini, dia seakan2 mau bilangin AS bahwa “kayak gini nih buat cerpen yg baik dengan memberikan catatan kaki.” Tapi entahlah, bagaimana maksud kedua penulis tersebut.
lakonhidup
Sebagai admin, saya tentu membaca semua cerpen A.S. Laksana yang didokumentasikan di sini.
Akan tetapi, terlepas dari tulisan satire yang sering ditulis olehnya, kalau memang A.S. Laksana sebelumnya pernah baca cerpen “DBJ” karya Ahmad Sastra–sekadar mengamini pernyataan Anda: “Jadi kemungkinan, dari tulisan ini, dia seakan2 mau bilangin AS bahwa …”, kok ya sekelas A.S. Laksana mau bilangin gitu aja HARUS dengan buat cerpen yang ide dan alurnya sama persis? Sudah kehabisan ide originalkah dia? Hmm…
iisfm
Setuju admin!
Menurut sy, kl mau menunjukkan cerpen yg baik dg catatan kaki seharusnya y catatan kaki yg baik jg, yaitu referensi yg baik, yg jelas, yg bs dipertanggungjawabkan.. *masihfanskecewa*
A.S. Laksana
Terima kasih untuk semua tanggapan. Saya tidak mencantumkan link karena saya pikir mudah bagi pembaca untuk menemukannya melalui mesin pencari; ada lebih dari satu link. Saya tidak membaca cerpen yang dimuat di Republika itu, yang saya yakin sumbernya sama dengan cerita yang saya olah dan kembangkan. Sayangnya cerpen di Republika justru tidak menyebut sumbernya.
Jika teman-teman ingin tahu sumbernya, sila baca cerita ini. Judulnya “Two Hospital Patients” http://rishikajain.com/2013/11/18/inspirational-stories-series-the-two-hospital-patients/
lakonhidup
Fuihhh… akhirnya sang juragan muncul juga 😀
Ok, terima kasih sudah berkenan mampir, klarifikasi dan memberikan (salah satu, dari beberapa) link sumber inspirasi cerpen “SUR, tdB”.
Btw, setelah saya baca link sumber bacaan di atas, cerpen “DBJ” lebih mirip sumber bacaan aslinya (asumsi: sumber bacaan sama) daripada cerpen “SUR, tdB”.
So, akan lebih fair nih kalau Ahmad Sastra juga mampir di sini…
lakonhidup
The two hospital patients
Two men, both seriously ill, occupied the same hospital room. One man was allowed to sit up in his bed for an hour each afternoon to help drain the fluid from his lungs. His bed was next to the room’s only window. The other man had to spend all his time flat on his back. The men talked for hours on end. They spoke of their wives and families, their homes, their jobs, their involvement in the military service, where they had been on holiday.
And every afternoon when the man in the bed by the window could sit up, he would pass the time by describing to his roommate all the things he could see outside the window. The man in the other bed began to live for those one-hour periods where his world would be broadened and enlivened by all the activity and colour of the world outside.
The window overlooked a park with a lovely lake. Ducks and swans played on the water while children sailed their model boats. Young lovers walked arm in arm amidst flowers of every colour of the rainbow. Grand old trees graced the landscape and a fine view of the city skyline could be seen in the distance.
As the man by the window described all this in exquisite detail, the man on the other side of the room would close his eyes and imagine the picturesque scene.
One warm afternoon the man by the window described a parade passing by. Although the other man couldn’t hear the band – he could see it in his mind’s eye as the gentleman by the window portrayed it with descriptive words. Days and weeks passed.
One morning, the day nurse arrived to bring water for their baths only to find the lifeless body of the man by the window, who had died peacefully in his sleep. She was saddened and called the hospital attendants to take the body away. As soon as it seemed appropriate, the other man asked if he could be moved next to the window. The nurse was happy to make the switch and, after making sure he was comfortable, she left him alone. Slowly, painfully, he propped himself up on one elbow to take his first look at the world outside. Finally, he would have the joy of seeing it for himself. He strained to slowly turn to look out the window beside the bed.
It faced a blank wall. The man asked the nurse what could have compelled his deceased roommate who had described such wonderful things outside this window. The nurse responded that the man was blind and could not even see the wall. She said, “Perhaps he just wanted to encourage you.”
Today will never come again . Be a friend . Encourage someone. Take time to care.Let your words heal,and not wound.
Source: http://rishikajain.com/2013/11/18/inspirational-stories-series-the-two-hospital-patients/
Galuh
tak menampilkan rujukan dengan terang benderang jelas bukun kejujuran 100%