Cerpen Junaidi Khab (Suara Merdeka, 14 Agustus 2016)
Pada masa penjajahan Jepang, sikap remajaku sangat menggebu-gebu. Aku selalu ingin berperang dan menantang orang-orang Jepang. Tapi, kadang nyaliku bagai kain basah karena tak memiliki senjata tajam seperti pedang atau keris. Aku dengar-dengar dari banyak taman dan tetangga, mereka menggunakan bambu untuk membunuh orang-orang Jepang. Pada mulanya aku meragukan tentang penggunaan bambu sebagai alat untuk membunuh orang. “Masak hanya dipentungkan?” gumamku setangah heran dan tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh para tetangga.
Aku pun menyimak dan banyak bertanya perihal bambu yang digunakan untuk membunuh tentara Jepang. Aku baru menyadari setelah melihat dengan mata kepala sendiri. Bambu itu diruncingkan. Seruncing kuku serigala di hutan. Aku segera melonjak ke pagar-pagar rumah untuk menebang pohon bambu untuk diruncingkan.
“Eh, Kasman. Kamu buat bambu runcing kok memakai bambu duri?” celutuk Saprawi yang memergokiku sedang meruncingkan bambu.
“Kenapa emangnya?” sergahku dengan angkuh.
“Itu tidak cepat membunuh tentara Jepang,” nasihatnya dengan lembut.
“Lha, terus pakai bambu apa? Bambu kuning atau bambu bulu?” tanyaku tak kalah ketus pada Saprawi.
“Pakai bambu bulu lah,” katanya sembari memalingkan wajah dan membalikkan badannya lalu pergi meninggalkanku.
Setelah aku banyak mengorek informasi tentang bambu runcing yang dibuat dari bambu bulu, aku menemukan keistimewaan bambu bulu. Bambu bulu tidak jauh berbeda dengan bambu kuning. Sama-sama tidak berduri. Namun, manfaatnya untuk membunuh orang lebih ampuh bambu bulu.
Seperti kabar yang kudengar dari teman-teman dan para tetangga, bambu bulu katanya memang sangat mudah membuat orang cepat mati. Selain lebih tajam sembilunya daripada bambu duri dan bambu kuning, rongganya lebih besar. Rongga inilah yang mempercepat aliran darah. Orang yang tertusuk bambu bulu runcing akan segera mati. Dan tak heran jika teman-temanku ketika berburu binatang menggunakan bambu runcing. Sekali kena, darah mengucur dan binatang segera mati untuk dibawa pulang. Berbeda dengan bambu duri dan bambu kuning. Dua bambu ini rongganya sangat sempit, tak mudah untuk mengalirkan darah dan sulit mempercepat kematian.
***
Diam-diam tanpa sepengatahun Kaprawi aku membuat bambu runcing dari bambu bulu. Ada sekitar lima bambu runcing yang kubuat sebagus mungkin. Tapi, aku juga membuat bambu runcing dari bambu kuning dan bambu duri. Mungkin saja manfaatnya ada, tapi berbeda dengan manfaat bambu bulu.
“Man, teman-temanku besok lusa mau masuk hutan.” Tiba-tiba Samsi berucap di tengah aku meruncingkan satu bambu kuning.
“Kamu ikut juga?” tanyaku memastikan keikutsertaannya.
“Iya. Tentu saja aku ikut. Aku punya pistol yang kucuri dari tentara Jepang.”
Aku terperangah melihat Samsi yang mengeluarkan senapan laras sekitar tiga puluh sentimeter. Dia membolak-balikkan di hadapannya sembari melirik ke arahku. Aku tak bisa berkata apa-apa tentang keberaniannya mencuri pistol dari tentara Jepang.
“Bagaimana caranya kamu bisa dapat itu?” tanyaku heran tanpa malu.
“Beginilah orang pemberani,” katanya dengan angkuh di depanku.
Aku hanya diam. Pikiranku sudah tak memikirkan bambu runcing. Seakan-akan dia mengejek karena aku tak punya pistol. Sudah tentu aku dianggap pengecut. Aku tak mau kalah dengan Samsi yang pemberani dan punya pistol dari hasil curian. Aku harus lebih berani darinya. Pikiranku sudah berusaha mencari cara untuk mencuri pistol seperti yang dipamerkan oleh Samsi.
“Hei, tidak usah memiliki pistol semacam ini. Bambu runcing yang terbuat dari bambu bulu sudah cukup. Ini aku hanya untuk jaga-jaga. Aku juga menggunakan bambu runcing yang terbuat dari bambu bulu.”
Samsi seakan bisa membaca pikiranku. Aku hanya terdiam memikirkan kata-katanya yang kembali melembekkan nyaliku untuk mencuri pistol. Tapi, aku akan tetap bersikukuh untuk mencuri dari para tentara.
“Ini aku dapat ketika ada tentara bermain perempuan dan tertidur,” imbuhnya.
“Halah… Aku pikir kamu masuk markasnya.” Aku mengejek dan mengurungkan tekadku untuk mencuri senjata api.
Hari sudah gelap. Ronda malam yang dilakukan secara intens oleh para tentara Jepang dimulai. Masyarakat tak ada yang berani keluar rumah. Mereka khawatir disangka para gerilyawan yang akan menyerang di malam hari. Pada masa itu, masyarakat tak berani membunuh tentara pada siang hari dan di tempat terbuka. Pernah suatu ketika ada yang membunuh tentara di siang hari, bersamaan itu pula nyawanya melayang karena mudah untuk ditemukan dan ditembak.
Suasana malam yang temaram memang sangat tepat untuk menghabisi bangsa yang laknat itu. Di tengah hutan, penyeranganku bersama teman-temanku dimulai. Tentara Jepang yang beronda di area hutan dengan posnya berhasil aku bunuh dengan bambu runcing. Benar apa yang dikatakan oleh teman-teman dan para tetanggaku. Pertama aku menusuk tentara menggunakan bambu duri. Kedua aku menggunakan bambu kuning. Dua tentara yang kutusuk memang berhasil mati, tapi setelah kutindih kepalanya berkali-kali dengan pentungan. Itu pun masih mampu memanggil temannya.
Berbeda dengan yang ketiga kali dan seterusnya. Aku menggunakan bambu bulu yang runcing untuk menusuk para tentara yang menjaga pos di tengah hutan. Tak lama darah mengalir deras, lalu mati tanpa bersuara. Aku baru percaya dengan kelebihan bambu bulu yang diruncingkan jika digunakan untuk membunuh orang.
Tentara Jepang terbunuh di hutan, aku juga bisa merampas banyak pistol yang kuinginkan sebelumnya. Ada sekitar sembilan pistol yang kusandang di sekeliling perut dan pinggangku berikut dengan misilnya. Aku merasa sangat gagah dan berani menyandang banyak pistol dari hasil perjuanganku membunuh para tentara menggunakan bambu bulu runcing.
Kini, aku hanya menjadi orang tua renta dengan uang bulanan dari pemerintah. Tapi, ada pula kawan-kawanku yang tak mendapat apa-apa, seperti Kaprawi dan Samsi. Kubagikan saja sebagian uang bulananku pada mereka. Sembilan pistol kupajang berjejer di dinding rumah. Di atasnya berderet pula tiga bambu runcing yang pernah kugunakan berperang di hutan. Bambu duri runcing kuletakkan paling bawah. Di samping kanannya sedikit lebih tinggi kuletakkan bambu kuning runcing. Terakhir paling kanan dan paling atas kuletakkan bambu bulu runcing, bambu andalanku dalam berperang melawan tentara Jepang. Kenangan itu berlalu dan usai, kemenangan pada 17 Agustus 1945 diraih. (92)
Surabaya, 10 Agustus 2015
Junaidi Khab, cerpenis asal Sumenep, lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya. Aktif di komunitas Rudal Yogyakarta. Karyanya antara lain Novelisme: Pengakuan Pembaca Novel (2013), dan Origami Story (2016). Karyanya berupa esai, cerpen, dan puisi dimuat di beberapa media lokal dan nasional.
Leave a Reply