Cerpen Ken Hanggara (Suara Merdeka, 28 Agustus 2016)

Apartemen Malaikat ilustrasi Suara Merdeka
Setelah bertahun-tahun bus itu melaju seakan tanpa tujuan akhir, aku dan Sapono diturunkan di gedung tua dengan gerbang berlogo ayam jago. Sapono membawa barang berupa sekeping white board dan spidol warna hitam yang baunya tidak enak. Papan itu digantung begitu saja di lehernya untuk dapat berkomunikasi, karena ia tidak memiliki kepala. White board itu didapat secara gratis ketika malaikat Sapono menumpang bus pelintas dua dunia.
Jika Anda belum mendengar alasan bagaimana aku, yang manusia biasa, terjebak di alam gaib ini dan tidak bisa pulang dan terpaksa mengikuti kemana malaikat bernama Sapono pergi, sebaiknya tidak perlu mendengar lebih jauh tentang ini.
Sapono malaikat yang jatuh ke bumi dan kedua sayapnya patah dan dia juga tidak berkepala. Kepalanya tertancap ke permukaan lumpur kering di tambak yang jaraknya bermilmil jauhnya dari rumahku. Saat itu Sapono berjalan jauh hingga menemukanku dan memintaku mengantarnya ke surga. Lalu kami menembus kampung demi kampung dengan berbekal pengetahuan Sapono tentang arah, dan mampir di sebuah danau untuk mandi dan makan ikan bakar. Di tepi jalan, yang tak jauh dari danau, kami menumpang bus hitam, dan sejak itu aku tidak pulang. Bus gaib itu membawa kami bertahun-tahun perjalanan tanpa henti.
Aku tidak menyangka permintaan Sapono mengantarku berarti aku meninggalkan tubuh fanaku dan pergi ke alam antara hidup dan mati. Turun dari bus, Sapono menulis sesuatu di white board-nya, karena ia tidak berkepala dan tentu tidak bermulut, sehingga begitulah cara malaikat ini berkomunikasi. Ia bilang: Sekarang semua lebih baik. Di bus kamu tidak bisa berpindah-pindah kursi, tapi di sini tempat tidurnya banyak, dan kamu dapat memilih tempat yang kamu suka.
Sapono berbalik badan dan memintaku menuntunnya melewati halaman menuju pintu gerbang yang dijaga lelaki berbadan gorila. Aku menunduk ketika penjaga itu bangkit dan mengangkat palu berukuran dua kali kursi taman yang dahulu sering kusinggahi. Ia benar-benar luar biasa. Palu itu jelas dapat menyulapku jadi berkaleng-kaleng kornet seketika, sehingga yang dapat kulakukan hanya berbuat sesopan mungkin.
Aku terus saja menunduk, tetapi Sapono menyuruhku berjalan dengan postur yang tegak seperti tiang. Ia menulis kata-katanya itu sambil berjalan tertatih-tatih di samping. Lalu, Sapono melanjutkan dengan kalimat: Penjaga itu berotak sapi; kamu tidak perlu takut kepada sapi, kecuali jika ia berotak buaya!
Aku tidak paham maksudnya, tetapi si penjaga yang berbadan gorila dan berwajah serupa monster rekaan Dokter Frankenstein, melenguh riang tidak keruan ketika melihat Sapono. Penjaga itu buru-buru meletakkan palunya dan mengangkat wajahnya dua kali, sebelum menghentikan aksinya.
Sapono merogoh saku celana dan menaruh segenggam rumput di depan penjaga itu. Penjaga itu memakan rumput pemberian Sapono. Aku bertanya pada Sapono yang dapat mendengar sekalipun ia tidak berkepala, karena Sapono memiliki kuping yang terpajang di dada. Aku bertanya bagaimana bisa seekor gorila itu berotak sapi?
Sapono menulis jawabannya, setelah kami memasuki gerbang dan kuhirup aroma cengkih. Aku suka cengkih dan jawaban Sapono di white board tidak begitu kugubris. Ia menulis tentang si penjaga, yang entah bagaimana berotak sapi. Aku menikmati hirupan demi hirupan aroma cengkih yang memanjakanku di ruang tamu ini sehingga apa yang ia tulis tidak terbaca sepenuhnya.
Selesai Sapono menulis, resepsionis berbaju aneh menyambut kami. Sapono masih menulis sesuatu di white board-nya, yang membuatnya tampak kelelahan. Selama kami bersama, ia berkomunikasi dengan cara itu, dan kupikir ia sudah cukup sabar. Menulis sesuatu di sekeping papan dengan kondisi tanpa kepala bukan perkara gampang. Setiap gerakan membentuk huruf dengan spidol membuatnya berkeringat dan bau Sapono semakin tidak enak dari waktu ke waktu.
Sapono menyerahkan tulisannya pada si resepsionis, lalu orang berwajah pucat itu menyuruhku mengikutinya ke meja. Ia ambil kunci nomor 313, dan mengatakan bahwa sejak Sapono pergi dua ratus empat puluh tiga tahun yang lalu, apartemennya tidak ada yang membersihkan, karena Sapono malaikat terkolot yang pernah ada. Malaikat kolot tidak suka sembarangan orang mengacak-acak tempatnya; itu dapat merusak privasi. Ia harap Sapono tak bisa mendengar, tetapi malaikat itu jelas mendengar, karena aku tahu kuping di dada Sapono berfungsi sebagaimana kuping umumnya.
Sapono tidak marah; ia jalan dengan tenang dengan bantuanku. Aku di depan, dan Sapono mengekorku dengan menggenggam bahuku. Dari ucapan si resepsionis aku tahu tempat ini apartemen bagi malaikat. Sapono tak menjelaskan, karena ia membuang white board-nya ke tempat sampah. Kami menaiki anak tangga satu demi satu dan di hampir setiap lantai menemui para pengantar malaikat dengan berbagai ceritanya.
Dalam lubuk hatiku aku ingin berbagi cerita dengan sesama pengantar malaikat. Barangkali ada satu atau dua pengantar yang dapat kuajak bertukar kenangan sebagai manusia yang pernah hidup di bumi. Tetapi, tugas kami mendampingi malaikat-malaikat tak berkepala memaksa kami diam demi tidak membuat malaikat sejenis Sapono tidak tersinggung.
Sapono malaikat yang lumayan baik, meskipun dianggap kolot. Ia membiarkanku bicara dengan siapa pun dan menikmati waktu sendiriku untuk menyesali semua dosa yang tidak dapat kuperbaiki. Aku sudah mati dan menjelang pintu surga atau neraka, sehingga amalanku tidak dapat kuperbaiki lagi.
Malaikat lain tidak sebaik Sapono; mereka memberi hukuman bagi pengantarnya berupa makanan busuk yang harus ditelan sebagai kompensasi bila bicara seenak perut. Pernah ada pengantar dihukum makan otak sapi mentah, sehingga mereka pindah duduk ke bangku paling belakang bus, karena si pengantar tidak berhenti muntah.
Bus gaib, sebagaimana yang sudah kukatakan, berjalan tanpa henti. Sesekali para pengantar malaikat bertekad melompat keluar bus, yang dapat dengan mudah dilakukan, tapi mereka tidak benar-benar melompat, karena tidak tahu harus pergi ke mana setelah itu. Jalan yang dilalui bus gaib itu sepi dan hanya berupa padang ilalang dengan ribuan tumpuk kayu bakar di sekitarnya. Kami tidak yakin dapat bertahan hidup bersama kayu bakar itu, sekalipun tidak mati kedinginan. Tetapi bukankah kami sudah mati? Kusadari kami hanya tidak ingin tersesat di tempat itu, dan lebih memilih kepastian yang malaikat tawarkan. Mereka selalu menganggap perjalanan kami adalah perjalanan menuju surga. Karena itu kami tidak pernah melompat dan akhirnya menuju apartemen malaikat yang kami antar.
“Surga. Semua ini untuk surga, ‘kan?” kataku setelah kami sampai di lantai sekian, tempat kamar 313 berada.
Sapono mengangguk. Ia tidak menjawab, sehingga cuma menunjuk depan agar aku melangkah lebih cepat.
Tiba di pintu 313, aku bertanya pada Sapono bagaimana penjaga gerbang tadi berotak sapi, sementara wajah dan tubuh serupa raksasa? Lagi-lagi ia tidak menjawab. Aku tahu karena ia tidak memegang white board-nya. Maka kubuka pintu apartemennya dan kami masuk.
Di dalam, Sapono meraih spidol dari atas meja dan mulai menulis sesuatu di sana. Ia bilang: Ya, semua soal surga ada di sini, tetapi kamu tahu dosa-dosamu setumpuk dan tidak ada kesempatan mengubah nasib.
Sapono menarikku dan menyuruhku duduk di kursi dengan jari telunjuknya yang pucat panjang. Ia memberi isyarat agar aku jangan pergi, lalu ia ke belakang, mungkin ke dapur, dengan meraba-raba tembok. Pada saat itu, pintu depan digedor keras.
Aku tidak tahu seseorang dapat bertamu dengan cara kurang ajar, maka refleks aku bangkit dan membuka pintu. Seorang lelaki dengan satu tangan memperkenalkan diri sebagai penjagal. Ia menunjukkan tas yang berisi berbagai macam alat jagal berlumuran darah. Di balik lelaki itu ada binatang bertubuh besar dan berlonceng.
“Anda bawa-bawa sapi ke tempat ini?” kataku.
“Pak Sapono pesan satu dan katanya butuh untuk malam ini.”
Sapono bertepuk tangan dari dalam dan menunduk seraya mengundang penjagal itu masuk ke apartemennya dengan gerakan menawan. Aku tertawa dan penjagal itu ikut tertawa. Sapi yang ia bawa diam dan mengunyah sesuatu. Sapono menulis di kertas, karena sekarang ia di tempat tinggalnya dan tidak butuh white board. Ia menyuruhku tidur, karena aku lelah setelah perjalanan bertahun-tahun di bus gaib. Maka, aku tidur. Bangun dari tidur, kudapati kepalaku sangat berat. Aku tidak ingat aku ada di mana, tapi kamar berbau cengkih ini langsung membuatku berpikir aku berada di apartemen malaikat.
Aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Aku mandi dan membasuh badanku yang entah kenapa berbulu lebat di dada dan ketiak. Mungkin bertahun-tahun di bus gaib dan tidak sempat merawat diri, membuat perubahan yang besar di tubuhku. Aku cukur bulu dan rambut di sekujur badan sampai bersih.
Aku baru sadar ada yang tidak beres ketika hendak mencukur jenggotku yang lebat. Di cermin wajahku jadi berbeda. Hampir kugebuk cermin itu karena kukira penjaga berotak sapi mengintipku, tapi itu bayanganku sendiri. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Sapono dan segala tetek bengek cerita ini. Aku ingin pulang dan berlari dari tempat ini, tapi aku tidak tahu jalan, dan lagi pula semuanya sudah terlambat. (92)
Gempol, 19 Agustus 2016
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.
tianti1224
Pada akhirnya dia berkepala sapi, begitu?