Cerpen Ben Sohib (Koran Tempo, 06-07 Agustus 2016)

Kafe Rossana ilustrasi Munzir Fadly
BAGAIMANA sejumlah kenangan bangkit—dan sebuah riwayat getir menuntut untuk diungkap—setelah begitu lama terkubur waktu? Itu semua terjadi ketika secara tak sengaja pada Rabu malam aku bertemu lagi dengan William Dowell di sebuah bar di kawasan Kemang setelah tujuh belas tahun berpisah. Aku sedang duduk sendirian menikmati gelas birku yang pertama ketika selayang pandang aku melihat tiga orang lelaki kulit putih masuk dan duduk berjarak satu meja dari mejaku. Aku masih tak menghiraukan mereka meskipun mereka berbicara gaduh sekali sampai suara serta aksen bahasa Inggris salah seorang dari ketiga lelaki itu menarik perhatianku. Aku seperti pernah mendengarnya tapi aku tak ingat di mana.
Aku hampir saja menjerit saat ingatanku berhasil mengenali siapa dia setelah memerhatikannya lebih saksama selama beberapa waktu. Rambutnya sekarang memang sudah putih merata, badan dan wajahnya melebar, tapi suaranya yang agak bindeng serta aksennya yang khas membuat aku yakin bahwa aku tak salah terka. Aku menghampirinya, meminta maaf, dan bertanya apakah ia mengenalku. Ia menatap wajahku beberapa lama sebelum akhirnya meneriakkan namaku dan nama sebuah kafe. Kami tertawa dan berpelukan erat dan saling mengatakan bahwa pertemuan tak sengaja itu merupakan sesuatu yang sulit dipercaya.
“Kalau kau memang berniat lama di sini, beri aku waktu paling lama satu jam dari sekarang lalu aku akan duduk di mejamu, aku ingin mengobrol berdua denganmu,” kata William setelah memperkenalkan aku kepada kawan-kawannya.
AKU pertama kali bertemu William pada suatu malam di “Rossana”, salah satu kafe di Jalan Jaksa. Saat itu usiaku 25 tahun. William berasal dari Skotlandia dan sudah dua tahun tinggal di Indonesia, bekerja di sebuah perusahaan batu bara yang berkantor di Jalan Thamrin. Usianya terpaut sepuluh tahun lebih tua dari aku. Kami berbincang-bincang sepanjang malam itu dan berlanjut pada banyak malam lainnya saat kami secara kebetulan sama-sama minum di kafe yang mungil itu. Selain berkenalan dengan William pada malam pertamaku di Kafe Rossana itu, aku juga bertegur sapa dan mengobrol dengan banyak orang lain di sana pada kunjungan-kunjunganku yang berikutnya.
Kafe Rossana hanya memiliki lima meja dengan masing-masing empat kursi, lima kursi tinggi yang mengelilingi tiang penyangga tepat di tengah ruangan, dan delapan kursi tanpa sandaran yang berjajar di depan meja bar berbentuk siku—masing-masing empat kursi pada setiap bidangnya. Itu semua membuat para pengunjung kafe dengan mudah saling berkenalan satu dengan lainnya dan mengobrol dengan riuh layaknya dalam sebuah acara keluarga—umumnya setelah alkohol bekerja di masing-masing kepala mereka.
Begitulah, selama hampir tiga tahun aku menjadi tamu tetap di Kafe Rossana, aku mengenal dan berbicara dengan berbagai macam orang, mengajak selusin lebih teman kencan, dan menyaksikan sejumlah kejadian. Beberapa di antaranya nanti akan kuceritakan kepadamu.
“DAN kau ingat malam saat terjadinya perkelahian antara Emad dan Daeng?” tanya William di tengah-tengah obrolan kami mengenang segala hal tentang Kafe Rossana. Ia duduk di mejaku setelah kedua temannya pergi.
Tentu saja aku ingat. Malam itu kami bertiga—aku, William, dan Emad, bartender baru kami—sedang asyik berbincang ketika Daeng, pemuda berandal setempat, yang awalnya duduk minum sendirian di meja pojok, tiba-tiba menghampiri meja bar. Matanya merah dan ia terlihat sangat mabuk. Aku pernah beberapa kali mengobrol dengan Daeng. Di luar kebiasaannya mencubit lengan lawan bicaranya dan menyanyikan keras-keras “Garuda Pancasila” dan lagu-lagu perjuangan sejenis itu ketika ia sudah mulai mabuk, sebenarnya tidak ada hal lain yang membuat dirimu merasa perlu menjauhinya. Tapi malam itu ia terlihat agak membahayakan. Tangan kirinya yang penuh tato tampak seperti menekan pinggiran meja, sementara yang kanan mencengkeram gelas birnya. Dengan nada memerintah ia meminta Emad menambah volume musik. Sang bartender asal Libanon yang baru enam bulan tinggal di Indonesia itu mengangguk dan memenuhi permintaan tamunya.
Biar kugambarkan dulu sedikit tentang si Emad ini. Aku tak tahu bagaimana ceritanya ia jauh-jauh meninggalkan negerinya dan bekerja di Kafe Rossana selain bahwa ia masih berkerabat dengan seorang perempuan Libanon yang menikah dengan pemilik kafe ini. Suami sang kerabat itu juga mempunyai sebuah hotel kelas melati tiga di kawasan Salemba dan di salah satu kamar di hotel itulah Emad bertempat tinggal.
Emad berusia 50-an tahun tapi sisa-sisa ketampanan masih terlihat jelas di wajahnya. Alisnya yang tebal melengkung di atas sepasang mata berwarna coklat muda. Rambut lurus abu-abunya disisir ke belakang. Badannya kurus tapi berotot. Gerak-geriknya mengesankan bahwa ia seseorang yang amat tenang.
“Louder,” kata Daeng lagi, masih dalam nada yang sama.
Sebagaimana kami, Daeng juga berbicara dalam Bahasa Inggris kepada Emad karena Emad tak bisa berbahasa Indonesia selain mengajukan pertanyaan “Apa kabar?” (dan menjawab “Baik” jika ada orang yang mengajukan pertanyaan yang sama). Emad menambah lagi volume musik. Aku dan William saling melirik. Saat itu kafe sedang tidak banyak pengunjung. Hanya ada Peter, seorang lelaki setengah umur yang tanpa motif yang jelas (tapi kuduga ia bermaksud memikat beberapa perempuan muda yang kadang-kadang masuk ke kafe ini untuk mencari teman kencan orang asing) mengaku kepada semua orang bahwa ia berasal dari Pulau Kreta dan baru satu tahun tinggal di Indonesia. Namun, di dunia yang kecil ini, dengan satu dan lain cara yang tak kusengaja, aku akhirnya mengetahui bahwa ternyata lelaki kurus berkumis tebal yang selalu memakai topi laken itu bukan berasal dari Pulau Kreta. Ia seorang peranakan Belanda asal Depok dan bekerja sebagai dosen Bahasa Inggris di sebuah universitas swasta di Jakarta. Hanya kepada William kubocorkan rahasia itu.
Masih soal Peter, aku juga telah mengetahui bahwa ia memilih Pulau Kreta sebagai “negara asalnya” (padahal ia sama sekali tak bisa berbahasa Yunani), semata-mata demi alasan keamanan: sangat kecil kemungkinan akan ada seseorang yang bisa berbahasa Yunani masuk ke kafe ini dan membongkar kebohongannya. Kau tahu, nyaris tidak ada wisatawan Yunani yang datang ke Jakarta.
Selain Peter, malam itu ada sepasang turis asing yang sedang melahap makan malamnya. Dari tas-tas ransel besar yang tergeletak di dekat kaki mereka, kau bisa tahu bahwa mereka baru saja tiba di Jakarta dan bermaksud mengatasi rasa laparnya terlebih dulu sebelum mencari-cari hotel yang cocok di sekitar sini.
“Louder!” kata Daeng kepada Emad. Kali ini nadanya lebih keras.
“This is already loud enough,” jawab Emad.
Kejadiannya berlangsung begitu cepat sampai-sampai aku tak tahu bagaimana cerita persisnya ketika tiba-tiba aku melihat Emad sudah menunggangi perut Daeng dan meninju wajahnya berulang-ulang. Beberapa detik sebelumnya, aku, dan juga William kukira, masih dikejutkan oleh tindakan Daeng menyiramkan dengan keras isi gelasnya ke wajah Emad dan lompatan si pemilik wajah melewati meja bar.
Di tengah-tengah itu semua, aku mendengar suara gelas pecah dan kursi terguling. Pada waktu yang hampir bersamaan aku melihat pasangan turis backpacker itu bergegas menuju pintu keluar, meninggalkan piring-piring yang belum bersih dan tas-tas ransel mereka sambil saling berteriak dalam bahasa asing, entah bahasa apa. Lalu aku melihat Peter juga tergopoh menuju pintu keluar. Saat itu sempat terlintas di benakku bahwa Peter bergegas keluar dari kafe ini bukan karena jeri menyaksikan perkelahian, melainkan lantaran ia menyangka pasangan turis itu tadi saling berteriak dalam Bahasa Yunani, bahasa yang paling tak ingin ia dengar di tempat ini. (Kelak, saat aku bertemu William beberapa minggu setelah peristiwa ini, kuceritakan kepadanya apa yang terlintas di benakku itu. William terbahak sampai mengeluarkan air mata.)
Aku melihat tangan kiri Emad mencekik leher Daeng, sementara yang kanan terus menghajar wajahnya. Dan dalam posisi terlentang, Daeng yang berbadan gempal itu tak mampu memberikan perlawanan selain beberapa pukulan ngawur yang tak pernah sampai di wajah Emad.
Aku segera melerai perkelahian itu dengan menarik tangan Emad dan meminta ia menghentikan pukulannya. Untunglah Emad menurut. Ia berdiri dan membiarkan Daeng berlari keluar kafe. Aku mendesak Emad agar meninggalkan tempat itu secepatnya. Aku sama sekali tak yakin sekarang Daeng pulang ke rumah dan mengganti bajunya yang terkena percikan darah dengan piyama bersih, lalu meluruskan kakinya di sofa di depan televisi sambil menyantap mie instan atau mie apa pun juga. Aku yakin ia pergi ke satu tempat di dekat-dekat sini. Daeng memiliki banyak teman sesama berandal. Ia pasti akan kembali ke tempat ini untuk membereskan urusannya yang belum selesai.
Benar saja, Daeng muncul lagi! Sekarang ia datang bersama dua orang lelaki yang salah satunya menenteng potongan besi. Tapi saat itu kafe telah ditutup dan Emad sudah tidak ada di situ. Hanya ada kerumunan orang di depan kafe yang ingin mengetahui apa yang barusan terjadi. Aku dan William juga masih berdiri di situ bersama pasangan turis backpacker yang kemudian, setelah mengobrol sejenak dengan mereka, kuketahui bahwa mereka ternyata berasal dari Slovakia. Aku sempat mengedarkan pandangan mencari-cari Peter, namun ia sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.
Sementara itu, begitu mengetahui Emad sudah tidak ada di situ, Daeng langsung berteriak-teriak bersumpah bahwa ia akan membunuh Emad besok pagi. Kedua temannya memekikkan beberapa kata umpatan dan mengatakan bahwa Emad memang harus secepatnya dihabisi. Aku diam-diam berjalan menjauh dari tempat itu dan menghentikan taxi. Malam itu aku ingin segera tiba di rumah lebih awal dari biasanya. Bagaimanapun, aku baru saja berhasil melerai sebuah perkelahian dan sukses menyelamatkan seseorang dari kemungkinan menjadi korban pengeroyokan.
Dua minggu kemudian aku datang lagi ke Kafe Rossana dan menemukan seseorang yang bukan Emad berdiri di balik meja bartender. Lalu salah seorang pramusaji di situ memberi tahu aku bahwa sejak terjadi perkelahian dengan Daeng, Emad sudah tidak lagi bekerja di Kafe Rossana. Sekarang ia dipekerjakan di hotel tempat ia menginap selama berada di Jakarta. Sang pramusaji tak tahu apa penyebab perkelahian itu selain bahwa malam itu Daeng sedang mabuk berat. Aku menyayangkan kepergian Emad dari Kafe Rossana. Ia teman bicara yang menyenangkan. Di saat sedang tidak sibuk menyiapkan minuman, ia akan mengobrol denganku tentang banyak hal, mulai sejarah Perang Salib hingga teknik-teknik jitu memikat perempuan.
Meskipun begitu, aku tetap menjadi pelanggan setia Kafe Rossana dan beberapa kali bertemu William di sana sebelum akhirnya pada satu hari, tak sampai setahun setelah peristiwa perkelahian itu, entah karena alasan apa, kafe itu menutup pintu untuk selama-lamanya. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu William lagi hingga pada Rabu malam yang sedang kuceritakan ini.
“EMAD bukan hanya jago berkelahi tapi ia juga pintar memikat perempuan. Aku pernah melihat ia mencium salah seorang teman perempuanmu saat kau pergi ke toilet,” kata William sambil tertawa.
Aku bersyukur William tak melihat aku terlonjak beberapa senti dari kursi yang sedang kududuki.
“Oh, ya?” aku bertanya sambil menambahkan bir ke gelasku, berusaha menutupi keterkejutanku.
William tertawa lagi. “Saat itu kau masih muda, lawan empuk bagi Emad yang sudah bangkotan itu. Beberapa hari setelah itu, pada satu siang aku melihat mereka berdua berjalan di depan McDonald’s Sarinah dan menghentikan sebuah taxi.”
Aku berusaha bertingkah sewajar mungkin, tapi aku tak terlalu berhasil. Tanganku agak gemetar. Mungkin bibirku memucat.
“Ayolah, itu sudah masa lalu,” kata William. Rupanya sekarang ia menangkap keterkejutanku dan ia seperti menyesal telah menceritakan apa yang barusan ia ceritakan kepadaku.
“Ya, itu sudah masa lalu,” kataku. Aku terperanjat dengan suaraku sendiri yang berubah parau.
Lalu aku menyusun potongan ingatan tentang empat atau lima kali aku mengajak salah seorang teman perempuanku itu ke Kafe Rossana dan bercakap-cakap dengan Emad. Perempuan itu pernah berkomentar tentang Emad.
“Ia pasti tampan sekali sewaktu muda,” katanya di taxi saat aku mengantarnya pulang setelah kami bercinta di sebuah hotel kecil di Jalan Gondangdia.
Dan perempuan itu terlihat sangat bersemangat setiap kali kuajak ke Kafe Rossana. Dan pada malam yang lain ia kembali berkomentar soal Emad. Kali ini ia memuji kelembutan gaya bicara dan tatapan matanya. Timbul sedikit rasa cemburu di hatiku yang kemudian kuutarakan kepadanya. Perempuan itu menatapku dengan pandangan tak mengerti lalu menghardikku.
“Sam, kau benar-benar seperti anak kecil. Bukankah kau tahu berapa usia orang itu? Ia pantas menjadi ayahku!”
Aku tersipu dan meminta maaf dan tak pernah lagi merasa cemburu pada Emad sejak saat itu. Tapi sekarang aku membayangkan perempuan itu melilitkan lidahnya pada lidah lelaki yang pantas menjadi Ayahnya itu selama aku menyelesaikan urusan kencingku di toilet. Dan kencing setelah meminum berbotol-botol bir, kau tahu, akan memakan waktu lebih lama dari biasanya.
Dan sekarang aku juga membayangkan Emad menindih perempuan itu dan menghajarnya tanpa ampun sebagaimana yang ia lakukan terhadap Daeng. Bedanya, saat menghajar Daeng, Emad berhenti karena kulerai, sementara pergumulan di atas ranjang kamar Emad di hotel kelas melati tiga itu, berhenti dengan sendirinya lantaran yang menindih dan yang ditindih sama-sama terkulai kehabisan tenaga, tepat setelah keduanya mengeluarkan lenguhan panjang atau yang semacam itu. Bangsat!
“Hei, Sam, ada apa denganmu?”
Aku tersentak dari lamunanku.
“Aku tidak apa-apa.”
“Ayolah, itu sudah masa lalu, dan karena alasan itulah sekarang aku menceritakan hal itu kepadamu. Aku bahkan tak ingat teman perempuanmu yang mana yang dicuri Emad itu.”
“Ya, kau benar,” jawabku, “Itu sudah masa lalu.”
Aku mengajak William bersulang dan membicarakan topik lain. Lalu kami mengobrol tentang sepak bola. Tapi ia menolak ketika kutawari untuk memesan bir lagi. Mungkin William merasakan bahwa meski lidahku sedang membicarakan perkembangan sepak bola, pikiranku berkelana ke tempat lainnya. Lalu ia meminta maaf karena harus segera pulang dan beristirahat lantaran besok ia banyak pekerjaan. Ia menenggak habis birnya dan mengucapkan selamat tinggal kepadaku setelah sebelumnya kami berjabatan tangan dan saling berjanji untuk menelepon dan bertemu lagi pada lain waktu.
Aku masih menatap punggung William ketika ia berjalan menuju pintu keluar hingga ia menghilang dari pandangan. William benar ketika ia mengatakan “Itu sudah masa lalu”. Ia bahkan tak ingat teman perempuanku yang mana yang pernah dipinjam Emad itu. Tapi tidak demikian denganku. Aku tahu perempuan mana yang tadi diceritakan William karena hanya ada satu perempuan yang kuajak ke Kafe Rossana selama Emad menjadi bartender di sana.
Kuhabiskan bir di gelasku. Arloji di tanganku menunjukkan pukul 11.17 dan aku, alih-alih memesan satu botol bir lagi, memutuskan untuk pulang saat itu juga. Dalam waktu sekitar tiga puluh menit aku akan tiba di rumah dan hampir pasti akan mendapati perempuan itu sudah tertidur. Tapi aku tahu aku tak akan tahan menunggu hingga besok pagi. Aku akan membangunkan perempuan itu dan bertanya kepadanya barangkali ada beberapa peristiwa, atau apalah namanya, pada masa lalu yang berhubungan dengan Kafe Rossana yang belum sempat ia ceritakan kepadaku selama lima belas tahun kami menikah dan membesarkan dua orang anak. (*)
Jakarta, Juli 2016
Ben Sohib tinggal di Jakarta.
Leave a Reply