Leo Agung Srie Gunawan

Rahasia Mawar

0
(0)

Cerpen Leo Agung Srie Gunawan (Media Indonesia, 04 September 2016)

Rahasia Mawar ilustrasi Pata Areadi

Rahasia Mawar ilustrasi Pata Areadi

“Katakan padaku, apa yang kau ketahui tentang mawar? Kalau tahu rahasia mawar, kau juga akan tahu rahasia keindahan.” Itu bunyi surat dari sahabatku. Ia kuliah di fakultas pertanian. Setelah aku membalas suratnya, ia katakan; “Kau belum tahu rahasianya.” Berkali-kali kujawab suratnya, ia bilang, “Rahasia itu masih tersembunyi bagimu.” Sampai surat yang terakhir, ia katakan; “carilah rahasianya.” Aku sungguh penasaran!

“Kalau tahu rahasia mawar, kau juga akan tahu rahasia keindahan.” Kalimat itu menggangguku siang-malam. Rahasia keindahan dari bunga mawar? Mawar dan keindahan, dua kenyataan atau satu kenyataan? Bunga mawar dan keindahan atau keindahan bunga mawar? Dua kenyataan yang terpisah atau dua kenyataan yang menyatu? Mengapa ia berani mengatakan rahasia mawar sama dengan rahasia keindahan? Aku benar-benar ingin tahu.

***

Aku jatuh cinta pada Mawarni. Mungkin Mawarni adalah tonggak pencarian rahasia mawar. Cinta pun berpadu dan kami menikah. Setelah tiga tahun pernikahan, kami dikaruniai seorang putri. Kami beri nama Endah. Nama ini adalah momentum pencarian jiwaku tentang rahasia keindahan.

Aku putuskan untuk mencintai bunga mawar. Istriku heran. Laki-laki mencintai bunga, bagi istriku itu aneh. Apakah mawar hanya milik perempuan? Apakah laki-laki tidak boleh menikmati mawar? Apakah laki-laki tak boleh mencintai keindahan? Mawar itu lambang keindahan. Keindahan berhakikat kelembutan. Apakah laki-laki tidak boleh mencintai kelembutan? Istriku menjawab dengan menertawakan diriku.

Apakah laki-laki hanya identik dengan kekuatan? Istriku hanya mengangkat bahu. Aku benar-benar ingin meyakinkan istriku kalau laki-laki tidak hanya identik dengan kekuatan. Ada keindahan dalam diri laki-laki. Sebagai perempuan, istriku punya banyak pengalaman soal laki-laki, bahwa laki-laki adalah kekuatan, kekuasaan, dan dominasi. Laki-laki berwarna kekuatan dan kekerasan. Budaya masyarakat adalah budaya patriarki. Laki-laki identik dengan kekuatan dan kekuasaan. Tentu kekuatan dan kekuasaan jauh dari kelembutan. Bagiku, kelembutan itu memancarkan keindahan. Maka, kekuatan dan kekuasaan itu bertolak belakang dengan keindahan.

***

Kami beli bunga mawar dari Pak Sentot. Ia satu-satunya juragan mawar di kampung kami. Ia ahli bunga mawar. Aku, Mawarni, dan Endah sepakat menanam mawar di halaman depan supaya mawar itu mudah dipandang. Meski alasan kami berbeda-beda, bagiku mawar menjadi rahasia keindahan yang belum terungkap. Mawarni beralasan, mawar itu modal gengsi. Endah berpendapat, mawar itu sahabat berkhayal.

Baca juga  Ziarah Terakhir

Sudah kukatakan pada anakku, supaya tidak memetik mawar. Endah gadis yang sedang tumbuh. Dalam pertumbuhannya, ia mulai tampak indah. Wajahnya cantik. Kulitnya mulus. Dadanya sudah mulai laku di mata laki-laki. Orang menyebutnya sebagai payudara. Artinya, seorang dara yang sudah mulai payu.

“Kenapa bunga-bunga mawar kau petik?”

“Endah nggak tahan melihat keindahan mawar hanya bertengger di tangkainya. Endah ingin membawa keindahan itu ke mana-mana. Endah ingin memamerkan keindahan itu kepada teman-teman. Ah, kalau bisa Endah akan mempertontonkannya di ajang pemilihan miss universe. Bukan hanya gadis-gadis seksi nan indah. Tapi bunga mawar pun merah dan indah,” alasan penuh gejolak dari jiwa gadis muda.

“Endah, kau tahu. Kalau mawar kau petik, ia lepas dari tangkainya. Ia akan layu dan mati. Tangkai dan bunga mawar itu satu kehidupan.”

“Ah, Bapak nggak tahu. Bunga mawar itu justru harus dipetik. Kalau hanya di tangkainya siapa yang akan menikmati? Bunganya bisa dipajang dan dipamerkan. Dan, mereka akan berdecak kagum menikmati keindahannya.”

“Endah, keindahan itu tak perlu pengakuan. Kalau indah ya tetap indah. Keindahan itu ada dalam dirinya.”

Beberapa kali aku melihat bunga-bunga mawar telah hilang. Potongan gunting menampakkan jejaknya. Pastilah itu ulah Endah. Memang dia tak berdebat. Tapi tindakannya menjadi perdebatan bagi batinku. Mengapa dia tak bilang padaku kalau mau memetik mawar-mawar itu? Berkali-kali kubilang, jika bunga mawar dipetik dari tangkainya, ia kehilangan nyawanya. Keindahan akan cepat sirna. Tangkai itulah sarang bunga mawar. Keindahan itu punya habitatnya.

“Endah, Bapak harus jelaskan sesuatu yang penting. Selama ini Bapak sedang mencari rahasia keindahan bunga mawar. Di mana rahasia keindahan itu? Sebelum keindahan mawar ditemukan, biarkanlah ia bersatu dengan tangkainya sampai ia mati.”

“Hmm, begitukah?”

“Ketahuilah Nak, kesatuan bunga mawar dan tangkai di pohonnya adalah kesetiaan. Mawar mesti setia dengan tangkai dan pohonnya. Kesetiaan itu membawa kehidupan. Ulah kita membuat kesetiaan kehilangan maknanya. Pikiran kita sering menodai kesetiaan. Keinginan kita sering menghancurkan kesetiaan. Tangan kita sering memotong kesetiaan. Tak ada kesetiaan, berarti kehancuran. Kesetiaan itu menyelamatkan. Ingat ini, Nak. Kapan saja ingat ini…”

Baca juga  Kisah Sedih Kontemporer

***

Mawarni bermimpi, keindahan tak boleh layu. Lalu, bunga-bunga mawar dipayungi. Ini baru aku lihat. Payung itu digunakan manusia. Sekarang payung juga dipakai mawar. Mawar tidak boleh kepanasan dan layu. Mawarni juga membungkusnya dengan plastik. Bunga harus dilindungi dari panas terik, dari sentuhan serangga, dari tangan jahil. Itu supaya mawar tidak layu dan rontok. Katanya, keindahan harus abadi.

“Kau tahu tindakanmu menyiksa. Semestinya mawar menerima sinar matahari. Mawar juga harus mendapat oksigen. Dengan begini, bunga mawar tak dipeluk kumbang atau kupu-kupu. Pelukan yang tulus itu menghidupkan. Dengan dibungkus, mawar tersiksa. Tak ada kebebasan berarti penyiksaan hidup. Itu semua demi keindahan yang abadi?”

“Yah begitulah. Aku paling takut keindahan berubah.”

“Mawarni, bagaimanapun bunga mawar akan layu dan rontok. Keindahan itu ada masanya. Walaupun banyak orang tak mau terima kalau keindahan itu terbatas. Jika mungkin, keindahan dipertahankan selamalamanya. Seperti juga kau, banyak orang takut dengan perubahan. Orang takut kehilangan. Mawarni, padahal segala sesuatu yang ada di dunia ini berubah dan terus menuju kehilangan.”

***

Aku kaget. Hari berikutnya tangkai-tangkai mawar mulus. Tangkai-tangkai mawar tanpa duri. Getah-getah menetes jatuh. Istriku berdiri. Wajahnya bernada putus asa. Gunting dan pisau masih tergenggam di tangannya.

“Mawarni, kenapa kau kupas duri-duri mawar. Bukankah kau menginginkan keindahan itu abadi. Sekarang bunga-bunga mawar menderita. Kau lukai. Mereka sakit. Jangan pikir sesuatu yang tak berteriak itu tak kesakitan.”

“Setelah aku kecewa bahwa keindahan itu terbatas. Aku terluka. Duri-duri mawar melukai. Pedih dan berdarah. Bunga mawar tak boleh melukai. Keindahan tak boleh hidup bersama dengan duri. Duri itu bukan keindahan. Duri itu malapetaka. Aku harus memisahkan keindahan dan penderitaannya. Keindahan harus berada di tangkai keindahan. Keindahan harus tumbuh di pohon keindahan. Duri-duri itu penderitaan. Aku benci penderitaan.”

“Mawarni istriku, kau mau menyangkal kenyataan. Di mana pun dan kapan pun mawar itu selalu ada dengan durinya. Kalau kau mengupas duri-durinya, itu sama dengan merampas hakikatnya. Mawar tak pernah membenci durinya. Justru kau yang membenci durinya. Mawar selalu hadir dengan durinya. Artinya, keindahan selalu ada bersama dengan penderitaan. Lihatlah bunga mawar yang indah duduk di atas tangkai berduri. Keindahan sejati bertakhta di atas penderitaan. Keindahan sejati adalah buah penderitaan.”

Baca juga  Suara 1

Endah datang. Nada suaranya pilu. “Pak Sentot jurangan mawar mati. Orang-orang kaget. Orang-orang pasar ramai memperbincangkannya. Katanya ia kena serangan jantung karena bunga-bunga mawar indah terus berguguran. Ia putus asa karena keindahan bunga-bunga mawar tak abadi. Katanya, ia terus bertanya dalam matanya: mengapa keindahan tak pernah abadi?”

Aku pun sedih mendengar berita kematiannya. Dari Pak Sentotlah kami mulai mencintai bunga mawar. Saat kami sedang belajar menemukan rahasia keindahan, Pak Sentot mati. Padahal, Pak Sentot itu juragan keindahan. Kalau begitu juragan keindahan mati. Lewat Pak Sentot, keindahan bersama nasibnya adalah kematian.

“Endah, apakah Pak Sentot meninggal dalam keindahan? Apakah ada jejak keindahan di wajah beku Pak Sentot? Atau paling tidak apakah orang-orang di pasar bersedih karena kehilangan keindahan dalam diri Pak Sentot?”

Endah membisu. Mulutnya terkunci. Ini pertanda keindahan dalam kematian adalah malam tanpa rupa. Ini berarti keindahan dalam kematian menjadi absurd. Kematian menelan keindahan sehingga tak tersisa untuk diceritakan kepada kami. Untuk apa mencintai keindahan kalau semua sirna oleh kematian?

“Mawarni, katakan kepadaku, apakah aku bisa menemukan rahasia keindahan? Bila kematian menelan habis keindahan, apa artinya mencari rahasia keindahan?”

“Yang kutahu kita makin lama makin menjadi tua. Waktu menggiring kita ke gerbang kematian. Pak Sentot mengingatkan kita. Kita sering lupa arah pintu gerbang hidup kita. Kesadaran tentang kematian mesti dibangkitkan. Kematian adalah tujuan. Kematian adalah kepastian. Apa yang kita cemaskan lagi? Apa yang kita cari lagi? Apa yang kita ambisikan lagi, jika semua akan ditelan kematian,” jelas Mawarni.

“Hai…hai…hai… Kesadaran akan kematian adalah keindahan dari bunga mawar yang sadar,” kata orang gila yang kebetulan lewat. Katanya, ia gila karena ambisi akan keindahan. Katanya, ia gila karena takut pada kematian. (*)

 

Leo Agung Srie Gunawan SCJ, rohaniwan asal Palembang. Sedang Studi S-2 Filsafat di Universitas Gregoriana, Roma dan tinggal di Italia sejak 2013.

 

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!