S Prasetyo Utomo

Bayangan di Bawah Pohon Kersen

0
(0)

Cerpen S. Prasetyo Utomo (Jawa Pos, 04 September 2016)

Bayangan di Bawah Pohon Kersen iluatrasi Bagus

Bayangan di Bawah Pohon Kersen iluatrasi Bagus

RUMAH kayu yang menaungi kenyamanan Wulan, gadis matang yang menanti lamaran jejaka, dijual ibu. Telah beberapa bulan ibu meninggalkan ayah, Wulan dan Lintang. Ibu menghilang, membawa serta sertifikat rumah dan tanah—atas namanya. Tanpa sepengetahuan siapa pun rumah kayu dijual ibu pada seorang pengusaha. Hampir senja ketika Wulan melihat ayah terhenyak, pucat, dan gemetar saat didatangi seorang pengusaha yang mengusirnya untuk segera mengosongkan rumah. Ayah memandangi setiap sudut ruang: dapur, kamar-kamar, ruang makan, pendapa, teras, dan pelataran.

Di sudut kanan pelataran berdiri condong ke jalan pohon kersen, dengan daun-daun rimbun yang senantiasa luruh, tersebar, berserakan setiap angin berpusar kencang. Berguguran pula buah-buah kersen, ranum, bulat mungil, merah, dirontokkan codot-codot semalam. Di bawah pohon kersen itulah ari-ari (plasenta) Wulan ditanam ayah, 22 tahun silam, ketika bulan purnama. Di sisi lain tertanam pula ari-ari Lintang, adik perempuan Wulan, ketika bintang-bintang gemerlapan di langit.

Haruskah rumah kayu ini ditinggalkan? Wulan menyaksikan ayah tertegun memandangi pendapa, menatap seperangkat gamelan. Tetangga sekitar rumah seringkali bertandang untuk menabuh gamelan. Ayah senantiasa duduk bersila menghentak gendang di tengah wajah-wajah tenteram penabuh gamelan, memendam kebahagiaan, dan mata mereka berpendaran.

“Ke mana kita mesti pindah, Ayah?” desak Wulan.

“Kita memiliki rumah tua di sudut gang. Rumah itu kita kosongkan selama ini,” kata ayah, tanpa menampakkan kesedihan sedikit pun. “Kita pindah ke sana.”

“Tapi kita akan menerima lamaran calon suamiku. Apa pantas menerima lamaran di rumah tua itu?”

“Tak ada pilihan lain. Kita mesti menempati rumah itu. Apa kau malu?”

***

MELIHAT Ayah berpenampilan tenang ditinggal ibu dan kehilangan rumah kayu yang selama ini ditempati, Wulan bertanya-tanya dalam hati. Ia sama sekali tak keberatan mengikuti ayah pindah ke rumah kayu yang melapuk digerogoti rayap, dinding berlubang-lubang, jendela dan pintu rontok, berlantai tanah, dengan genting pecah. Ia mencemaskan calon suami yang bakal melamarnya. Akankah lelaki itu berkenan melamarnya di rumah yang bobrok, lampu suram, dan disambut ayah, tanpa ibu?

Rumah kayu rusak itu dulu milik seorang penjudi. Tiap malam didatangi orang-orang yang bertaruh uang, dan menuntaskan kesepian mereka untuk main kartu. Ketika duda tua penjudi itu bangkrut, rumahnya dijual pada ayah. Wulan masih berumur 10 tahun ketika rumah itu dibeli ayah, dan ibu menentang sengit. Ayah hanya tersenyum menanggapi kemarahan ibu. Dulu kalau rumah itu tak dibeli ayah, akan ke manakah kami pindah? Pikir Wulan. Rumah itu ditempati sang penjudi sampai dia meninggal. Lama, bertahun-tahun, dibiarkan rumah itu kosong. Tak ada lagi orang berjudi, dengan aroma kopi, rokok, dan gumam harapan serta umpatan sepanjang malam hingga dini hari.

“Sungguh berat bagiku untuk pindah dari rumah ini,” kata Wulan, sebelum pindah. “Sejak bayi aku tinggal di rumah ini. Sampai ibu meninggalkan kita, ingin menjabat sebagai wakil walikota, dan kini, ketika ia gagal, rumah kita dijual. Apalagi yang akan dijual ibu?”

“Sudahlah, Wulan. Kita tidak kehilangan apa pun. Akan kita perbaiki rumah itu sedikit demi sedikit.”

“Tapi ari-ariku ditanam di bawah pohon kersen itu.”

***

DI sudut kanan pelataran rumah kayu bobrok yang kini ditempati, ayah menanam pohon kersen. Disiraminya setiap sore. Masih kecil, batang pohon itu kurus. Daunnya jarang. Ranting-rantingnya terjulur, rapuh. “Semoga kau masih mengenang pohon kersen di pelataran rumah kita yang lama,” kata ayah pada Wulan.

Dalam hati Wulan menjaga harapan, calon suaminya segera melamar. Membawa keluarga mereka ke rumah papan yang rapuh, kusam, dan dinding-dindingnya keropos, sesekali diterobos kucing atau kadal dari pelataran. Ayah selalu mengajaknya bercanda. Ayah tak pernah kehilangan kegembiraannya, meski sudah ditinggal istri dan banyak harta dijual. Tidak hanya rumah. Tapi juga sejumlah kebun, yang dulu selalu memberi hasil buah durian, mangga, nanas, dan pisang, atau ketela pohon, kini sudah dijual ibu. Kalah mencalonkan diri sebagai wakil walikota, ibu menanggung begitu banyak hutang.

Ayah seperti tak kehilangan apa pun. Rumah lama kecintaan ayah, ditinggalkannya begitu saja, seperti tanpa kenangan. Menempati rumah kayu bobrok, ayah tampak tenteram. Teman-temannya berdatangan seperti dulu, menabuh gamelan, ngobrol, bercanda. Seperti tak ada yang hilang dalam hidup ayah. Wulan merasa aneh dengan perilaku ayah. Tapi ia sempat cemas juga bila diam-diam di dasar hati ayah terpendam kesedihan yang meruncing. Ayah pergi ke kantor seperti biasa. Mengendarai mobil kesayangannya. Pulang menjelang sore. Menyirami pohon bunga-bunga, tanaman buah, dan terutama pohon kersen yang cepat tumbuh.

Beberapa tukang kayu, mungkin enam orang, dipekerjakan. Membenahi rumah yang aus. Mengganti pintu, jendela, dan dinding papan yang keropos. Atap dan genting yang pecah pun dibenahi. Tukang-tukang kayu itu bekerja dalam kegembiraan, tak sedikit pun bermalas-malasan, meski ayah tak menunggui mereka. Lantai rumah dipasang keramik, kamar mandi juga dibangun senyaman mungkin. Lampu-lampu terang, tak lagi remang-remang, seperti semula.

“Kalau suatu ketika ibu kembali, Ayah akan menerimanya?” tanya Wulan, menggoda ayah.

Lelaki setengah baya itu berkerut kening.

“Tentu aku akan menerimanya. Lebih membahagiakan bagiku, menerima lamaran dan menikahkanmu dengan istri di sisiku. Tapi keadaan tidak harus seperti yang kita angankan. Ibumu memiliki kebahagiaannya sendiri.”

***

SETELAH dibenahi, rumah kayu itu menjadi lebih nyaman dan menenteramkan. Ada teras, pendapa, kamar-kamar, dapur, kamar mandi, dan gudang. Di pendapa itulah seperangkat gamelan ditata dan dibersihkan hampir setiap sore, ditabuh pada malam libur kerja, bersama para sahabat ayah. Sesekali teman-teman ayah ngobrol di pendapa itu sambil minum teh, kopi, atau wedang jahe yang harum hangat.

Sepertinya ayah sudah tidak memerlukan kehadiran ibu. Ayah tak pernah mengeluhkan kehidupannya. Begitu juga ketika menerima lamaran calon suami Wulan, dan bahkan menikahkan anak gadisnya itu di pelataran rumah. Tak ada pesta yang meriah, tetapi begitu banyak tamu yang hadir, seperti air mengalir. Tamu-tamu undangan datang dan pergi. Teman-teman ayah, para penabuh gamelan, malam itu menjadi kerabat yang membahagiakan: menerima tamu dan bahkan mendampingi selama perhelatan hingga tamu-tamu meninggalkan rumah. Ayah, tanpa kehadiran istri, menikmati kesempurnaannya menjadi lelaki yang kini memiliki menantu. Begitu ikhlas ayah menerima suami Wulan, lelaki yang cenderung pendiam.

Tiba waktunya Wulan berpamitan, meninggalkan ayah, dengan berat hati, “Ayah, aku harus mendampingi suami. Aku mesti meninggalkan Ayah. Di rumah ini Ayah akan tinggal seorang diri?”

“Masih ada Lintang, adikmu, yang bila libur kuliah pasti pulang.”

***

MEMANG Wulan memenuhi janji, melahirkan anak pertama, laki-laki, di rumah sakit yang tak jauh dari rumah ayah. Ia tinggal di rumah kayu untuk memulihkan kesehatan. Ari-ari bayi laki-lakinya ditanam ayah di bawah pohon kersen di pelataran. Sama persis seperti ari-ari Wulan dulu ditanam di bawah pohon kersen pada malam bulan purnama.

Ari-ari itu dicuci bersih, dibungkus kain putih, ditanam di bawah pohon kersen, disungkup kuali dan diberi penerang lampu. Tiap tengah malam, bila bayi laki-lakinya menangis, Wulan menggendongnya ke pelataran, berdiri di bawah pohon kersen, di sisi ari-ari yang ditanam dan diterangi lampu. Seketika bayi itu terdiam, mata terpejam dengan tenteram.

Menjelang dini hari, ketika terbangun, dan masih tersekap kantuk berat, Wulan mendengar langkah-langkah kaki, yang pelan dan ringan, berhenti di bawah pohon kersen. Lama terdiam, suara langkah kaki itu lenyap, hanya terdengar kerosak codot-codot memakan buah-buah kersen. Wulan yang menempati kamar depan, mendengar suara langkah itu, menduga langkah kaki seorang perempuan.

Ketika membuka jendela kamar, dari celah-celah terali kayu, Wulan melihat seorang perempuan setengah baya berdiri di sisi kuali yang menyungkup ari-ari anak lelakinya. Ia yakin, perempuan itu ibu.

Berlari keluar rumah, sambil menggendong bayi lelakinya, Wulan menghampiri bawah pohon kersen, yang dibayangi bulan setengah lingkaran, dan terasa angin berembun. Tapi, perempuan yang disangka ibu itu, tak ada lagi di bawah pohon kersen. ***

Pandana Merdeka, 2016

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!