Cerpen Junaidi Khab (Suara Merdeka, 11 September 2016)
Orang-orang masih duduk berkumpul di teras masjid. Seorang takmir yang juga ikut nimbrung dengan pujian penuh kebahagiaan bercerita tentang sedekah Pak Aris. Pada mulanya Pak Aris memang pelit. Tapi, kini ia ingin berkurban pada hari raya kurban. Hanya Pak Aris satu-satunya warga yang memberikan sapinya. Selain itu, kadang hanya tiga ekor kambing. Ada yang urunan. Tapi, Kurnia selalu rutin memberikan kambing ternaknya untuk kurban pada hari raya.
Di tengah embusan angin perbincangan sebagian huruf-huruf meniupkan aroma yang membuat Kurnia harus menanggung malu. Seorang warga selalu memuji Pak Aris dengan hewan kurbannya yang tak tanggung-tanggung. Dua ekor sapi. Tapi, di tengah pujian itu, ada kata-kata yang memang sengaja mengejek Aris karena hanya berkurban satu ekor kambing setiap tahun. Itu pun kambing kurus.
Kurnia hidup pas-pasan. Satu tahun, kadang kambingnya hanya beranak tiga ekor. Paling banyak empat ekor. Tapi, satu persatu kambing-kambing yang gemuk dijual untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Anaknya hanya satu yang masih duduk di sekolah menengah. Sudah tentu membutuhkan biaya yang lumayan banyak.
Mendekati hari raya kurban, kambing Kurnia tersisa tiga ekor. Sudah dewasa semua. Dua ekor kambing betina yang tidak begitu gemuk dan satu pejantan yang gemuk dan besar. Kurnia lebih memilih memberikan kambing betina untuk kurban di masjid karena perhitungan finansial keluarganya. Tapi, kata-kata yang memukul hatinya pun mencederai niat mulianya untuk berkurban di hari raya. Siapa yang tidak malu jika hewan kurbannya karena kurus dihina? Tentu sakit hati.
“Andaikan aku jadi Si Anu. Aku pasti memberikan hewan ternak yang terbaik dan gemuk berdaging,” kata seseorang sembari melirik ke arah Kurnia.
“Kamu itu hanya pandai meremehkan, Mas… Gak usah begitu,” kata takmir.
“Ya, kan tanggung gitu. Masak orang disuruh makan tulang? Lihat tuh Si Aris. Dua ekor sapi gemuk-gemuk pula,” kata lelaki setengah baya itu.
“Sudahlah Mas… Niat baik tidak harus diremehkan. Mas sendiri kan tak pernah kurban pada hari raya,” kata takmir masjid.
Raut wajah lelaki itu tampak tak masam dengan kilah takmir masjid. Ia pun berpaling dan pulang sembari tetap bicara tentang dua ekor sapi Aris dan kambing Kurnia yang kurus pada temannnya. Kurnia hanya menundukkan kepala dengan wajah yang tampak lusuh. Pasi. Seakan tak ada cairan merah yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya. Takmir masjid mengerti perasaan Kurnia. Ia sudah tentu terpukul oleh pembicaraan lelaki tadi.
“Mas Kurnia,” tiba-tiba takmir masjid menghampiri Kurnia yang duduk terpaku.
Kurnia hanya mendongak dengan tatapan nanar. Sementara sang takmir masjid menepuk-nepuk pundak Kurnia. Ia mengulas seutas senyum.
“Mas tak usah memikirkan omongan jamaah masjid yang tadi.”
“Iya, Ustad.”
“Lebih baik berkurban daripada tidak sama sekali. Orang yang hanya membicarakan kelemahan orang lain, itu belum tentu memiliki niat mulia. Jadi, Mas Kurnia sabar dan mantapkan niat untuk berkurban secara ikhlas.”
“Saya hanya sedih, Ustad. Hidup saya tak sekaya mereka. Hidup saya pas-pasan. Tapi, saya ingin mendapat pahala.”
“Begitu. Bagaimana kalau Mas Kurnia nanti bantu-bantu dalam proses penyembelihan hewan kurban? Saya dengan takmir masjid yang lain kadang kewalahan saat akan menentukan takaran daging. Beberapa kali minta bantuan warga tak ada yang datang untuk membantu kami.”
Kurnia pun menyanggupi permintaan mulia tersebut. Pada mulanya Kurnia tidak memberikan hewan kurban di masjid kampung lain. Tapi, karena masjid di dekat rumahnya terjadi sengketa dan persoalan pembagian daging yang dimonopoli orang tertentu, akhirnya masjid itu ditutup. Lalu, Kurnia mengalihkan hewan kurbannya ke masjid yang masih kondusif. Di kampung sebelah.
“Sudahlah, Mas. Tak usah bersedih. Yang penting, kita tetap melaksanakan kurban sebagai ibadah kepada Tuhan,” kata Iffah, istrinya.
“Hhhh… Iya, Dek. Yakinkan Mas-mu ini untuk tetap tabah dan sabar dalam memantapkan niat ibadah,” kata Kurnia sembari melegakan rongga dadanya yang terasa terhimpit sejak dari masjid kampung sebelah.
Gubuknya yang sederhana mengingatkan kenangan Kurnia pada awal menjalani bahtera rumahtangga bersama Iffah. Ia hidup sebatang karang setelah ditinggal kedua orangtuanya. Iffah yang bermata bagaikan permata selalu meneduhkan hatinya. Pahit-manis hidup dijalani bersama. Suka-duka pun silih berganti dijadikan bumbu kehidupan rumah tangganya. Hingga berkali-kali ia harus memeras mental jiwanya untuk dapat menyekolahkan anak gadis satu-satunya yang dicintai. Ia tiap tahun dihadapkan pada batu sandungan cobaan hidup yang benar-benar sangat melelakan jiwanya. Jatah bekal sekolah anaknya harus jadi taruhannya demi niat mulia pada hari raya kurban.
Gema takbir dari masjid mengalun. Kurnia duduk di atas sajadahnya. Sang penguasa siang sudah bangkit di ufuk timur. Pikirannya merencanakan jalan terbaik saat pelaksanaan kurban di masjid. Ia satu-satu warga lain kampung yang diminta bantuan oleh takmir masjid setelah warga yang lain tak mau membantu sang takmir.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…” suara takmir menghampiri Kurnia sembari mengulurkan tangan.
Dengan senyum mengembang, Kurnia pun merogoh tangan sang takmir dengan jawaban takbir kebahagiaan. Usai shalat id dilaksanakan, hewan kurban pun disembelih. Sebelumnya, mata Kurnia menyapu halaman masjid. Di sana ada dua ekor sapi besar yang gemuk dan tiga ekor kambing yang salah satu miliknya. Kurus dibanding dengan dua ekor kambing lainnya. Ia tetap tersenyum meski hewan kurban darinya tak seperti empat hewan lain yang gemuk.
“Ayo, warga yang terdaftar ada berapa jumlahnya biar cepat dibagikan daging-daging ini?” tanya Kurnia dengan semangat yang membara.
Seorang takmir yang lain menyodorkan buku dengan nama-nama warga yang berhak menerima daging kurban.
“Mas Kurnia, satu sapi ini jangan dipotong-potong lagi. Ini khusus Mas Aris yang memberikan hewan kurban dua ekor sapi,” kata takmir kenalan Kurnia.
“Eh, kok begitu, Mas?” tanya Kurnia heran.
“Iya, begitu. Ikuti saja. Itu aturan dari Pak Aris.”
“Gak boleh, Mas. Daging hewan kurban itu harus disedekahkan. Orang yang berkurban bukan malah mengambil bagian,” kata Kurnia yang sedikit paham tentang agama.
“Awalnya saya juga begitu. Tapi Si Dia tetap ngotot. Bahkan mengancam tak jadi sapinya disedekahkan. Ya, daripada tak ada kurban dan masyarakat yang berhak tak mendapat apa-apa, lebih baik kan demikian,” kata sang takmir sambil mendongakkan dagunya ke arah rumah Pak Aris.
Kurnia hanya manggut-manggut mengetahui keanehan warga kampung sebelah yang ternyata super pelit dan perhitungan. Padahal, di kampung sebelah, warganya tergolong kaya-kaya. Berbeda dengan kampung Kurnia sendiri yang kadang hewan kurban dari hasil urunan tiap kepala rumah tangga. Meski pada kenyataannya banyak yang tidak jujur dalam memperoleh daging yang akan dibagikan. Sehingga, masjid di kampungnya ditutup warga karena ada oknum yang ingin memonopoli. Kurnia hanya tersenyum mendengar keanehan dan kelucuan bersedakah hewan kurban di luar kampungnya. (92)
Yogyakarta, 01 September 2016
Junaidi Khab lahir di Sumenep, Madura. Ia lulusan jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya. Bergiat di Komunitas Rudal Yogyakarta. Bukunya Novelisme: Pengakuan Pembaca Novel diterbitkan Bilik Literasi dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Taman Budaya Jawa Tengah (2013). Ia aktif menulis resensi, opini-esai, liputan, cerpen, dan puisi yang dimuat di beberapa media lokal dan nasional.
Kiky
“Saya hanya sedih, Ustad. Hidup saya tak sekaya mereka. Hidup saya pas-pasan. Tapi, saya ingin mendapat pahala.”
Kok jd kayak kurang ikhlas yak?berkurban karna ingin mendapat pahala hehehe