Cerpen Daisy Rahmi (Jawa Pos, 11 September 2016)
Bukan di dalam, tapi di luar. Di pekarangan. Semula Rhien tak menyadarinya. Ia sangat gembira memiliki rumah sendiri, setelah bertahun-tahun ngontrak. Bulan lalu ayah suaminya meninggal dunia, menyusul sang istri yang berpulang lebih dahulu. Sebagai satu-satunya keturunan, Andri mewarisi rumah milik orang tuanya. Hari ini ia mengajak istrinya menempati kediaman baru mereka. Saat tiba di depan rumah dan melihat pekarangan rumah yang cukup luas, Rhien berkhayal betapa bahagianya bila anak-anak mereka bermain di tempat itu. Hal yang belum terwujud walau pernikahan keduanya telah berusia 8 tahun.
Rhien bertemu dengan Andri saat ia sedang bertugas. Lelaki yang lebih tua 7 tahun darinya itu begitu menawan serta pandai bicara, membuatnya mabuk kepayang. Rhien terpikat dan tanpa ragu mengangguk ketika Andri melamarnya hanya dua bulan setelah berkenalan. Kabar tersebut membuat orang tua si pemuda kecewa dan gusar. Gadis yang menghidupi dirinya dan ibunya yang sudah menjanda dengan bekerja sebagai SPG bukan perempuan ideal untuk menjadi istri putra tunggal mereka. Akhirnya suami-istri itu menyerah dengan kekeraskepalaan sang anak, setengah hati menyetujui sebuah pernikahan.
Selama berumah tangga dengan Andri, hanya kali itu Rhien bertemu mertuanya. Beberapa hari usai resepsi, Andri berkata ayah-ibunya tak bersedia bertemu Rhien lagi. Keduanya melarang sang putra membawa serta istri bila berkunjung ke rumah mereka. Tanpa pernah menanyakan alasannya, Rhien membiarkan Andri mengunjungi orang tuanya setiap hari Minggu. Terkadang ia bertanya-tanya dalam hati, apakah rahim yang tak kunjung terisi disebabkan oleh restu yang tak sepenuhnya ia dapat?
Pernikahan mereka tidak selalu mulus. Beberapa kali Rhien memergoki suaminya bermain mata dengan wanita lain. Pertama kali terjadi, ia begitu terpukul. Wanita tersebut merasa hidupnya hancur dan berakhir. Ia pergi ke rumah ibunya, menginap di sana beberapa hari, sampai akhirnya sadar tindakannya hanya merugikan diri sendiri. Rhien pulang. Saat hal yang sama berulang, hati Rhien membeku. Tidak ada lagi air mata. Ia berusaha menerima kenyataan sambil menghibur diri dengan fakta bahwa walau suaminya meniduri perempuan lain di luar, pada akhirnya laki-laki itu kembali juga padanya.
***
Rhien duduk di sebelah Nila. Deretan kursi yang ada kosong, hanya mereka berdua di ruang tunggu. Wanita itu gelisah, telapak tangannya berkeringat. Berkali-kali matanya menatap pintu di depan mereka yang tertutup.
“Tidak seharusnya kita di sini,” gumamnya resah.
“Kamu ingin tahu arti mimpimu, kan?” balas Nila, “Nah, dia orang yang tepat. Sudah tenang saja.”
Rhien tak menjawab. Ia berpaling ke jendela, memandang langit berawan kelabu pertanda akan turun hujan.
Akhir-akhir ini sebuah mimpi kerap mengusik tidur Rhien. Mimpi buruk yang membuatnya terbangun mendadak dengan jantung berdebar. Sekali dua diabaikannya, menganggap bukan hal penting. Ketika mimpi tersebut terulang bulan-bulan berikutnya, Rhien ketakutan. Ia menceritakan pada Nila yang lalu menyarankannya menemui seseorang yang bisa membantu. Setelah beberapa hari berpikir, Rhien mengikuti saran Nila dan meminta wanita itu menemaninya.
Sesaat kemudian pintu terbuka. Dua orang melangkah keluar, menutup pintu dan melintas di depan kedua wanita tersebut. Rhien masih ragu, belum beranjak dari kursi. Nila menarik ta ngan sahabatnya, memaksanya berdiri.
“Ayo,” ajaknya tegas.
Rhien mengikuti langkah Nila memasuki ruangan di balik pintu. Seorang pria di belakang meja menyilakan mereka kemudian memandang kedua wanita yang duduk di depan nya dengan ramah.
“Apa yang bisa saya bantu?”
Dengan isyarat mata Nila menyuruh sahabatnya bicara. Yang ditatap belum bereaksi. Rhien masih merasa keputusannya keliru. Meski malu menceritakan mimpinya pada orang asing, karena sudah ada di sini, ia tidak bisa mundur lagi.
“Saya bermimpi.” Ia diam sejenak. “Saya bermimpi berubah menjadi pohon.”
Sambil bicara Rhien mengamati wajah pendengarnya. Tak ada perubahan. Ekspresi laki-laki itu tetap tenang, begitu juga suaranya.
“Silakan lanjutkan.”
Wanita tersebut menarik napas lega sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Mimpi itu pertama kali saya alami 3-4 bulan lalu. Di dalam mimpi saya berada di sebuah terowongan yang dingin dan kotor. Air mengalir turun di kedua sisi dinding terowongan, meresap ke tanah di bawah. Saat itu saya berlari, saya melarikan diri dari sesuatu. Ketika hampir mencapai ujung terowongan, kaki saya terasa berat. Langkah saya melambat…,” suara Rhien menghilang. Ia memejamkan mata.
“Apa yang terjadi?”
“Telapak kaki saya, mulai dari ujung jari sampai batas pergelangan, berubah menjadi akar pohon. Beberapa sulurnya telah tertanam di tanah. Saya sangat ketakutan dan menjerit. Gemanya terpantul di dinding terowongan. Ada yang datang, terdengar derap langkah mendekat. Tidak lama kemudian ada yang menyentuh bahu saya, memaksa saya membalikkan badan. Saat itulah mimpi berakhir. Saya terbangun dengan jantung berdebar dan napas tersengal.”
“Berapa kali Anda memimpikannya?”
“Saya tidak ingat. Tapi terakhir kali minggu lalu.”
“Selalu mimpi yang sama?’’
“Ya.”
Laki-laki di depan Rhien menatapnya serius.
“Anda tinggal di rumah pribadi?”
“Ya. Di rumah warisan orang tua suami saya.”
“Sebelumnya?”
“Kami mengontrak.”
“Kapan Anda dan suami pindah ke rumah itu?”
“Empat bulan lalu.” Napas Rhien tersentak. “Maksud Anda ada hubungannya?”
“Semua kemungkinan harus dipertimbangkan. Bisa saya melihat rumah Anda?”
Rhien mengangguk.
Langit makin mendung ketika mereka sampai di tujuan. Sesekali terdengar bunyi guruh di kejauhan. Rhien membuka pintu pagar dan menyilakan tamu-tamunya masuk.
“Saya akan memeriksa di luar lebih dulu sebelum masuk ke rumah,” ucap si lelaki.
Tanpa menanti jawaban ia mendahului berjalan. Kedua wanita mengikutinya mengelilingi pekarangan. Di beberapa tempat pria itu berhenti, terpekur sesaat sebelum kembali melangkah. Di bawah sebatang pohon yang tumbuh dekat jendela kamar tidur utama dia menengadah, menatap rimbun dedaunan di atas kepalanya. Sesaat kemudian ia berpaling kepada tuan rumah.
“Sebaiknya Anda tebang pohon ini.”
Rintik hujan mulai berjatuhan dari langit, mengenai kulit mereka bertiga. Rhien membalas tatapan laki-laki itu penuh tanya.
“Mengapa?”
“Karena inilah penyebab Anda bermimpi.”
Malam harinya Rhien menunggu Andri pulang, hal yang tidak lagi dilakukannya bertahun-tahun. Ia terbiasa makan malam dan tidur sendirian. Andri seringkali pulang larut malam. Laki-laki itu tak merasa perlu memberitahukan kegiatannya pada sang istri, sebagaimana Rhien tidak mau tahu urusan suaminya.
Wanita tersebut nyaris terlena saat terdengar kunci pintu depan diputar. Rhien menegakkan duduknya di sofa, tatapannya mengarah ke jam dinding. Pukul 01.15. Andri masuk, melirik Rhien sekilas tanpa berkata-kata. Dikuncinya kembali pintu dan hendak berlalu pergi sebelum perkataan Rhien menghentikan langkahnya.
“Sebentar. Ada yang ingin kubicarakan.”
“Apa?”
“Aku ingin menebang pohon yang ada di samping jendela kamar tidur.”
Andri mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Cabang pohon itu menutupi jendela. Daun-daunnya menghalangi cahaya matahari masuk ke kamar,” jawab Rhien tanpa mengatakan yang sebenarnya.
“Aku suka seperti itu. Biarkan saja.”
“Tapi…”
“Sudahlah,” potong Andri, “Jangan membuatku pusing dengan hal-hal seperti itu, Rhien.”
Andri pergi ke kamar, meninggalkan Rhien seorang diri.
***
Debar jantung memukul rongga dada. Rasa takut terpancar dari napas yang tersengal, meski Rhien tak tahu apa yang ditakutinya. Ia ada di terowongan, berlari. Telapak kakinya yang telanjang beradu dengan tanah di bawah. Terowongan yang sepi dan temaram mencekam perasaan Rhien. Ia ingin segera berada di tempat terang. Kelegaan dirasakan wanita itu ketika terlihat setitik cahaya jauh di depan. Rhien mempercepat larinya. Tak lama berselang telapak kakinya berubah jadi akar pohon. Menyusul jerit dari mulut Rhien, terdengar derap langkah mendekat dari belakang. Sesuatu menyentuhnya, memaksanya berpaling. Kali ini Rhien bisa melihat apa yang ada di belakangnya.
Matanya terbuka. Wanita tersebut menggigil bagaikan terserang demam. Ia gemetar teringat mimpinya. Semenit kemudian Rhien berhasil menyakinkan diri bahwa yang baru saja dialaminya itu tidak nyata. Ia mulai tenang dan baru sadar tertidur di sofa. Jam di dinding menunjukkan pukul 05.30. Dari jendela tampak langit semburat merah.
Rhien menggertakkan gigi. Akan dienyahkannya masalah meski Andri tak mengizinkan. Ia bergegas ke gudang. Diperiksanya isi semua laci. Sambil mengenggam botol berisi cairan, Rhien meraih kotak korek api dari dapur lalu ke luar rumah. Dipandangnya pohon yang tegak menjulang di pekarangan dekat jendela kamar tidur.
“Pergilah kau. Jangan ganggu lagi hidupku,” desisnya seraya menyiramkan cairan di botol ke pohon.
Ekor matanya menangkap sosok Andri yang sudah bangun. Laki-laki itu terbelalak melihat gerak-gerik istrinya. Detik berikutnya ia berlari keluar dari kamar. Rhien tak peduli. Digeseknya sebatang korek api. Bersamaan dengan kobaran api di ujung korek, pintu depan rumah terbanting membuka. Andri datang berlari sambil berteriak.
“Apa yang kau lakukan?! Hentikan!”
Ia berusaha sekuat tenaga menghalangi Rhien. Jarak antara mereka berdua yang terlalu jauh menggagalkan usahanya. Rhien melemparkan korek api yang menyala. Paras Andri pucat melihat api berpacu naik, menjilat habis pohon yang sebelumnya disiram bensin.
“Kau… kau… gila!” bentaknya terbata.
Pria itu berbalik, berlari masuk rumah. Rhien mengabaikan Andri. Bola matanya terpaku ke satu titik. Rhien bergidik, bulu-bulu halus di tengkuknya meremang. Di lidah api yang membakar ia melihat seraut wajah. ***
DAISY RAHMI, lahir di Manado, 30 April 1976. Karya-karyanya tersebar di berbagai media. Kini tinggal di Jakarta
Affan
Saya nggak begitu paham dengan cerita ini, tapi entah mengapa saya suka …