Cerpen Desi Puspitasari (Media Indonesia, 11 September 2016)
APABILA aku berubah menjadi kambing, lalu dikorbankan saat Idul Adha, akankah itu bisa menjadi kendaraan ibu pergi ke surga?
Angan-angan itu terus berkecamuk dalam pikiran Sebbal, laki-laki dewasa yang terperangkap dalam tubuh dan kapasitas otak yang tak lebih baik dari seekor kerbau.
“Tentu saja bisa,” sambut Pak Baonk. Kala itu mereka sedang berada di pos ronda.
“Bagaimana bisa, Pak?” sahut Sebbal terheran-heran.
“Kalau kau membaca karya Franz Kafka, diceritakan Gregor Samsa, si tokoh utama, berubah menjadi kecoak,” Pak Baonk melanjutkan penjelasannya. “Kau ingin berubah menjadi kecoak?”
“Saya ingin menjadi kambing saja, Pak,” jawab Sebbal sungguh-sungguh. Saat salat Jumat kemarin, Sebbal mendengarkan ceramah yang mengatakan, barang siapa berkurban kambing atau sapi, maka hewan itu akan menjadi kendaraannya menuju surga.
Sebbal sedih saat teringat mendiang ibunya. Perempuan tua yang mengurus Sebbal dengan penuh cinta, meski bukan anak kandungnya sendiri. Sekitar tiga puluh tahun lalu, perempuan tua yang sudah meninggal lima tahun silam, menemukan orok menangis di tegalan. Ia mengira sedang mendengar rintihan kuntilanak tengah malam. Perempuan tua itu memberanikan diri. Terkejutlah ia saat menemukan bayi merah dan masih licin—seluruh tubuhnya terbalur darah—tergolek telanjang di antara pohon ketela.
Perempuan tua yang akhirnya dipanggil ibu itu merawat Sebbal dengan baik. Dan, tetap merawat penuh cinta dan kasih sayang, meski akhirnya Sebbal tumbuh menjadi laki-laki dewasa berotak dongok.
“Bayi akan selalu dilahirkan dalam kondisi suci dan murni.” Pernah suatu hari ibu berkata demikian ketika seorang tetangga bertanya, mengapa Sebbal masih dipertahankan dan tak kembali dibuang saja. Bocah tolol merepotkan. “Perkara, apakah bayi itu akan tumbuh menjadi dewasa normal atau seorang bajingan, tergantung bagaimana seorang ibu merawatnya.”
Sebbal baru bisa lancar berjalan saat usia tujuh tahun, lancar berbicara saat sepuluh tahun. Ia tak sekolah. Berkat ketekunan ibu mendidik Sebbal dengan baik, bocah itu alhamdulillah tumbuh menjadi seseorang yang berbudi pekerti baik.
“Kenapa tidak sapi sekalian?” tanya Pak Baonk. “Supaya perjalanan ibumu lebih lancar dan nyaman.”
Sebbal tergugu. “Apa iya orang berotak pas-pasan seperti saya pantas menjadi seekor sapi? Tidak, Pak Baonk, saya tahu diri sajalah.”
Keadaan kemudian menjadi hening. Televisi menayangkan acara film yang tidak menarik. Suara jangkrik terdengar sayup-sayup di kejauhan.
“Pak, bagaimana cara si Gori Samsa… atau tokoh Franz Kafan yang Bapak sebutkan tadi berubah menjadi kecoak?”
“Saya tidak tahu.” Pak Baonk mengangkat bahu. “Tanya saja sama Franz Kafka yang membuat cerita.”
Sebbal tidak tahu Kafka (ia tadi salah menyebutnya sebagai Kafan), berasal dari mana dan bagaimana cara menemuinya. Kalaupun ia tahu dan ternyata si pembuat cerita ternyata tinggal di lain kota atau bahkan luar negeri, jelas ia tak punya ongkos untuk pergi ke sana.
“Lalu, bagaimana saya berubah menjadi kambing, Pak?” tanya Sebbal bersungguhsungguh. Selama ini Sebbal bekerja serabutan. Siapa saja yang membutuhkan tenaganya untuk pekerjaan kasar, kerap memanggilnya. Ia dibayar sekadarnya. Kadang hanya berupa sepiring makan siang berupa nasi lodeh dan lauk.
“Barangkali kau harus menjaga ternak kambing dan tidak mandi selama berhari-hari, agar bau tubuhmu seperti wedhus.”
“Betul harus seperti itu, Pak?”
“Ya, betul.” Pak Baonk menekankan nada suaranya supaya terdengar serius. “Supaya lebih cepat berubah menjadi kambing, kau juga sebaiknya makan rumput dan seresah daun.”
“Apa saya perlu makan daging kambing, Pak?” tanya Sebbal sembari membayangkan dari mana ia bisa mendapatkan cukup uang untuk membeli satai.
“Oh, tidak. Jangan. Kau malah dilarang makan daging kambing—itu sama saja kau membunuh bakal wujud dirimu yang baru.”
“Lalu, bagaimana, Pak?” tanya Sebbal penuh harap.
Kening Pak Baonk berkerut. Tanda ia berpikir dengan sangat serius. Tapi tak lama kemudian menggeleng. “Aku tak tahu. Bagaimana kalau kau coba terlebih dulu saja saranku tadi; menggembala kambing dan makan rumput. Sambil kau cari cara lain supaya kau bisa segera berubah menjadi kambing.”
Sebbal manggut-manggut. Ketika laki-laki berotak jongkok itu pamit pulang, Pak Baonk tertawa begitu lepas. Ia tak mengira ada manusia sebodoh Sebbal yang memiliki keinginan bisa berubah menjadi kambing dan sudi makan dedaunan.
***
Sebbal meminta bantuan pada para warga kampung yang memiliki kambing agar ia diperkenankan menggembala. Tak perlu dibayar banyak, asalkan bisa menjaga kambing, diizinkan makan rumput dan seresah dedaunan, ia sudah sangat berterima kasih.
Orang-orang heran saat mendengar alasan Sebbal. Ingin menggembala kambing untuk mendapatkan sedikit upah masih terdengar wajar, bagian ikut makan rumput itu yang janggal.
“Untuk apa, Bal?” tanya mereka.
“Saya ingin menjadi kambing untuk kurban Idul Adha, Pak, Bu.”
Orang-orang saling melempar pandang. Menyadari tabiat dan watak Sebbal, mereka berusaha maklum.
Sebbal menggembalakan kambing dengan baik. Ia membawa hewan-hewan itu ke tanah lapang. Kaki-kaki kambing dicencang agar tak pergi, sementara laki-laki itu mencari pakan ternak. Rumput yang banyak itu dibagi menjadi dua bagian yang tak sama rata. Sebagian besar untuk kambing, segenggam kecil untuk dirinya sendiri.
Pengalaman Sebbal pertama kali makan rumput adalah, ia ingin muntah. Sama sekali tidak enak. Mengingat tujuan utamanya yang membutuhkan banyak pengorbanan demi mendiang ibu tercinta, ia bertahan.
Keesokan pagi, perut Sebbal mulas hebat. Saat berak, laki-laki itu berharap semoga ia tak keracunan. Rasa sakit itu semoga hanya karena tubuhnya belum terbiasa saja. Saat menggembala kambing di siang hari, tubuh Sebbal terasa mendingan. Laki-laki itu kembali melanjutkan kebiasaan makan rumput. Begitu terus hingga berjalan hampir semingguan.
Para pemilik kambing mengeluh karena bau tubuh Sebbal sekarang tak beda jauh dengan aroma hewan yang digembalakannya. Mereka meminta Sebbal mandi, setidaknya sehari sekali, atau kalau tak sudi bolehlah tiga hari sekali supaya aroma tak sedap tubuhnya tidak begitu mengganggu.
Sebbal diam saja. Tidak menolak dan tidak mengiyakan. Ia pergi menggembala kambing dengan hati susah. Setelah usai mencari rumput, ia duduk sembari melayangkan pandangan. Hewan kurban Idul Adha itu sedang lahap makan. Sebbal memperhatikan anggota tubuhnya satu per satu. Belum tampak sedikit pun perubahan. Kedua tangannya masih kurus ceking dan bertambah hitam. Belum keluar kuku yang berbeda. Dagunya juga tak keluar jenggot kambing. Tubuhnya masih seperti manusia pada umumnya—kecuali aroma tubuhnya yang telah begitu busuk.
Menjelang sore, Sebbal menemukan sebuah ide. Ia mengumpulkan tahi kambing ke dalam sebuah wadah plastik. Tidak usah banyak-banyak, secukupnya saja. Setelah mengembalikan kambing pada para pemiliknya, Sebbal bergegas pulang ke rumah.
Bau kotoran kambing itu sungguh menyengat. Tapi Sebbal harus menahan diri. Ia akan melakukan ini supaya proses perubahan dirinya menjadi kambing segera terlaksana. Apabila Pak Baonk pernah melarangnya memakan daging kambing, malam ini ia akan makan tahinya.
Sebbal menyuapkan sedikit demi sedikit kotoran itu ke dalam mulut. Tubuhnya gemetar hebat. Kedua matanya basah air mata. Perutnya mual, sesekali terasa akan muntah. Segala rasa jijik, getir, tidak enak, dan pahit ditahannya sekuat tenaga.
Setelah tak mampu lagi memaksa diri menghabiskan ‘makan malam’, Sebbal membuang sisa kotoran ke halaman belakang rumah. Ia mematikan lampu dan segera berbaring tidur. Tubuhnya yang masih saja gemetaran kini mulai demam. Suhu tubuhnya naik. Dalam tidurnya Sebbal menggigau.
Ibu datang! Ibu menemuinya! Mendekapnya erat dengan berurai air mata bahagia. “Terima kasih anakku, Sebbal. Terima kasih. Kau sungguh putra berbakti dan berbudi pekerti baik.”
Sebbal merasa terharu yang amat sangat. Ia mendongak dan hendak membalas perkataan ibunya; semua ini saya lakukan hanya untuk ibuku yang aku cintai dan aku sayangi.
“Mbeeekkk…”
Sebbal tertegun. Kepalanya ditelengkan, ditolehkan ke kanan kiri. Barangkali tenggorokannya tersumbat kotoran sehingga suaranya yang keluar tidak jelas. Sebbal mencoba bersuara kembali, “Mbeeeekk… mbeeekkk…”
Sekuat tenaga Sebbal mencoba berkata-kata menggunakan bahasa manusia, tetapi yang keluar melulu suara mengembik keras.
Mbeeekkk… mbeeekkk… mbeeekkk… mbeeekkk….
***
Keesokan siang, ketika matahari sudah sedemikian tinggi, Pak Baonk mencoba mengetuk pintu rumah Sebbal. Orang-orang heran mengapa Sebbal tak juga muncul untuk menggembala.
Tak terdengar sahutan dan suara apa pun dari dalam rumah. Ini aneh. Tak biasanya seperti ini. Apabila Sebbal tak dapat ditemui di mana-mana, bisa dipastikan ia sedang berada di rumah. Pak Baonk mencoba masuk. Di atas sebuah dipan kayu tua, tubuh Sebbal telah terbujur kaku. Kedua matanya membeliak. Dari mulutnya keluar busa putih yang telah mengering. Aroma tubuhnya busuk seperti kambing. (*)
Desi Puspitasari, berdomisili di Yogyakarta. Novel terbarunya Jogja Jelang Senja (2016) dan Alang (2016).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]
Affan
Indah sekali 😭