Raudal Tanjung Banua

Cerita Kecil tentang Jalan Masa Kecilku

0
(0)

Cerpen Raudal Tanjung Banua (Koran Tempo, 27-28 Agustus 2016)

cerita-kecil-tentang-jalan-masa-kecilku-ilustrasi-munzir-fadly

Cerita Kecil tentang Jalan Masa Kecilku ilustrasi Munzir Fadly

HUBUNGAN apakah yang terjalin antara seseorang dengan sebuah jalan? Aku mencoba memahaminya, dan tahu bahwa jalinan itu menjangkau ruang batin yang teramat dalam. Kadang, hanya dengan membayangkan seruas jalan, ingatan kita akan terhantar ke banyak nama dan peristiwa. Karena itu, aku tak heran dengan tindakan seorang saudaraku yang baru bertugas di Jakarta. Suatu kali saat melintas di Terminal Rawamangun, mendadak ia putuskan membeli tiket bus jurusan Sumatera. Ia masih berpakaian dinas waktu itu—baju-celana loreng. Akibatnya, baru mencecahkan pantat di kursi rumah—setelah dua hari dua malam di kursi bus—si komandan meneleponnya, minta dia segera balik ke Jakarta!

“Terasa ada yang menarikku naik Gumarang, entah apa. Setiap lewat Rawamangun perasaan itu muncul, dan kulawan. Tapi aku tak tahan lagi. Melihat bus Sumatera masuk-keluar terminal, jalan di depan rumah ini terbayang terus,” ia menceritakan kepulangannya yang tak biasa itu, dan menyatakan siap menghadap komandan.

Aku pernah merasakan hal yang sama. Dalam suatu acara ke Lampung, sehabis penyeberangan Merak-Bakauheni, hatiku meriap disambut sebuah jalan. Ya, Jalan Lintas Sumatera dengan bus-bus berdebu dan truk-truk berderak! Tiba-tiba aku ingin sekalian menyusurinya hingga ke kampungku. Meski urung, tapi saat di warung makan, jariku gemetar sengaja menyentuh tepi aspal!

Bagaimanapun, hubunganku dengan jalan kampung halaman tak mudah dijelaskan. Tapi aku punya cerita kecil yang mungkin bisa menggambarkan apa yang ingin kutuju.

 

Jalan Masuk, Jalan ke Luar

MULA-MULA mesti kujelaskan bahwa hanya ada satu jalan utama di daerahku, sempit berliku, diapit bukit dan laut biru. Itulah Jalan Lintas Barat Sumatera, yang tak seramai Lintas Timur atau Lintas Tengah. Ia membentang seolah tanpa simpang. Buntu di bukit, berujung di laut. Ada memang simpang ke Sungaipenuh, di Tapan, namun hanya orang tak punya pilihan yang mau menempuhnya. Dan jalan tembus Kambang-Muarolabuh yang sering didendangkan Madin alias Pirin Bana, tukang rabab kenamaan di daerahku—yang membuat dia diselidik “orang pemerintah”—tak pernah rampung. Terlantar, merana.

Jadi jika ada jembatan putus atau tanah longsor, katakanlah di Bukit Taratak, maka semua kendaraan akan tegak tertahan. Percuma berbalik. Bukankah jalan masuk dan keluar sama saja? Saat begitu, sebagian orang kampungku akan beralih jadi penjual jajanan. Yang paling cekatan kerap juga dicemburui.

“Iris kue talam Mak Peren tak kepalang tipis ya….”

“Setipis kulit ari,” sahut yang lain.

“Bisa ke Mekkah dia dengan labanya,” kata Isul pula.

“Tapi tetap laris….”

“Tentu saja karena dia punya niat ke Mekkah,” kata Uman tak kalah cekatan.

Hmm, padahal karena orang-orang tak punya pilihan, kataku dalam hati. Aku tak pernah siap berdebat dengan Uman, sepupuku yang taat.

Namun bagaimanapun, halangan begini bagi orang kampungku bukan soal mencari rezeki. Lihatlah, pintu rumah kami terbuka buat orang berteduh. Surau, mushala bahkan rumah perantau yang lama tinggal, akan dibuka oleh penunggu, jadi tempat nyaman bagi mereka yang terlantar di jalan. Adapun bagi kami, anak-anak muda yang tumbuh di antara lumpur dan debu, itu semua bisa jadi hiburan. Kami bagai bertemu hari raya yang dipercepat datangnya, seakan rombongan perantau “pulang basamo” telah tiba. Kampung mendadak ramai, kendaraan yang tertahan seolah berbaris di tempat parkir. Alat-alat berat sepintas tampak serupa “buayan kaliang”, komidi putar, di arena pasar malam. Kami semua larut menonton, dan jika untung, kami berkenalan dengan gadis penumpang bus!

Tentu gadis-gadis itu bosan menunggu. Sebagian cepat sirna berkat kami yang menjinakkan hati mereka. Ujang Meren yang bertubuh pendek gempal dengan lengan baju tergulung dan rambut berlumur minyak serupa getah, lihai memikat seorang gadis yang selalu duduk dekat ketiak maknya. Meski bicaranya gagap, Ujang sangat percaya diri. Tahu-tahu ia sudah bisa gelak berderai bersama si gadis yang menumpang tidur di mushala itu. Tak lama kemudian ia berhasil mengajak si gadis ke luar dari halaman mushala.

“Wah, bisa kau lepas jepitan ketiak maknya ya?” bisik Pirin sengit.

“Apa tak bau?” tukuk Izal. Keduanya lebih cepat panas ketimbang berani. Ujang menyeringai, pertanda ia akan membuat perhitungan bila urusan dengan si gadis selesai.

“Tak sia-sia kau menuntut pekasih limau purut, Jang,” kata Amri tulus. Ujang tersenyum dan itu berarti akan ada sebatang-dua batang rokok nanti buat Amri.

Kepadaku, Ujang melapor bahwa gadis itu bernama Eda, asli Pariaman. Ia dan ibunya dalam perjalanan ke Kerinci, Jambi, tempat ayahnya berladang kulit manis. Aku memujinya, “Peladang rajin seperti kau pantas dapat gadis yang mau menemani maknya ke ladang jauh, Jang.” Kulihat hidungnya kembang-kempis sedikit.

Baca juga  Jalan Panjang Sebuah Hikayat

Aku pun melapor perihal gadis kenalanku. Namanya Asni, kubilang. Gadis manis asal Bengkulu yang kuliah di Padang. “Kudal, kami tahu kau ingin bersekolah tinggi. Kini kau bertemu orang kuliah. Itu pertanda,” Ujang balas berkata. Terharu juga aku dibuatnya.

Sejak itu aku dan Ujang kerap menunggui bus-bus malam Padang-Bengkulu atau Padang-Sungaipenuh, seolah gadis kami melambai dari bus yang melaju.

 

Perlawatan Hatta, Sahabat Hatta

MEMANG, salah satu kawasan yang kerap longsor adalah Bukit Taratak. Di puncaknya ada Panorama Nyiur Melambai, nama pemberian Hatta dalam satu kunjungan ke Sumatera Tengah. Di sana, punggung Bukit Barisan berjejer membentuk tebing aneka rupa. Kadang landai dengan semak rengsam, sebagian tegak curam dengan tetesan air dan lumut tumbuh serupa tirai. Inilah yang sering longsor atau runtuh. Jika sudah begitu, para pemuda kampungku akan turun mengatur lalu lintas. Sebagian bertugas menadahkan topi atau ember kecil ke kaca kendaraan yang berhasil lewat.

Menurut cerita, saat lawatan Hatta terjadi juga tanah longsor di Bukit Lampu. Namun dalam waktu singkat semuanya teratasi. Berkat cangkul-cangkul terayun di tangan orang-orang kecil, tanpa alat berat, Wakil Presiden kita itu bisa lewat hingga sampai ke Danau Kerinci—sehingga ada juga di sana panorama bernama Tanjung Hatta. Di Bukit Taratak, Hatta berhenti, melepas pandang sekeliling. Tampak Samudera Indonesia cerlang terbentang, pulau-pulau kecil indah nian, dan di pantai nyiur melambai-lambai disertai nelayan yang menarik pukat. Mereka semua penuh semangat, persis warga Bukit Lampu yang sigap membuka longsoran. Alhasil, selain melahirkan nama panorama, kunjungan bersejarah itu konon memperteguh gagasan koperasi Hatta.

Jalan ini pun mengingatkanku pada Soekarno, sahabat Hatta. Maklumlah, tentara APRI yang pernah membombardirnya dari udara disebut “tentara Soekarno”. Meski, hmm…, ingatanku pada Proklamator itu sebenarnya lebih karena gadis Bengkulu. Tentu kau ingat Fatmawati, cantik dengan rambut dikepang, itu satu di antara mereka. Soekarno bergegas meminangnya, tak peduli melepas Ibu Inggit pulang ke Bandung, surut dari gerbang. Sedang aku? Aku hanya sekali bertemu Asni, lalu berlanjut dengan sepucuk dua-pucuk surat. Dalam suratnya, Asni menyebut bahwa ia lebih suka ke Bengkulu melalui jalur Padang-Lubuklinggau, jauh memutar tapi jalannya bagus. Senasib Ujang dengan aku. Eda, gadisnya, jika hendak ke Kerinci juga memilih jalan memutar ke Solok Selatan.

Tinggallah kami di Panorama Nyiur Melambai, sambil melirik pasangan kekasih sedang bersantai, kadang kami berbalas pantun tentang bukit tercinta ini. “Bukit Taratak tinggi belum, Nyiur Melambai di atasnya, kasih terdorong sampai belum, sesak nafas badan dibuatnya,” kataku, persis tukang kaba.

Ujang Meren membalas, juga seturut tukang kaba: “Taratak Gunung Paseban, Kerinci mandi berbaju, taragak (rindu) usah berpesan, dalam mimpi kita bertemu…”

 

Truk-truk yang Mengubah Dunia

SELAIN bus, kami senang menyaksikan truk-truk yang lewat mengangkut kopra, cengkeh, kulit manis, karet, jengkol, segala hasil kebun dan ladang (waktu itu belum ada kelapa sawit). Tak ketinggalan hasil laut seperti ikan teri super yang menjadi unggulan daerahku. Kami bisa menerka apa yang dibawa sebuah truk dari menghidu baunya.

Namun kemudian muncul truk-truk jenis trailer mengangkut kayu gelondongan. Satu truk memuat dua atau tiga batang pohon yang berusia puluhan jika bukan ratusan tahun. Mereka berderak dari selatan persis raksasa tua menyeret langkah ke utara, membuat rumah terasa dihoyak gempa. Seiring dengan itu, truk-truk tak kalah besar dari utara pun lewat ke selatan membawa tiang-tiang listrik dari beton yang dirantai.

Sering terjadi truk kayu berpapasan dengan truk pembawa tiang listrik di tikungan. Paling diingat adalah peristiwa Batu Biawak. Kedua truk terjebak dan tak ada yang mau mengalah. Polisi datang terlambat. Truk manakah yang akan menang? Ternyata truk tiang listrik mengalah. Tiga tiang diturunkan; dua tiang retak, satunya patah. Dengan cara itu, truk bisa mundur sehingga ada celah bagi truk kayu untuk lewat. (Kelak, tempat itu bernama Kelok Tiang Tiga). Peristiwa tersebut ramai jadi perbincangan di lapau kopi dan ditarik satu kesimpulan: “penguasa kayu” lebih kuat ketimbang “penguasa listrik”!

Meski begitu, toh tiang-tiang listrik mulai tegak berbaris, bersanding dengan tiang kabel telkom (kami sebut “tiang kawat”). Baik tiang kawat maupun tiang listrik tak selalu patuh pada arah jalan. Di perbukitan, kabel dan kawat itu menjulur memintas jurang, dan kami bayangkan segalanya akan lebih cepat bila di situ ada kereta gantung. Tapi ada tak ada kereta gantung, sejak tiang listrik berdiri, segalanya berubah cepat di kampungku. Dunia baru datang lewat kotak ajaib yang dulu hanya bisa kami saksikan di kota kabupaten. Itu berkat menara pancar televisi di Bukit Palakek, Kambang. Harmoko datang meresmikannya dengan sirene kendaraan meraung-raung. Sejak itu, kami menikmati Dunia Dalam Berita, plus Laporan Khusus, Kelompencapir dan Aneka Ria Safari. Paling penting, kami tak perlu mencarter truk ke kota kabupaten bila Elyas Pical turun bertanding.

Baca juga  Malam, Sebuah Kota

 

Keajaiban di Tepi Jalan

“KOTAK” ajaib lainnya kami amsal dari rambu-rambu yang terpancang di tepi jalan. Persis kotak menempel di tiang. Dan kami pernah bertengkar karenanya.

“Ini tanda anak sekolah menyeberang jalan,” kata Ipul.

“Menurutku gambar kera,” kata Isul.

“Ya, sekolah kita ‘kan dekat rawa, banyak keranya,” Leni mendukung Isul.

“Ini Pak Mawan dengan beruknya,” teriak Ujang dari belakang.

Ipul mendadak marah ketika nama pamannya yang tukang beruk disebut.

Masih ada keajaiban lain, begitu nyata. Suatu pagi ibu menuntunku ke jalan. Di sana serombongan anak sedang bermain sepatu roda! Mereka meluncur, saling salip. Tanpa terasa anak-anak kampung telah berbaris menonton, lupa mandi ke sekolah. Ah, keajaiban selalu ada pada yang baru, dan itu menyenangkan!

Tapi ada hal biasa yang tak kalah menyenangkan, ialah menunggu lewat truk tangki Pertamina yang sopirnya mirip Rhoma Irama. Rambutnya keriting, bercambang lebat, mukanya bulat bulan purnama. Gempal tubuhnya persis, terlihat dari kaca bertulisan “Dilarang Menumpang” itu. Pakaiannya necis, dan ia selalu berkacamata hitam. Jika ia melintas, kami berteriak, “Bang Rhoma!” Namun ia tak menoleh sekali pun. Tampak betul ia menjaga wibawanya. Kami dibuat penasaran.

Sampailah suatu hari, truk tangki “Bang Rhoma” menabrak sapi Uni Jani. Kaki sapi itu patah. Para pemuda berhasil menghentikan “Bang Rhoma” dan memaksanya turun untuk berunding. Semua orang, tua-muda, laki-perempuan, berduyun-duyun mendatangi rumah kepala desa Thamrin, tempat perundingan berlangsung. Kabar menyebar, “Ada Rhoma, ada Rhoma…” Sejak peristiwa itu, “Bang Rhoma” akan menekan klakson, kadang melambai, pada orang yang ia jumpai duduk di pos ronda atau lapau kopi. Tapi bersamaan dengan itu, rasa penasaran kami pupus sudah sehingga kami tak tertarik lagi padanya.

 

Dalam Perangkap “Jalur Membenam”

SEMENTARA dunia berputar cepat di kotak ajaib kami, berkelabat seperti “Dunia Dalam Berita” dan bergema seumpama syair OM Soneta di acara “Aneka Ria”, kehidupan di jalan malah kian lambat. Ruas jalan rusak parah. Remuk-redam. Bandingannya hanya masa bergolak. Aku sempat merasakan akibatnya. Saat itu aku mulai ikut membantu paman membawa teri super ke Padang. Jika jalan baik, perjalanan dengan mobil pick-up itu bisa tuntas dalam hitungan jam, tapi kini nyaris seharian. Celakanya, suatu kali di Siguntur Tua, mobil kami terjebak lumpur. Semalaman kami berjuang mengeluarkannya, sia-sia.

Paginya, dari halaman sebuah rumah ada seorang perempuan menyapa. Senyumnya akrab serupa fajar, namun tak kukenal. Lama kugosok mata untuk akhirnya sadar perempuan yang menggendong anak itu tak lain Masyit’oh, kawan sekolahku dulu. Dia lalu melayani kami dengan makan-minum, handuk bersih, dan kain sarung.

“Begini aku sekarang, Dal, habis hari mengurus anak,” katanya tanpa kuminta.

“Kau beruntung punya suami dan anak-anak. Kapan suamimu pulang?” tanyaku.

“Biasanya tiga hari. Kami punya truk yang biasa membawa gambir daerah sini ke Padang, lalu mencari tambahannya ke Pangkalan, Kotobaru. Sejak jalan rusak, jadi seminggu. Tapi pagi ini ia tiba, nanti kuminta ia membantumu,” katanya. Aku meliriknya; pandangan kami beradu. Dia secantik dulu, saat kami saling tak berani menyatakan isi hati.

Pagi hari truk menderu memasuki halaman. Masyit’oh menepati janji. Suaminya bersama anak buahnya membantu kami. Bertahun-tahun kemudian, aku bertemu sebuah buku yang kubaca berulang, Jalur Membenam karya Wildan Yatim. Aneh, aku merasa pengarang Sidempuan itu bercerita tentang diriku!

 

Hutan yang Rusak dan Badak-badak

SAMPAI usiaku sudah seharusnya meninggalkan kampung, kayu gelondongan masih saja menghantui, sekalipun truk-truk yang membawanya meraung-raung dalam kubangan jalan. Persis kubangan kerbau, babi atau… badak!

Ya, badak! Binatang berjangat tebal itu jadi ungkapan buruk di kampungku: muka badak, pekak badak. Itu buat orang keras kepala dan tak tahu malu. Di sekolah, jika kami susah diatur, kepala sekolah lantang berteriak, “Semuanya dengarken, kecuali yang pekak badak!” Begitu pun menjelang pemilihan bupati, beredar pendapat bahwa daerahku mesti tetap dipimpin orang berlatar tentara. Ketua DPRD kami (waktu itu pemilihan oleh mereka) langsung sepakat. Orang daerah kita masih banyak yang pekak dan bermuka badak, jadi perlu digebrak, katanya. Padahal dalam sebuah buku yang kubaca, badak justru hewan yang sangat peka dengan gerak, suara, dan cahaya!

Baca juga  Tanah Munggu, Pak Tua, dan Itik-itik yang Menunggu

Itulah yang terjadi, namun dalam amsal berbeda. Di tengah gerahnya kampung kami menghadapi truk pengangkut kayu, para pemuda mulai nekad menyetop truk atau melemparnya diam-diam. Beberapa kaca truk pecah dan serombongan pemuda ditantang berkelahi oleh sopir truk kayu yang pongah. Namun setelah itu justru si pemuda yang dijemput polisi. Mereka ketakutan, sebagian memilih lari, dan dunia kembali bungkam. Saat itulah, binatang bercula muncul ambil bagian!

Bagaimana caranya? Bermula dari berita tentang perburuan satwa langka di Taman Nasional Kerinci Seblat. Koran Padang dan Jakarta menjadikan nasib teramat sedih badak sumatera, hewan langka itu, sebagai berita utama. Dan itu sangat sakti ternyata. Sebab sekalian wartawan punya celah mengungkap pembalakan kayu. Akibatnya, bupati kami di panggil ke Jakarta, entah oleh siapa dan untuk apa. Mustajab. Truk kayu mulai jarang melintas bahkan lalu berhenti sama sekali. Kami berterima kasih pada badak, meski ia terlanjur kekal dalam ungkapan yang tak layak!

Bagaimanapun hutan kami telah rusak, binasa. Musim hujan banjir melanda kampung. Sawah-sawah terendam, air menjilat-jilat lantai rumah di atas tiang. Badan jalan yang lebih tinggi kami jadikan tempat mengungsi. Pernah saat banjir besar, serombongan orang memotret kami. Beberapa hari kemudian saat kami kembali masuk sekolah (dengan sisa lumpur menggenang di mana-mana), sekolah kami heboh melihat foto kampung kami masuk koran. Aku dan ibuku ada di dalamnya!

Kata orang-orang bila sudah dimuat koran, bakal ada pembangunan! Begitukah?

 

Bus Siang, Bus Malam

BEGITULAH, ternyata. Berkat pembangunan, jalan diperbaiki. Bus-bus penuh penumpang lintas dua kali sehari. Pagi ke Padang, sore kembali ke pangkalannya di kota kecamatan: Kambang, Balaiselasa, Indrapura, Tapan hingga Lunang di perbatasan. Nama-nama dan warna bus masih berkelabat di kepalaku hingga sekarang: Budi Jaya, Painan Indah, Sinar Lengayang, Erlindo, Mansiro, Mustikarila, Habeco. O, juga klaksonnya yang minta minggir! Walau teleng karena beban, larinya tetap kencang. Sopir seakan balas dendam!

Sementara bus-bus malam antar propinsi berjalan lebih pelan, karena lebih besar, tambah menjulang dengan beban di atap. Ia seolah muncul begitu saja dari balik kelam. Tujuannya Padang-Sungaipenuh, Padang-Bengkulu atau Medan-Bengkulu. Hanya mereka yang berjaga hingga larut yang akan menjumpainya. Aku tergeragap dulu, ketika mula-mula menyaksikannya lintas satu persatu. Anak Gunung, Cahaya Kerinci, Bengkulu Indah, Bunga Setangkai, Mawar Selatan. Tambah kekal kenangan, tiap teringat bahwa aku dan Ujang pernah terus membayangkan gadis kenalan kami melintas.

Ah, bus juga akhirnya yang membawaku pergi. Kawan-kawanku datang bertanya, “Naik bus apa kau berangkat? Bus siang atau bus malam?” Itu untuk memastikan apakah aku akan pergi jauh atau dekat. Jika naik bus siang berarti aku akan pulang cepat, ibarat “merantau di celah dapur”; bila naik bus malam artinya aku akan merantau ke luar daerah, bahkan luar pulau, dan pulangnya bakalan lama atau sekalian “merantau cina”.

“Naik bus siang dulu, nanti sesampai di Padang baru naik bus malam,” jawabku.

Mereka berpandangan. Tak lama pecahlah gelak-tawa.

“Kapindiang! Itu tak ada dalam kamus kita,” Ikal menuding, dan mulailah kami saling bertikam kata. Kata-kata yang terasa terus bergema ketika bus membawaku berlari.

 

JALAN masa kecilku kini banyak berubah. Bila sesekali pulang, kulihat apa yang dulu menakjubkan, ternyata tak lebih sebuah kelokan yang dilalui sopir travel—pengganti bus—sambil bersiul. Bahkan aku tak sadar mobil telah melewati Bukit Pulai yang dulu terasa curam. Apakah karena tanjakan dipapas dan jalan diperlebar? Mungkin. Tapi satu hal tak berubah: jalinan batin tak bertara. Persis hubunganku dengan Masyit’oh. Tiap kali kembali ke kota, kubayangkan ia berdiri di halaman rumahnya seolah ikut melepasku. Setelahnya aku terhempas ke jalur yang membenam, menarik kenanganku, dalam, dalam…. (*)

 

 

Rumahlebah Yogyakarta, 2015

Raudal Tanjung Banua lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Tinggal di Yogyakarta. Buku-bukunya, antara lain, Parang Tak Berulu (kumpulan cerita pendek, 2005) dan Api Bawah Tanah (kumpulan puisi, 2013).

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!