Cerpen Candra Malik (Koran Tempo, 17-18 September 2016)

Kasidah ilustrasi Imam Yunni
BIBIRMU memberiku ciuman paling rumit dari sekian banyak pengalaman berkecupan. Dari mula, aku sudah curiga desismu melebihi angin lalu. Sekali pagutan denganmu, puisi yang telah kuracik dari bumbu perjalanan terbaik ini seketika enyah dari ingatan dan hanya kau yang tak bisa kulupa. Ah, aku jadi tahu mengapa Calzoem menenggak bir setiap senja.
“Kau jangan mulai main dengan perempuan itu,” tegur Calzoem.
“Tapi aku perlu kata paling tepat,” sergahku.
“Lihatlah apa yang terjadi pada Landu. Ia berhenti menulis. Bercerai dari sajak hanya gara-gara mengejar bidadari jahat itu,” tukas Calzoem.
“Terakhir jumpa, dia masih suka menciumi botol-botol bir,” ujarku.
“Nah! Pada akhirnya, setiap penyair pensiun di luar tanggungan redaksi,” celetuk Calzoum terkekeh.
Tapi apa salahnya bermesraan denganmu? Aku memerlukan satu kata terakhir sebelum menaruh judul di atas puisiku yang terbaru. Kau duduk tanpa dosa di depan buku-buku Jose, merusak pemandangan orang-orang yang lalu-lalang. Perangai acuh tak acuh menonjol sekali dari caramu mengusirku. Hanya karena ujung sepatuku menyenggol tasmu.
“Lain kali, pakai sepatu jangan menutupi mata kaki,” serumu.
“Oh, maaf, maaf,” ujarku.
“Sana, jauh-jauh. Di sini tidak ada buku saku bahwa mengarang itu gampang,” ucapmu.
“Aku tidak tahu apa-apa soal Brordus,” kataku.
“Sekali lagi kau sebut nama itu, tidak perlu lagi kau masuk kelasku!”
Jadilah keesokan harinya aku hanya menganyam siang dengan benang-benang asap yang lepas-lepas melulu diembus angin. Terik dan daunan ternyata tidak akrab. Berteduh di bawah pepohonan ini percuma belaka. Sudah tak boleh masuk kelasmu, aku masih harus pula menanggung risiko menaruh sebotol bir di kantin depan setiap malam. Untukmu.
“Terkutuk dia karena main-main dengan bibirku,” ungkapmu.
Membuka percakapan dengan setangkup bibir sebagai tema tidak pernah kubayangkan. Apalagi kau seperti tidak main-main dengan perkataanmu tentang Brordus.
“Terkutuk?” tanyaku.
“Ya. Dia menulis stanza namun melupakan aku. Seharusnya aku yang melantunkannya malam itu!”
“Lalu, mengapa tidak?”
“Brordus merangkulku dalam gelap, lalu meninggalkanku dalam keadaan kehilangan separuh hafalan. Dia menghabisi aku dengan cara tidak sopan. Padahal, aku mau sukarela jika dia minta baik-baik,” jelasmu.
“Siapa yang menggantikanmu?”
“Ketika aku siuman, yang tersisa dari panggung malam itu hanya derak sapu si penjaga tua,” ujarmu.
Lakon perkawinan selir Mataram tak jadi kau mainkan dan dendammu pada Brordus tak mengenal tamat. Tapi mengapa aku yang kena batu? Aku hanya ingin menulis satir soal penyair bisu yang lihai bersilat lidah itu. Bisu dalam sekali reportoar, tapi lantas lebih berisik daripada kerumunan merak yang menyerbu Lancashire.
Telapak kakinya kuikuti sejak dari gumuk di pesisir selatan. Kemudian, karena alasan perkawinan, ia bawa bulu-bulu ke besaran beserta ekor-ekornya yang panjang itu ke ibu kota. Hanya berani di pinggir, memang, tapi ulahnya toh sampai ke tengah. Dia memang tangkas menjadikan sorot matanya pusat perhatian.
“Sudah, sana. Pergi, pergi. Tugasmu hanya menaruh sebotol bir, bukan menemaniku minum. Dasar boneka cerewet!” sergahmu.
“Beri aku sihir. Sekali ini saja,” pintaku.
“Tidak!”
“Jika bukan untuk puisi, untuk judulnya saja tak apa. Aku minta darimu,” rayuku.
“Ti-dak! Mau kukutuk kau jadi mandul?”
“Tidak, tidak. Jangan. Belum ada satu ide pun yang kukawini hamil, apalagi melahirkan karya.”
“Pergi!”
Tak mau aku menjadi Ismail dan Djoko. Mereka cuma pandai merajut kata namun gagal menjahit makna. Tak lebih dari rasa geli, atau senyum-senyum sendiri belaka yang aku peroleh setiap membaca mereka. Tidak ada daya yang mengubah pikiran. Siapa yang butuh nyinyir lebih dari sekali dalam sehari?
Tak ada!
Oleh karena itulah, aku harus mencium bibirmu. Sia-sia saja jika aku cuma mengikuti kelas, menekuni jurus menaklukkan panggung, tapi tidak ditahbiskan menjadi singa.
Sudah empat kuartal lebih, tapi tak sebait pun mantra kau turunkan pada kami. Nanti malam, di antara gelap lorong dan remang panggung, aku harus merampasnya langsung dari bibirmu. Tepat bulan sabit tanggal pertama, persis dengan malam ketika Brordus mereguk kekuatan gaib darimu, aku harus menjadi begawan berikutnya. Negeri ini terlalu lama hanya dihiasi penyair-penyair koran.
HUJAN terakhir sudah jatuh tadi, memang, sebelum payung dariku kau tolak dan kita berjalan masing-masing. Padahal, sebenarnya aku sekadar ingin bersopan-santun.
Tak ada yang istimewa dari taman budaya malam ini selain lampu-lampu di balairung yang mereka sengaja padamkan. Obor-obor disulut, dan orang-orang mengerumuninya seperti laron.
Panggung masih sepi. Dengung pengeras suara melecutku untuk lekas naik dan merebutnya, tetapi belum ada kode dari belakang layar. Pembacaan puisi-puisi kami masih menunggu takdir.
“Mana?” tanya penata suara.
“Sudahlah, atur saja pengeras suara itu agar tidak mendengung,” kilahku.
“Orang-orang sudah datang!”
“Bisa dua batang rokok lagi. Tak usah jadi anak kemarin sore deh.”
“Kau yang jamin ya!”
“Sudah kubilang, bereskan dengung brengsek itu!”
Rahel belum memulas wajah ketika kami saling meninggalkan tadi. Ia berdalih hendak ke lorong sebentar, mengambil gincu dan bedak. Tipis-tipis saja, memang, namun tidak bisa tidak tetap ia merasa perlu riasan.
Sudah aku ulang sampai empat kali, dan sebentar lagi yang kelima. Ia harus sudah di belakang panggung sebelum jam delapan malam. Masih ada tempo untuk menyusulnya, tapi aku harus bergegas.
“Siap?” tegurku.
“Berhentilah jadi perempuan!” sahut Rahel.
“Mana ibumu?”
“Kita yang naik panggung, ada urusan apa ibuku kau cari?”
“Ia berjanji….”
“Diamlah, atau kucoretkan gincu ke mulutmu.”
“Rahel, mana ibumu?”
“Ibu pasti di antara penonton.”
“Tadi ia berjanji….”
“Heh! Yang perempuan itu aku atau kau?”
Tadi kau berjanji akan menemuiku di sini sebelum kami naik panggung. Tanpa mantra darimu, mustahil puisi-puisiku berkekuatan sihir. Dawai-dawai Rahel tak punya daya yang lebih gaib dari kehadiranmu.
Tak mau aku dilempar botol bir dari bawah panggung oleh Calzoem. Tak ada bedanya aku dengan para pemabok di emper taman budaya itu jika lidahku tak menyala api.
Di mana kau, Kasidah?
Rahel, di mana ibumu?
Gong pertama sudah berdentum. Gawat kalau aku sampai tak bisa menempelkan bibirku ke bibirmu, atau sekadar mengendus aroma rambutmu yang terurai. Kasidah, Kasidah, di mana kau? Tak kulihat bola api di antara bola-bola mata kerumunan manusia itu.
“Mata Kasidah selalu bersinar,” ungkap Brordus.
“Kudengar kau mencabik bibirnya di pangkal lorong?” sergahku.
“Justru karena itulah ia sangat mudah ditemukan, bahkan dalam gulita.”
“Benarkah kau merampas satu ciuman darinya?” kejarku.
“Aku lebih hebat dari yang kau dengar itu.”
“Kau mencuri sihirnya?”
“Kasidah lebih dari seorang cenayang, dia bahkan membawa peruntungan. Tak ada penyair di zamanku yang tidak berkelahi demi mendapatkan sungging bibirnya.”
“Lalu mengapa Kasidah murka dan kau diusir dari hidupnya?”
“Jangan kau bicara seolah-olah dia bukan jandaku. Keputusanku bulat untuk menceraikannya.”
Tapi, mana? Brordus menipuku. Tidak ada mata yang bersinar di antara penonton. Padahal, gong kedua sudah dipukul. Waktu habis, habis pula riwayatku tanpamu.
Rahel acuh tak acuh. Ia lebih laki-laki dariku. Ia tak memerlukan ciuman lagi darimu, ibunya. Sudah sejak lahir ia kauhujani sihir. Tak perlu memetik gitar atau membaca syair, sudah pasti Rahel mewarisi tepuk tangan penonton yang sudah kalian tabung sejak dulu.
Brordus memang menjatuhkan talak tiga padamu. Perkawinan kalian hanya fatamorgana. Kau masih menyimpan dendam malam stanza yang gagal, dan tak bisa memaafkan Brordus.
Kau mau dipersunting hanya demi mengambil kembali sihir yang dicuri Brordus malam itu di lorong. Tapi pelaminan kalian toh meneteskan noktah kelahiran Rahel. Sudah berpisah pun sebagai suami dan istri, kalian masih mengasuh Rahel dengan rima dan irama.
Gong ketiga! Mati aku.
Brordus? Brordus! Heh, mengapa justru ia yang naik panggung? Rahel, apakah ayahmu kumat gilanya?
“Saudara-saudara. Sebentar,” ucap Brordus memecah sunyi.
Orang-orang itu menunggu aku. Menunggu aku dan Rahel. Ada apa ini? Muncul dari mana Brordus sampai bisa menelikung kami?
“Saudara-saudara. Apalah syair jika tanpa penyair? Pun sebaliknya. Aku sudah menyaksikan terlalu banyak kata terbang tanpa makna. Malam ini, aku akan berhenti mengejarnya. Tapi, aku tak mau Rahel, anakku, sia-sia mengawinkan dawai dan puisi jika ia tak lebih dulu kupinangkan dengan laki-laki yang berikhtiar hidup dalam puisi. Rahel, sini, Nak.”
Demi setan yang paling kutakuti di kuburan kakekku, Brordus sudah gila! Rahel seperti kerbau saja, dicokok hidungnya dan naik panggung tanpa memedulikan aku yang terbelalak.
“Memang telah lama aku bercerai dari Kasidah, seperti yang kalian dengar dan bicarakan. Tapi, kami sepakat untuk mewariskan masa depan syair kepada Rahel. Kasidah, di mana kau?” seru Brordus memincingkan penglihatannya ke arah penonton.
Belum lepas aku dari drama tragis ini, pergelanganku direbut genggam tangan mungil yang lama kukenal. Kasidah? Kasidah? Jangan, jangan bawa aku ke panggung!
Kau menarikku, mundur dari bias-bias obor, membenturkan panikku ke batang pohon sawo di belakang layar, lalu menumpahkan tatapan penuh syahwat kepadaku. Dengus napas kita saling mendekat, bibirmu dan bibirku menembus gelap, dan kau menciumku.
“Kasidah!” teriak Brordus dari atas sana. Semakin lama semakin sayup. Tak ada yang kudengar lagi selain kata-kataku sendiri yang juga semakin samar. Kasidah, kau usir ke mana puisi-puisiku? (*)
Surabaya, 3 April 2016
Candra Malik lahir di Solo, 25 Maret 1978. Tinggal di selatan Jakarta. Buku-bukunya antara lain Mustika Naga (novel) dan Mawar Hitam (kumpulan cerita pendek).
Leave a Reply