Cerpen Adi Zamzam (Suara Merdeka, 18 September 2016)
Sosok itu terlihat gelisah sejak awal-awal duduk di kursi itu. Hingga beberapa menit ke depan, entah sudah berapa kali ia menengok jam dinding. Seperti tengah menunggu sesorang.
Seorang pelayan sempat menghampirinya—menanyakan pesanan. Tapi dia hanya tersenyum saat itu, seperti telah menemukan apa yang ia cari, meski tak memberi jawab sama sekali. Seperti orang yang pelit kata-kata. Atau bahkan mungkin bisu. Membuat pelayan itu memajukan bibir—tapi berusaha memaklumi. Duapuluh menit kemudian pelayan itu tetap membawakan secangkir teh hangat ke meja itu.
“Cuma dua ribu,” kata si pelayan. “Daripada cuma menganggur. Kalau tak mau, maksudku tak sanggup bayar, biar aku yang bayar. Tak enak sama si bos, kalau sampai beliau lihat kau cuma mampir untuk duduk.”
Dan sosok itu tetap tak menyahut. Hanya sorot matanya yang terlihat lebih ceria, seperti ingin bilang terima kasih.
Namun ia tak meminum teh itu, meski sempat mengaduknya selama beberapa menit.
Semuanya menjadi aneh tatkala kurang dari satu jam kemudian pelayan ramah tadi ditemukan meninggal dunia di dalam ruang toilet karyawan. Sementara sebelumnya, seorang pelayan lain—bertubuh gemuk, sempat menegur sosok misterius itu lantaran hendak memasuki toilet yang kini telah menelan satu nyawa itu. Pelayan bertubuh gemuk itu kini menjadi saksi tunggal yang memberi keterangan bahwa sosok tak dikenal itu diam saja sewaktu ia tegur sapa.
Sosok misterius itu kini pun menjadi tersangka utama. Meski para polisi baru berburu sidik jari untuk bisa dijadikan bukti. Pelayan yang mati di dalam toilet itu didiagnosis terkena serangan jantung. Yang jadi pertanyaan, sosok tak dikenal tadi ternyata sudah tak berada di dalam resto. Sementara orang-orang yang sempat melihatnya kompak bilang tak pernah melihat orang itu keluar.
***
“Aku yakin dia tidak bisu,” suara si kursi seperti sebuah desisan lantaran terhalang sejenak oleh pantat polisi yang mampir mendudukinya.
“Mungkin yang kau dengar itu kentutnya,” sahut si sendok yang pernah digunakan oleh sosok tersangka—sebelum dimasukkan ke dalam sebuah plastik bening oleh seorang polisi penyidik.
“Haha—aku setuju. Aku bahkan tak dengar sedikit pun desisan yang merosot dari celah-celah bibirnya,” sahut si cangkir, sebelum berpisah dengan si sendok. “Dia bahkan mengacuhkanku, meskipun Hendra sudah berbaik hati kepadanya.”
Pita kuning sudah dilingkarkan di dua lokasi utama. Orang-orang kasak-kusuk. Potongan-potongan cerita mulai dikumpulkan untuk membentuk kisah utuh.
“Sejak pertama kali datang, aku sudah merasakan bahwa sepertinya ia membawa niat buruk. Aku sedikit menyesal tak menceritakannya kepada kalian saat itu. Dan kini aku benar-benar menyesal lantaran kita, maksudku aku, jadi kehilangan orang yang sebenarnya paling peduli denganku,” meja, dengan suara baritonnya, menyela. Hendra dikenal suka bersih-bersih, meski kadang saat bukan jadwalnya.
“Di dapur, Hendra juga merupakan orang yang paling bisa diandalkan. Andai saja tempat ini memberikan penghargaan untuk karyawan teladan tiap tahunnya. Tapi yang seperti kalian tahu, para borjuis memang akan selalu lebih peduli pada uang daripada kemanusiaan. Cuih! Kalian tentu masih ingat ketika si Bos membuangku ke selokan dengan penuh amarah ketika masakan yang ia cicipi ternyata jauh dari standar yang diinginkannya. Apakah dia pernah menganggap kita ada? Apakah dia pernah memikirkan jerih para karyawannya? Padahal mereka juga sama-sama manusia kan? Ia tentu mengerti bahwa lalai adalah sifat manusiawi, lantaran setiap orang pasti punya masalah…,” suara si sendok terdengar ngalor-ngidul lantaran polisi yang membawanya masih mondar-mandir di sekitar meja dan kursi.
“Aku tahu, aku tahu. Lantas, apa yang bisa kita perbuat untuk menolong Hendra? Mereka takkan bisa mendengar percakapan kita. Mereka hanya akan percaya pada bukti-bukti yang ditemukan,” ujar kursi bernada sedih. “Padahal kau dengar sendiri kan tadi? Tak ada sidik jari sama sekali di tempat ini. Bahkan tanda-tanda adanya orang yang baru saja duduk menunggu di sini. Takkah kalian pikir itu hal yang mustahil?”
“Hei, apa kau tahu bagaimana cerita kematian Hendra? Aku dengar banyak yang kasak-kusuk tadi. Tapi aku tak begitu jelas mendengar,” tanya meja kepada si sendok yang masih mondarmandir mengikuti tuan yang membawanya.
“Ada yang bilang dia terkena serangan jantung. Anehnya dia mati dengan kondisi tersenyum. Lantaran sosok tak dikenal itu terakhir kali juga terlihat masuk ke toilet karyawan, jadilah para polisi ini dipanggil,” sahut si sendok.
“Matinya orang baik,” gumam si cangkir.
“Tapi ini pembunuhan,” desis meja.
“Pembunuhan?” kursi menyahut.
“Tapi, apa ada pembunuhan yang korbannya mati dengan tersenyum?” meja mendadak ragu dengan pemikirannya sendiri.
Semuanya langsung terdiam. Sibuk dengan dugaannya masing-masing. Keramaian suasana restoran memperdengarkan diri.
***
“Dia datang lagi! Dia datang lagi! Dia menuju kita lagi!” seru si meja tiba-tiba. Membuat kursi, kalender duduk, dan kembang plastik mengalihkan pandang ke sosok yang ditunjuk.
“Siapa sih?” sahut kalender duduk.
“Itu! Sebentar lagi juga sampai. Dia menuju kita. Dia berganti pakaian. Aku yakin kalian pasti akan segera mengenali wajahnya. Dia si pembunuh itu!” seru si meja lagi.
“Benar kah?”
Semua terdiam ketika sosok yang dibicarakan itu akhirnya benar-benar sampai di hadapan mereka. Lagi-lagi tanpa suara. Langsung duduk di kursi. Diam menunggu. Mengamati suasana sekitar. Dan seperti gelisah dengan dirinya sendiri.
“Ini memang dia!” seru kursi. “Jangan-jangan dia mau cari korban lagi?”
Semua lantas terdiam. Semua perhatian fokus pada sosok yang baru datang tersebut.
Tak juga memanggil pelayan. Sosok ini terlihat begitu betah dengan kesendiriannya. Hingga kemudian ia mengeluarkan sebuah buku catatan dan sebatang pena.
“Apa yang dia lakukan?” tanya kursi, lantaran pandangannya terhalang sosok yang mereka bicarakan.
“Dia menulis. Sebentar… sebuah nama… Haris? Bukankah itu juga salah seorang pegawai di sini?” meja tiada henti mengawasi.
“Oh, Haris, si pemarah itu? Apa dia kenal dengan si pengidap darah tinggi itu? Buat apa dia menulis namanya?” sahut kursi.
Selang beberapa menit, ketika seorang pelayan yang di bagian dada sebelah kanan tersemat nama yang baru saja mereka bicarakan, tanda tanya semakin merebak di antara mereka.
“Kau tak pesan apa-apa?” Haris menatap sinis.
Sosok yang ditanya tiada jawab. Masih terlihat sibuk dengan kesibukannya sendiri. Menulis, entah tulisan apa.
“Sinting ya? Restoran elit kok cuma dijadikan tempat mampir buang kentut. Semoga saja si Bos tak pernah melihatmu,” berlalu dengan omelan kecil yang meletup-letup.
Yang disindir hanya tersenyum kecil. Seolah kalimat tajam yang baru saja dialamatkan kepadanya adalah sesuatu yang menggelikan.
“Mereka jelas tak saling kenal. Tapi bagaimana ia bisa mengenali nama Haris?” ujar kalender, yang beberapa detik lalu sempat beradu pandang dengan sosok misterius itu. Entah mengapa tiba-tiba ia merinding. Ada denyar aneh yang diam-diam menyelinap dalam kesadarannya.
“Jangan-jangan Haris memang korban berikutnya yang ia tuju kali ini,” meja tak menjawab kalimat tanya si kursi. Ia langsung terdiam begitu kaki sosok tak dikenal itu menyepak kaki meja seolah ia mendengar kalimat si meja barusan, seolah ia melarang kalimat si meja yang akan keluar selanjutnya.
“Maksudmu, dibunuh?”
Kalimat yang mendebarkan itu tak pernah mendapatkan jawab lantaran perhatian mereka lantas tertuju pada si misterius yang tiba-tiba berdiri. Hawa dingin dengan anehnya menguar tatkala sosok itu mengelus mereka sacara bergilir.
Dimulai dari meja, kursi, bunga plastik, dan terakhir si kalender yang entah mengapa ditiup-tiup seolah ingin menghilangkan debu yang menempel padanya.
“Semoga kisahku ini dapat kalian jadikan pelajaran. Sebab kalian pun pasti akan berjumpa denganku dalam pertemuan spesial nanti, entah kapan.” Kalimat pertama dan terakhir si sosok misterius ini membuat benda-benda yang tadi berisik itu kini terkesima dan lalu menduga-duga.
***
Satu jam kemudian, ketenangan restoran itu lagi-lagi terusik dengan peristiwa kematian. Haris menjadi buah bibir yang mengundang decak iba siapa pun yang mendengar ceritanya. Konon, ia mati tersengat listrik saat dapur tengah tak ada siapa pun lantaran peristiwa itu terjadi saat meeting evaluasi bulanan. Entah apa yang hendak dilakukannya hingga berurusan dengan kabel-kabel listrik yang sebenarnya hendak dirapikan tukang listrik pekan depannya.
Menurut cerita yang entah bisa dipercaya atau tidak, Haris memang kerap mencuri makanan saat dapur dalam keadaan kosong. Mungkin bisa diumpamakan dengan keisengan yang berbuah celaka. Gosong-gosong meruam di sekujur tubuhnya. Dan konon, ia mati dalam keadaan menyedihkan. Kedua matanya terbuka, seolah tengah dalam keadaan ketakutan.
Setelah kejadian itu, kawanan meja yang kerap disinggahi sosok misterius itu tak pernah lagi membincangkan tamunya. Mereka seperti sudah mengerti dan bisa menyimpulkan, siapa yang mereka bicarakan selama ini. Lagipula sosok itu pun sudah tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. (92)
Adi Zama-Zama, lahir Jepara, 1 Januari 1982. Beberapa cerpen dan puisi dipublikasikan di sejumlah media massa nasional. Ia pernah meraih juara di berbagai lomba penulisan cerpen. Terakhir ini juara I Lomba Cerpen Green Pen Award 3 Perum Perhutani 2016. Selain itu karyanya juga dibukukan dalam antologi bersama, di antaranya Sebuah Kata Rahasia ( 2010), Tahun-Tahun Penjara (2012), dan lain-lain.
Leave a Reply