Ni Komang Ariani

Telapak Kaki yang Menyimpan Surga

0
(0)

Cerpen Ni Komang Ariani (Jawa Pos, 18 September 2016)

telapak-kaki-yang-menyimpan-surga-ilustrasi-bagus

Telapak Kaki yang Menyimpan Surga ilustrasi Bagus

SATU harian ini aku mengelus-elus telapak kakiku. Sesekali mencoba menghadapkannya ke arah mukaku. Untuk melihat surga yang konon tersimpan di sana.

Setiap malam menjadi dingin dan kering, ia kisahkan cerita itu. Tentang surga yang tersembunyi di balik serat-serat hitam di telapak kakiku. “Di balik keburukan, selalu tersimpan kebaikan. Kebaikan tak akan hilang walaupun tersimpan di tempat yang buruk. Jangan mengeluhkan telapak kakimu yang buruk, kaki yang buruk menunjukkan kau sudah memanfaatkannya sebaik-baiknya. Untuk berbakti. Untuk menjadi perempuan yang agung.”

Mahluk yang agung. Itulah yang ia katakan tentangku. Sambil mengusap keningku yang mungkin bercahaya, ia perdengarkan lagi suaranya yang merdu di telingaku. “Segala lakumu akan membanggakan aku, atau mempermalukanku. Kalau kau meninggikan dirimu, aku pun menjadi tinggi.” Aku mendengarkan dengan takzim. Menekuri kuku-kuku kakiku yang telah panjang dan tidak terawat.

Aku selalu alpa memotongnya, oleh sebab badan yang penat di malam hari, dan waktu yang berlari di siang hari. “Tuh lihat kukumu, kotor dan tidak terawat seperti itu. Hal sekecil itu pun dapat mempermalukanku.” Aku tersipu menanggapinya. “Saya janji tidak akan membuat malu lagi,” kataku bersungguh-sungguh.

Dia tersenyum ragu. “Bagaimana dengan baju-baju yang aku sarankan sebulan yang lalu. Kamu belum menggantinya seperti yang aku minta.” Aku tersengat gundah. “Maafkan saya. Belum ada uang untuk membeli model yang seperti itu. Harga-harga sembako naik.”

Dia melengos gelisah. “Kamu jangan mulai memberi alasan, dengan menimpakan kesalahan kepadaku. Seolah-seolah aku gagal mencukupi hidupmu.”

Darah deras mengaliri mukanya. Urat-urat di wajahnya menegang. Seperti ada yang menariknya dari keempat penjuru. Hatiku mencelos. Dosa apa lagi yang bakal kubuat sepagi ini. Subuh bahkan belum pergi. Halaman rumah belum disapu, nasi belum ditanak. Pakaian-pakaian kotor masih menumpuk. Baru air panas yang terjerang, untuk menyeduh kopinya setengah jam yang lalu.

Baca juga  Selagi Ia Menulis Cerita Pendek Ini

“Tentu tidak, Mas. Uang bulanan darimu sangat cukup dan berlebih. Sayalah yang tak pandai mengaturnya. Saya perempuan yang teramat bodoh. Maafkan saya.”

Urat-urat yang sempat menegang di wajahnya mengendur. Ia kembali menyeruput kopinya. Terdengar suara kopi terhirup masuk ke liang kerongkongannya. Wajah itu mulai terlihat tenang. Seperti tenaga dengan air tanpa riak. Ia mengambil sepotong pisang goreng dan mengunyahnya dengan nikmat. Aku menghembuskan napas lega. Terangkatlah kecemasanku akan sebuah dosa yang akan kulakukan hari ini.

Aku membayangkan perempuan-perempuan itu. Yang matanya bening seperti air sumur dan telah mengunci rapat satu pun keluhan yang dapat terlontar. Perempuan yang dinantikan oleh para bidadari di surga. Atau bidadara, laki-laki berwajah tampan berkilauan. Kelak aku akan menjadi salah satu perempuan itu.

“Ya sudah. Minggu depan saya akan ambil uang tabungan. Untuk membelikanmu baju-baju baru. Agar kau menjadi perempuan yang indah dan bisa memasuki pintu surga.”

“Terima kasih, Mas. Tanpamu apakah saya ini.”

Laki-laki itu mengulum senyum. Matanya bercahaya bangga. Perlahan ia mengusap-usap kepalaku. “Telah kuberikan kau kesempatan menjalani pekerjaan paling mulia di dunia, kau harus bersyukur.”

Aku memejamkan mata. Meresapi aliran sejuk yang mengaliri hatiku. Mulai hari ini, aku berjanji untuk tidak mengecewakannya lagi. Ya Tuhan, lindungilah niat baikku.

***

Mandi adalah waktu yang teramat dingin dan menggigilkan. Jam empat pagi, aku bisa melihat kulit tubuhku yang mengerut menahan dingin. Dan entah kenapa, aku tak hendak menyudahi dinginnya. Kulihat lagi telapak kakiku yang mengerut dengan garis-garis hitam yang terus bertambah. Mungkin garis-garis hitam yang mirip akar-akar merambat itu adalah celah-celah permulaan di mana surga bisa kulihat. Kelak, bila seorang anak terlahir dari rahimku. Kelak, bila aku tidak melakukan kesalahan konyol lagi.

Anak itu yang akan bersimpuh di hadapanku dan mengintip tempias cahaya surga yang menerobos melalui serat-serat hitam yang makin melebar. Aku merindukan bayi mungil itu yang akan memandangku dengan mata penuh pengharapan. Seperti dia juga amat merindukannya.

Baca juga  Pohon Kelapa di Kebun Bibi

“Kita memang harus menunggu. Menunggu lahirnya cahaya dari surga yang memuliakan hidupmu. Hidup kita. Melanjutkan darah dan daging kita pada generasi selanjutnya. Namun menunggu bukanlah satu-satunya hal yang dapat dilakukan. Kita harus berikhtiar. Kita harus berusaha.”

“Maksud Mas?”

“Kita dapat berusaha, selain hanya menunggu.”

“Maksud, Mas, kita harus berobat? Ke dokter””

“Salah satunya itu.”

“Yang lain apa, Mas?”

“Masih banyak usaha lainnya. Tentu saja yang tidak dilarang agama.”

Ada semburat di wajahnya, yang tak sepenuhnya bisa aku tangkap.

“Ya sudah. Hari sudah siang. Saya harus berangkat. Jaga rumah baik-baik ya. Jaga juga kehormatan keluarga,” pesannya waktu itu. Agak terburu. Sedan tuanya menggerung. Aku lupa kapan tepatnya aku pernah duduk di sebelahnya di mobil itu. Sungguh aku menginginkannya. Seumur-umur mobil yang kunaiki hanya angkot. Tanpa AC dan bau knalpot menyerbu dari segala penjuru.

“Aku memang berjanji untuk mengajakmu jalan-jalan, tapi ingat waktu itu akan tiba pada hari pertama ketika anak kita lahir. Aku akan menjemputmu dari rumah sakit dengan mobil ini. Namun sekarang bukan saatnya untuk bersenang-senang. Kita harus banyak menabung. Bensin mahal kalau dihamburkan untuk jalan-jalan. Jadi mobil ini hanya kugunakan untuk pergi dan pulang kerja. Kau tahu kan bahwa biaya persalinan mahal?”

Aku hanya mengangguk paham. Ia telah merencanakan semuanya. Untuk kami kelak. Aku hanya masih agak konyol. Ingin berjalan-jalan dengan mobil dengannya. Kekasihku. Aku ingin memandangnya dari pipi kiri dan memperhatikan caranya memutar kemudi. Aku memang masih teramat konyol. Aku selalu menepuk-nepuk kepalaku dengan gemas bila mengingat hal itu.

Titik-titik air tergelincir di sekujur tubuhku. Bibirku membiru, namun aku tak hendak menyudahi mandiku. Mungkin karena ini adalah hari terakhir aku mengenakan baju-baju lamaku. Aku ingin mengawasi tubuh telanjangku untuk terakhir kali, memastikannya bersih dari segala kotoran dan luruh pula segala pikiran-pikiran konyolku. Hanah yang lama akan mati. Hari ini akan terlahir Hanah baru.

Baca juga  Pertemuan Ketut Rapti dengan Wari

Suara anjing mungil terdengar dari rumah tetangga. Makin hari suaranya makin lembut dan jinak. Kudengar tuan rumah mencandai anjingnya dengan gemas. Seperti dia yang makin mengasihiku mulai hari ini.

Matanya bercahaya seperti bintang-bintang, tepat ketika aku mengenakan pakaian baru pemberiannya. Kuingat tubuh telanjangku yang mengerut dan membiru. Aku ingat telah menggosok keras-keras semua daki.

“Aku rasa inilah saatlah Hanah, aku mengatakan sesuatu yang penting padamu.”

“Sesuatu yang penting?” kataku ragu.

“Aku rasa sudah waktunya kita berhenti menungggu.”

“Menunggu apa?”

“Menunggu seorang bayi terlahir dari rahimmu,” katanya tenang.

Air yang mengaliri tubuhku seketika mengering.

“Maksud, Mas?”

“Saya telah menemukan seorang perempuan yang dapat membantumu menjadi seorang ibu?”

Air mataku mengering di sudut.

“Perempuan itu akan kunikahi segera. Agar sesegera mungkin, kau menjadi seorang ibu dengan telapak kaki yang menyimpan surga.” Senyumnya lembut.

Cairan-cairan di tubuhku bergerak ke arah yang berlawanan dan saling bertabrakan satu sama lain.

“Kamu tidak keberatan, kan?”

Aku menggeleng sambil membentuk garis senyuman.

Kembang api berloncatan dari matanya. Warnanya serbacerah.

“Boleh saya minta sesuatu darimu?”

“Tentu boleh, Hanah. Mintalah apa saja, karena kau adalah seorang perempuan yang mulia.”

“Saya ingin sekolah. Boleh, kan?” Dia terkesiap.

“Tentu boleh. Perempuan harus pintar.”

Aku menarik napas lega.

“Namun kau harus tahu, kau sekolah tinggi bukan untuk bersaing denganku, apalagi mengungguliku. Kau sekolah tinggi untuk mendidik anak-anak kita kelak menjadi orang-orang dewasa yang berkilauan.”

“Tentu,” jawabku dengan senyum yang merekah. Terngiang pergunjingan dua kawan perempuanku. Membicarakan tentang seorang perempuan menjijikkan yang bersuamikan dua orang laki-laki. Hatiku seperti direndam dalam cairan asam. Segalanya tak penting, ketika ia mengizinkanku bersekolah. Kelahiranku yang sebenarnya baru terjadi setelah aku sekolah. Sebuah permulaan dari hal-hal yang tidak terbayangkan kemudian. ***

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!