Cerpen Putu Oka Sukanta (Media Indonesia, 25 September 2016)
SUATU hari saya menerima e–mail dari seorang kandidat doktor sebuah universitas di ‘Negeri Kanguru’. Setelah membacanya, saya terhenyak ke perut kursi. Saya menjadi sedikit emosi, terasa ada yang berubah, suhu badan naik, dan kepala tidak nyaman. Padahal suratnya, walau agak panjang, intinya sangat sederhana. Kalau bersedia, katanya, tolong ia diperkenalkan dengan keluarga eks-Tapol 1965, terutama generasi kedua atau ketiganya. Ia yang bernama Maria S itu, akan melengkapi data lapangan tentang dampak yang dialami oleh mereka.
Saya menarik napas panjang, pikiran menerawang, hinggap, dan terbang tidak menentu di langit kehidupan. Burung-burung beterbangan, asap knalpot mencucuk hidung dan suara bising bersahut-sahutan entah dari mana datangnya. Saya merasa tertekan. Saya tidak menjawab e-mail-nya. Saya seperti mendengar kembali suara Mbak Inuk yang menuduh saya sebagai makelar, mempromosikan kesakitan, mengobok-obok luka lama menjadi pameran dunia yang tidak mendatangkan apa-apa bagi korban. Keuntungan diraup oleh pihak lain. “Mana buktinya kita diuntungkan?” suaranya serak cempreng seolah tikaman pisau di gendang telinga, sakitnya menjalar ke sekujur tubuh.
***
Seminggu kemudian e-mail-nya datang lagi. Ia sama sekali tidak menyinggung permintaan bantuan yang diuraikan pada e-mail sebelumnya. Sekarang ia menceritakan hasil penelusurannya terhadap diri saya di mbah Google. Ia menyampaikan rasa syukur bisa berkenalan dengan saya, tapi kecewa karena perkenalan baru terjadi sesudah ia berada di luar negeri. Ia menyalahkan dirinya karena sewaktu di negerinya sendiri, kok banyak yang ia tidak ketahui. Ia menyampaikan terima kasih telah diperbolehkan mengontak saya. Menurut saya, ini gombal. Itulah reaksi saya yang tak terucapkan.
Saya merasa menjadi penghuni rumah kaca yang tidak bisa menyembunyikan apa-apa lagi, termasuk bulu ketek. Orang bisa mengetahui tentang diri saya, tentang masa lalu, masa kini, bahkan ide-ide yang belum sempat saya paparkan. Saya merasa kecolongan walau tidak kehilangan. Saya merasa kembali sendirian di ruang interogasi yang sepi dengan lampu remang-remang menunggu si pemeriksa datang. Saya disuruh menunggu entah sampai kapan dan entah menunggu siapa. Hanya suara jam dinding yang terdengar seperti langkah hantu yang tidak jelas keberadaannya. Emosi saya diaduknya. Mungkin karena saya sering kecewa dengan beberapa peneliti, itu masalahnya juga.
Saya merasa mual, ada desakan arus bawah di lambung. Kemudian batuk, keselek, seolah menelan makanan yang belum cukup dikunyah. Saya ingat lagi dengan seorang peneliti yang sesudah mendapatkan data dari para bekas tahanan ini, tidak pernah mengembalikannya lagi dalam bentuk rangkuman, artikel, makalah, maupun buku yang ditulisnya. Si narasumber yang memikul beban sejarahnya sebagai bekas tahanan yang terus diintai penguasa kehilangan kesempatan memeriksa apakah yang ditulis peneliti sesuai dengan apa yang diceritakannya.
Saya jadi teringat dengan gaung suara Bung Karno. Ini semacam ‘expoitation de l’homme par l’homme. Kalau ini dianggap tuduhan, mungkin tuduhan saya berlebihan. Saya kecewa berat dengan tingkah pola peneliti seperti ini, tetapi di pihak lain saya ingin memberikan serpihan kenyataan masa lalu, sebagai pembanding informasi yang faktual dan akurat. Sebagai satu sisi mata uang yang membuat sebuah kesatuan makna dan nilai, juga kesetaraan. Saya merasa mempunyai beban sejarah penting dan luhur, kapan dan di manapun saya berada. Mungkin ini yang disebut GR, menganggap diri penting. Padahal apa pun yang keluar dari mulut saya sampai berbusa-busa belum menjadi pendorong roda perubahan negeri ini.
Saya mematikan komputer. Saya kehabisan daya tahan. Saya lelah dan gelisah, sedikit marah, bukan saja karena permintaan Maria, tetapi karena semalam saya bermimpi berada di penjara lagi, dituduh menyebarkan dan menghidupkan kembali paham komunisme dengan menceritakan masa lalu lewat seorang peneliti dari Ponorogo yang sedang menyelesaikan doktoralnya nun jauh di sana, Maria Sutiyah. Saya akan disiksa dengan ekor pari yang digenggamnya. Padahal, saya hanya menceritakan pengalaman hidup saya yang tersimpan di dalam otak saya sendiri. Endapan laten di gudang kehidupan saya ternyata dianggap sangat berbahaya, bagai menyimpan titik api walau tanpa keluar asap. Telapak kaki dan tangan saya basah berkeringat, napas seperti penderita asma yang memerlukan obat hirup pelega. Selain menjadi tawanan masa lalu, saya juga menjadi pasien klinik 24 jam.
Walaupun dalam kegalauan, akhirnya saya mengiyakan permintaan Maria Sutiyah dari Ponorogo itu karena beberapa pertimbangan menyangkut proses menumbuhkan peradaban bangsa. Peradaban bangsa saya perlu diperbaiki, setidaknya itu pendapat saya. Bangsa saya ini, sangat pandai mengoceh-mengutuk teror berbagai macam kekerasan dalam konflik vertikal dan horisontal yang terjadi di berbagai belahan dunia, tetapi tidak menyadari bahwa bangsa ini juga pernah menjadi pelaku teror yang tidak ada jaminan untuk tidak mengulanginya. Bangsa dan negara saya membungkam dirinya sendiri ketika diajak menyelesaikan persoalan masa lalu. Bangsa saya yang katanya berbudaya luhur, tetapi masih memberi toleransi terhadap pengabaian hak-hak rakyatnya. Negara bersembunyi dan menyembunyikan diri, tidak hadir ketika terjadi penghancuran peradaban.
Selain itu, alasan saya menerima tawarannya, yang terutama sekali karena ia menyetujui definisi saya tentang siapa korban tragedi 1965/66. “Maria apakah Anda setuju kalau yang disebut korban tragedi 65/66 adalah semua orang, yang merasa teragitasi emosi dan pikirannya di saat membicarakan tragedi tersebut?” Lebih dari seminggu saya menunggu jawabannya. Saya gelisah, persis seperti saya menunggu jawaban dari pacar. Mungkin ia bingung. Mungkin ia sedang berkonsultasi dengan profesor pembimbingnya, sebab definisi yang saya ajukan akan berpengaruh terhadap kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya. Kalau ia tidak setuju dengan definisi saya, saya tidak akan membantunya. Mungkin saya akan dituduh sangat egois. Boleh jadi iya. Tetapi itu prinsip saya.
***
Persahabatan saya menjadi semakin kental dengan Maria. Semakin sering ia mengirim e-mail terasa saya semakin mengenal dirinya dan semakin berani saya menyampaikan unek-unek, bahwa para peneliti sedikit sekali ikut mendorong pemerintah Indonesia dan sekutunya untuk melangkah lebih bijak dalam menyelesaikan tragedi tersebut. Jawabannya sangat stereotip, klasik dan sudah bisa ditebak. “Maklumlah Pak, peneliti bukan politisi.” Kalau saja ia sedang di depan saya, saya akan melotot sampai bola mata saya menabrak hidungnya, sambil berteriak, “Oon. Oon.” Apakah ia tidak paham bahwa intelektual itu bisa diibaratkan pisau ukir sedangkan politisi lebih menyerupai gergaji?
Suatu senja saya menerima e-mail singkatnya, “Bapak perlu apa dari sini? Kalau mungkin, saya bawa ketika bertemu Bapak bulan depan.” Saya langsung membalasnya, “Bawakan energi Aborigin dan Camar pantai St. Kilda. Hi hi hi hi.”
***
Pertemuan saya dengan Maria berlangsung di salah satu rumah makan di bilangan Menteng. Ia duduk menghadap saya. Bibirnya merah hati dipulas lipstik agak tebal. Garis mata dan alisnya juga dipertebal. Rambut dibiarkannya lepas berjuntai sampai di bahu. Warnanya hitam mengkilat, tetapi ada terselip warna perak di antaranya. Ia memakai anting-anting, dari kulit kerang, menggelayut di daun telinganya. Murah senyum memamerkan giginya yang tumbuh tidak rapi. Bajunya terbuat dari kain lurik dengan potongan sederhana, bahkan kelihatan hanya sebagai sarung bantal, tanpa lengan, polos. Di bagian dadanya terbelah diikat dengan semacam tali sepatu. Itulah Maria Sutiyah.
Di sebelahnya duduk seorang lelaki, tampak lebih muda dari Maria. Ia memakai baju batik, mungkin termakan promosi bahwa batik identik dengan semangat nasionalisme, padahal baju batik yang dipakainya mungkin saja bikinan Tiongkok. Lelaki itu ketika bersalaman menyebutkan namanya, Amad. Entah itu kependekatan dari Muhamad, atau Samad, atau memang cuma Amad. Saya acuh, saya lebih kepingin tahu apa kapasitasnya dalam pertemuan ini. Dari Maria, sebelum makanan yang dipesan datang, akhirnya saya tahu mereka berpacaran sudah lebih dari lima tahun, tidak direstui oleh orangtua Ahmad karena mereka berbeda agama dan sedang mengusahakan supaya bisa menikah di Australia dengan tetap pada agamanya masing-masing.
Walaupun saya bukan tukang nujum, firasat saya mengatakan bahwa Maria lebih cerdas daripada Ahmad. Dengan kecerdasannya ia minta nomor telepon narasumber yang sudah saya persiapkan. Ia minta izin untuk langsung menelepon Sumiyati, memperkenalkan dirinya dan mengatur jadwal pertemuan. Maria menjauh dari kami, percakapannya tak tertangkap telinga saya. Tetapi sebelum teleponnya dimatikan, ia menyerahkannya kepada saya dan saya mendengar dengan jelas suara Sumiyati, “Om makasih ya. Saya ingin ngobrol berdua saja dengan Maria. Om istirahat ya. Jaga kesehatan. Dahhhhhh.”
Saya senang jadi makelar, mempertemukan Maria dengan Sumiyati, terlebih lagi karena Maria Sutiyah dari Ponorogo itu, menurut pengakuannya, setelah kami melahap makanan di restoran itu, adalah cucu seorang pembunuh saat tragedi 65 berlangsung. (*)
Rawamangun, 2016
Putu Oka Sukanta, sastrawan berusia 77 tahun. Beberapa karyanya (puisi, cerpen, dan novel) sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, dan Prancis. Ia tinggal di Jakarta sebagai penggiat HAM dan praktisi akupunktur.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id
irfan sulistya
tergelitik dengan keambiguan pada frasa di bagian akhir cerpen: “seorang pembunuh saat tragedi 65 berlangsung”. Siapa dan di pihak mana? Dalam sejarah yang utuh, PKI adalah korban, tetapi takdapat disangkal juga bahwa sebagian dari anggota PKI adalah pembunuh.