Cerpen Isbedy Stiawan Z.S. (Jawa Pos, 25 September 2016)
LELAKI itu sudah di gerbang stasiun kereta, saat petang beranjak. Sesekali ia menggerakkan kepalanya. Menengok ke belakang. Tak ada sesiapa. Ia ingin ke kota lain. Ransel yang sejak tadi di punggung, ia pindahkan. Kini dalam jinjingan. Di dalam tas itu; pakaian, sabun, shampoo, sikat, dan pasta gigi. Juga sebungkus gundah.
Hari-hari terakhir ia memang galau. Entah kenapa. Mungkin dia seorang yang tahu, tapi tak paham cara menyelesaikannya. Hidup ini misteri. Seperti salju luruh, kanal kehilangan air. Dan gigil yang tak sudah-sudah pergi. “Bukan soal cinta kalau aku gundah,” gumam dia.
Perempuan hanya bagai lampu jalan. Terkadang ada dalam gemerlap sangat, namun kesempatan lain amat pekat. Tetapi, ia tahu bahwa cinta adalah perkara rumit-rumit gampang.
Iyakah?
Ia lupakan soal cinta, percintaan, bercinta, juga perempuan. Diumpamakan lampu jalan, kini saatnya biarkan padam. Seperti penerang jalan biarpun konsumen PLN setiap bulan ditarik pajak, tetap saja berjutaan lampu jalan tak berguna di malam hari.
“Di jalan layang yang baru diresmikan, lampunya sudah tak berguna. Hampir berkali-kali terjadi kecelakaan di sana disebabkan jalan yang gelap. Bahkan, karena di jalan layang itu tiada rambu-rambu maka pengendara dari bawah atau atas langsung mengambil ruas lain. Bertabrakan akibatnya,” cerita temannya.
Tadi, sepanjang jalan menuju stasiun ia merasakan udara amat dingin. Guguran daun bertumpuk di sepanjang trotoar. Merah. Ia menatap seperti menikmati sebuah lukisan. Begitu estetis namun abstrak. Tetapi kelimunan dingin membuatnya kian mengetatkan jaket dan sal. Juga kaus kaki, kian ditinggikan.
Ia ingin mempercepat langkahnya agar segera sampai di stasiun, ingin merasakan kehangatan di peluk keriuhan penumpang yang datang dan pergi. Meski akhirnya ia sadar, dalam pelukan dingin rasanya sulit menggegas pijakan.
Ketika tiba di gerbang stasiun, bagaikan mendapat hadiah tak ternilai. Ia semringah sejenak. Ia lepas sal, kancing jaket dibuka, dan topi yang selalu nongkrong di kepalanya juga ia turunkan. Sesekali ia biarkan rambutnya memandangi perempuan cantik, gumamnya. Biarlah helai-helai rambutnya seperti jemari jahil menyusuri tubuh perempuan.
Di kota ini, siapa peduli dengan orang lain? Bahkan, jika berada di sisi kita. Orang-orang sesukanya. Berpelukan. Saling mencium ataupun menyentuh bibir. Selagi tidak dalam keadaan mabuk, mencuri, ataupun memukul orang tanpa sebab; pasti polisi meringkus.
Di stasiun ini sudah ramai. Menunggu kereta dari utara menuju barat tiba. Di lintasan enam, penumpang juga sudah berdiri dekat perlintasan. Kereta dari barat akan berangkat ke timur. Diam-diam dia menghitung perlintasan. Ada tujuh lintasan. Seluruhnya aktif.
Ia teringat dengan negerinya. Perkerataapian dikelola kurang bagus. Jadwal kedatangan atau keberangkatan kerap tak tepat. Itu sebabnya penyanyi Iwan Fals pernah mengkritik lewat lantunan lagunya. Selain itu kerap terjadi kecelakaan, yang disebut oleh pihak KAI (kereta api Indonesia) sebagai human error! Entah dari mana istilah itu dicomot, seperti asal bicara. Soalnya, kecelakaan apa pun—pesawat udara, kereta, kapal, kendaraan—selalu menggunakan istilah tersebut.
Padahal, kalau benar perkerataapian di Indonesia merupakan warisan dari kolonial Belanda, kenapa Indonesia tak bisa mengelola dengan baik seperti di negara bekas penjajah itu? Jangankan disanding dengan Holand, dengan Malaysia saja kita kalah.
Ini kenyataan. Ia punya pengalaman saat perjalanan ke Perak Darul Ridzuan beberapa tahun silam. Dari Kuala Lumpur ia menumpang kereta menuju Ipoh. Wah, gumamnya, selain perjalanan nyaman juga jadwal selalu tepat singgah di setiap stasiun. Sehingga prediksi pukul berapa sampai di stasiun tujuan bisa dibilang tak meleset.
“Soalnya ini Indonesia, Bung! Apa yang becus dikelola oleh pemerintah? Hampir tidak ada, kan?” celoteh kawannya dari Indonesia yang sudah menetap hampir 20 tahun di Rotterdam.
“Indonesia kurang bagus merawat fasilitas,” cetus kawan seniman eksil di Den Hag karena diktatornya Soeharto akhirnya tak berani pulang ke tanah air. “Bahkan, mengurus manusianya. Bayangkan, orang-orang kritis dan tak sehaluan dengan rezim yang berkuasa, selalu dimusuhi dan diburu untuk dijebloskan di penjara!” imbuhnya.
Dia menyebut sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dikirim ke Pulau Buru. Juga penyair Sitor Situmorang yang tak memperoleh hak hidup layak di negeri sendiri, lalu ia memilih tinggal di Apeldoorn, Belanda, hingga mengembuskan napasnya yang terakhir.
“Di Belanda ini, Sitor sangat rindu tanah air yang tak memberinya hak hidup. Dia merindukan Toba, tanah kelahirannya. Dan baru setelah ia tiada dibolehkan pulang. Sungguh menyedihkan,” ujar Barbara [*] suatu kesempatan bertemu.
Perempuan berdarah Belanda itu juga bercerita; saat Sitor masih hidup tak banyak orang berkunjung ke rumahnya di Jalan Paslaan untuk melihat suaminya. Saat sakit, kata dia, Afrizal dan istri berkunjung dan menginap beberapa hari.
“Kini, setelah Sitor tiada, banyak orang ziarah. Entah mengapa,” lanjut dia sambil mengisap rokok filter dari Indonesia dalam dingin 4 derajat celcius di teras rumahnya.
***
Ah, ia mendesis. Jam dinding di stasiun dilihatnya. Sudah pukul 7 malam, dan 10 menit lagi kereta datang. Saat itu ia akan ucapkan selamat tinggal Apeldoorn. Kereta menuju barat segera berpacu di rel yang dingin.
Ia memilih kursi dekat pintu. Seseorang duduk di sebelahnya. Ia lirik. Perempuan cantik. Rambut pirang kehitam-hitaman, hidung mancung umumnya orang Eropa. Kulitnya putih tiada bintik-bintik merah, bahkan sangat halus dan bersih. Dia mengibaratkan, jika tubuh perempuan yang kini duduk di sampingnya adalah jalan tol, maka mobil yang dibawanya bagai selancar.
Setiap kali pikirannya nakal, pada saat bersama wajah istrinya berlabuh. Ia tak bisa menampik kehadiran perempuan yang telah menghadiahinya anak-anak. Istri yang tahu statusnya sebagai pendamping dan pendorong suami. Dialah Fitri Angraini. Perempuan yang sejak dinikahinya selalu memberi support agar karirnya sukses.
“Bagaimana bisa aku melupakanmu?” desisnya.
Lalu ia mengambil mesin pintar dari saku jaket. Ia berselancar di media sosial. Ia mengirim tulisan tentang hari ini untuk sebuah media online di tanah air. Laporan remeh-temeh tiap hari yang ditulisnya, menurut pengelola media online itu, disukai lebih dua ribu pembaca.
“Makanya, aku berharap sangat jangan kau hentikan y…,” kata pengelola media itu yang dulu sama-sama berjuang di sebuah surat kabar terbesar di suatu provinsi.
Sudah 10 menit perjalanan kereta. Matanya mulai layu. Perempuan di sebalahnya juga terlihat ingin terlelap. Terpejam matanya. Kepala perempuan itu sedikit berlabuh di pundaknya. Sekejap lagi akan menumpang di bahunya. Aroma shampoo dan parfum mulai menyapu hidungnya.
Kata banyak orang, orang Eropa lebih suka mandi parfum ketimbang berbasuh air. Terutama pada musim dingin dan bersalju. Itu sebabnya, produk pewangi tubuh banyak dibuat di Eropa. Ah, persetan dengan tubuh parfum!
Sebab, ia membatin, di belahan dunia mana pun daya tarik perempuan tetap sama. Apakah di Afrika, China, Jepang, Eropa, maupun Indonesia. Ya! Bergantung selera. Kalau kini ia menyukai penumpang perempuan di sebelah kursinya, kenapa tidak?
Lelaki itu terjaga seketika. Perempuan di sebelahnya memukul pipinya. Lumayan keras, dan terasa sakit.
“Maaf,” kata perempuan itu dengan bahasa Inggris. Tersenyum sejenak. Lalu ia bercerita kalau baru saja bermimpi digerayangi lelaki. Celana panjangnya dipeloroti, lalu dompet dan seluruh barang di tasnya dirampas.
“Dan, aku yang jadi korban…”
“Maaf. Itu karena mimpi…,” katanya kembali memohon maaf.
“Anda memukul saya dalam mimpi, tapi saya merasakannya sebuah kenyataan….,” katanya kemudian. Dalam hati ia ingin dialog berlanjut.
“Mungkin mimpi dan fakta sudah sulit dibedakan, ya?” perempuan itu berujar setelah diam beberapa saat. Ia merenung. “Kadang kita mengira suatu peristiwa hanya ada dalam mimpi, ternyata adalah fakta. Begitu sebaliknya, sebuah fakta kita anggap mimpi…”
“Kalau kita berdua di sini, mimpi atau fakta?” kata lelaki itu.
“Semula kuanggap mimpi. Entah kenapa aku memilih kursi di sebelahmu, saat masih banyak kursi lain yang kosong. Tetapi, aku yakini ini adalah kenyataan. Aku berada di sebelahmu, memukul pipimu, dan kini mengobrol,” kata perempuan dari Italia yang bersekolah di Leiden, itu.
Selepas itu, keduanya asyik mengobrol. Ihwal negeri masing-masing. Diskusi soal kebudayaan, pelanggaran HAM yang kerap digemborkan di Indonesia. Soal cinta, studi, dan seterusnya.
Tak terasa tiga jam perjalanan di kereta menuju barat. Entah berapa waktu lagi stasiun terakhir dituju. Tapi, apa penting sampai? Dia melirik penumpang di sebelahnya yang kini diam. Ia ingin menanyakan nama.
“Ngomong-ngomong kita belum tahu nama,” tiba-tiba perempuan itu bersuara. “Namaku Annelouisa. Tapi cukup panggil saja Anne.”
“Wow! Tepat sekali harapan orang tuamu dengan memberi namamu itu. Dalam bahasa Italia berarti ramah. Ternyata kau memang ramah…,” jawabnya. “Aku Endri Natapraya, tapi sebut saja Endri.”
Anne semringah. Lelaki itu merasa dapat angin. Perjalanan kian nikmat, tujuan tak lagi penting rasanya. Malam menempel di jendela kereta. Di luar pekat. Anne kembali mendekat. Endri membiarkan tubuhnya didekati. Kini bukan lagi dalam mimpi, jika Anne merebahkan kepalanya di bahu Endri. Sementara jemarinya tetap menari di lantai gadget.
Endri mengabadikan suasana itu. Anne tak kalah merekam ke dalam handphone-nya. Ah, seperti sepasang burung baru bertemu di sebuah pohon.
“Kita seperti sudah lama berkenalan, ya,” goda Endri karena sejak tadi kepala Anne merebah di dadanya.
Anne tersenyum, namun ia bergeming. Semakin ia ketatkan kepalanya di tubuh Endri. Aroma parfum menguar ke hidung lelaki itu.
“Ah, seandainya ini bukan dalam perjalanan… tapi,” Endri mendesah.
“Apa?” Anne bertanya heran. Ia mendengar desahan Endri, meski tak jelas.
“Oh, tidak. Sesampai di stasiun nanti, kau melanjutkan ke mana? Atau di kota itu kau menetap?”
“Ya aku menyewa apartemen. Jika kau tak sibuk dan memang untuk berlibur, rumahku terbuka untukmu,” jawab Anne santai.
“Aku akan menetap dua pekan di kota itu. Tetapi, aku harus ke kedutaan besar dulu untuk melapor dan mengurus lain-lain.”
“Oke kalau begitu, aku tunggu ya. Ini kartu namaku. Kalau aku tak ada di rumah, boleh telepon aku,” ucap perempuan Italia itu tetap santai.
Fajar kereta masuk stasiun. Sebelum meninggalkan kereta, Anne mencium pipi Endri tiga kali. “Tradisi orang Belanda jika berciuman tiga kali,” kata Anne kemudian menjelaskan.
Endri mengangguk. Ia pernah mendapat info ini dari kawannya di Rotterdam sebulan lalu. Saat itu ia diajak menyaksikan musik jazz di sebuah kafe. Terjadilah peristiwa seperti ini. Kawannya, ia memanggilnya Ajo, lalu menjelaskan.
Di depan stasiun, Anne kembali mencium. Kali ini seraya memeluk tubuh Endri. Lelaki itu pun membalas. “Aku tunggu ya, jangan tak mampir. Kusiapkan makanan ala Italia,” bisik Anne.
Endri segera mengangguk. Tapi, ia membatin, “Haruskah aku mampir? Akan terjadi apa di apartemen itu? Kematian? Kehangatan?” ***
Lampung, Januari-Maret 2016
[*] Barbara Brouwer (Barbara Purba) adalah istri penyair Sitor Situmorang. Saya sempat berjumpa dengannya saat berkunjung ke rumah mendiang Sitor Situmorang di Apeldoon, Belanda, pada 2015. Dialog Barbara Purba dalam cerpen ini hanya imajinasi saya. Terima kasih Barbara Purba.
ISBEDY STIAWAN Z. S., lahir di Tanjungkarang, Lampung, 5 Juni 1958. Kumpulan cerpennya, antara lain, Perempuan Sunyi, Hanya untuk Satu Nama, Dawai Tak Berdenting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung (10 besar buku prosa terbaik Khatulistiwa Literary Award 2014), dan Tumang.
Leave a Reply