Cerpen Arianto Adipurwanto (Suara Merdeka, 09 Oktober 2016)
Suara ranting patah di bawah telapak kaki telanjang Maq Sukiq mengagetkan jangkrik yang tadinya mengkrik nyaring. Kesunyian yang tiba-tiba, mendorong ia untuk menghentikan langkahnya. Lalu melanjutkan lagi setelah ia rasa semuanya aman terkendali.
Golok panjang di tangan kanannya beberapa kali berdenting tatkala berbenturan dengan semak-semak dan ranting pepohonan. Senter di tangan kirinya semakin lama kian meredup. Beberapa kali ia hampir terperosok ke dalam lubang. Di kejauhan sana, ia mendengar deburan arus sungai Keditan, sungai yang membelah kampung Lelenggo.
Di sebuah pohon besar yang tumbuh sedikit miring, ia berhenti. Ia duduk menjengkeng dengan tetap memegang erat gagang golok di tangan kanannya. Di belakangnya, hanya dibatasi oleh pagar pohon jarak dan pohon bantenan, terdapat kebun Maq Tegep, yang ditumbuhi ratusan pohon kopi. Beberapa hari yang lalu, ia mencari kayu bakar di sekitar kebun ini, dan terkaget-kaget saat sepasang matanya disuguhi pemandangan biji kopi yang begitu ranum. Setelah yakin keadaan aman, ia menyelipkan tubuh ringkihnya di antara pagar. Dengan ibu jari kirinya, ia mematikan lampu senter. Gelap kembali utuh, tebal dan menakutkan.
Setelah terdiam lama, sedikit demi sedikit ia mulai bisa mengenali tempat itu. Pohon pohon kopi di depannya mulai terlihat meski tidak begitu jelas. Senter di tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku. Ia ambil karung di bagian belakang tubuhnya, yang ia selipkan antara karet celana dan punggungnya. Tali yang mengikatnya ia buka, demi kemudahan, bagian atas karung ia gulung ke bawah, hingga yang tersisa hanya sebagian.
Golok ia sandarkan di batang kopi. Dengan sedikit mengangkat tubuhnya, seperti hanya bertopang di telapak kaki depannya, ia menggapai salah satu dahan. Jari tangan kanannya cepat memegang bagian dahan lalu menariknya turun. Tangan kirinya turut membantu. Tidak terlalu susah baginya untuk meraih buntutan-buntutan kopi yang terasa dingin di tangannya itu.
Ketika ia hampir menyelesaikan satu pohon, tidak jauh darinya, terdengar bunyi sesuatu menggerisik. Dahan yang tengah ia pegang dengan kedua tangan langsung di lepaskan, yang kemudian menampar keras dahan yang lain. Cepat ia raih goloknya dan diam dengan posisi siap menebas. Napasnya terhenti. Lama, tapi suara itu tidak terdengar lagi. Ingin sekali ia meraih senter di sakunya, tetapi ia masih menahan diri. Semakin ia memicingkan mata, kegelapan di depannya semakin pekat. Suasana menjadi begitu hening.
Di seberang sungai, di dalam rumah berdinding bambu, istri Maq Sukiq telentang. Kedua matanya menatap langit-langit rumah. Tangan kanannya memegang erat salah satu sisi dipan. Jari-jari tangannya berkeringat. Asap terakhir dari ujung sumbu lampu teplok yang baru saja ia matikan bergoyang-goyang di tengah kegelapan. Di belakang rumah tempatnya terbaring, bunyi keroncong sapi mengangetkannya beberapa kali.
***
Tadi sore, Puq Mayu, pedagang lauk-pauk, datang sambil terbungkuk-bungkuk. Plastik hitam menutupi bagian atas bakul jualannya. Sedang dirinya, telah basah kuyup. Jari-jari tangannya keriput, berwarna putih kekuningan. Telapak tangannya seperti ditempeli selembar kertas. Tidak terlihat sedikitpun ada darah di situ. Wajahnya pun sama. Bibirnya yang sedikit menjorok ke dalam, bergetar hebat. Naq Sukiq cepat mengambilkan kain pengganti, lengkap dengan baju miliknya yang jelas sekali kebesaran di tubuh Puq Mayu.
Jualannya masih banyak. Reraon buatannya masih utuh. Enam ikan panggang juga belum laku satupun. Sambil memeluk dirinya, Puq Mayu menjelaskan, bahwa yang laku dari jualannya hanya dua bungkus krupuk sapi seharga seribu rupiah.
Naq Sukiq tanpa pikir panjang lalu memborong semua dagangan itu. Sepanci reraon yang menunjukkan potongan-potongan urat berwarna kekuningan, ia tumpahkan ke panci miliknya. Setetespun tidak ia biarkan kuah reraon itu tersisa. Ia angkat panci milik Puq Mayu sampai tetesan terakhir yang tidak mampu untuk terjatuh, menggantung tak berdaya di tepian panci. Dengan telunjuk kanannya, ia sentuh tetesan yang diam itu lalu cepat mengisap telunjuknya. Rasa pedas segera menguasai tubuhnya. Enam ikan panggang yang diikat jadi dua, dibelinya juga. Terakhir, ia meraih dua biji terong ungu, yang tergeletak tanpa bungkusan di salah satu ujung bakul. Puq Mayu hampir saja menangis melihat barang jualannya terkuras habis. Ini untuk pertama kali selama ia berdagang.
Di saat Naq Sukiq melihat bagian ikan yang pecah dan memperlihatkan dagingnya yang putih bersih, dari arah jebak Maq Sukiq datang basah kuyup. Rambutnya tertidur membuat kepalanya terlihat kecil dan bulat. Tangan kanannya yang bergetar kedinginan menggenggam tali kekang dua ekor sapi yang berjalan terantuk-antuk di depannya.
“Jualan Puq Mayu ndak ada yang beli,” sambut Naq Sukiq tanpa menunggu suaminya duduk terlebih dahulu.
“Jualan ke mana saja tadi, Puq?” tanya Maq Sukiq sambil melepas robekan kain yang terikat di pinggangnya.
Dengan semangat Puq Mayu menjawab, “Saya sudah keliling ke mana-mana, tapi mereka katanya sudah beli lauk.”
Rasa kasihan menyelinap pelan-pelan ke dalam hati Maq Sukiq. “Beli kek sedikit Nanluh, dari tadi kan kamu tunggu dagang,” katanya ke istrinya, yang menjawab dengan cepat. “Sudah saya beli semua. Kasian Puq Mayu kalau bawa pulang lagi. Besok kita ndak perlu susah-susah lagi,” katanya.
Maq Sukiq ingin berbicara tapi suaranya tertahan di ujung lidahnya. Kedua matanya melihat tumpukan belanjaan istrinya. Sebenarnya yang ingin ia tanyakan adalah dari mana dapat uang untuk membayar belanjaan yang banyak itu. Tetapi seolah mengetahui apa yang ia pikirkan, istrinya berkata, “Nanti kita cari uang untuk bayar, Puq Mayu kasih kita ngutang dulu sampai besok.”
Berkat keluarga Maq Sukiq, Puq Mayu dengan sangat ringan berjalan pulang ke rumahnya. Jalan yang tadi ia lewati dengan susah payah sekarang tidak lagi memberikan rintanga apa-apa.
Di rumah, Maq Sukiq mencaci-maki istrinya yang sedang sibuk menghangati reraon belanjaannya di depan tungku.
“Mana kita pakai bayar sekarang?” katanya sambil duduk di tepian berugaq. Kedua kakinya terjuntai dan terayun-ayun.
“Ini untuk kita makan besok juga, besok ndak usah kita beli lauk.”
“Makanya pakai apa kita bayar?” tanya Maq Sukiq sekali lagi.
“Pasti ada besok, tenang,” jawab Naq Sukiq ringan.
“Ya, kamu yang cari sendiri.” Maq Sukiq ketus.
“Kalau ndak mau cari, besok saya yang pergi nyari. Susah sekali,” jawab Naq Sukiq dengan lebih ketus.
Malamnya, bagaimanapun, Maq Sukiq tidak akan membiarkan istrinya mencari uang sendiri. Ia tahu istrinya tidak akan bisa mendapatkan uang sepeserpun. Sungai sedang besar-besarnya, menyeberang ke rumah warga yang lain saja tidak akan mungkin dilakukan oleh perempuan penakut seperti istrinya.
Ketika ia menawarkan solusi untuk mencuri kopi milik Maq Tegep yang belum dipetik sebijipun, Naq Sukiq dengan antusias mendukung keinginan suaminya. “Kita bisa untuk beli keperluan yang lain juga,” bujuk istrinya. Maka setelah mengasah goloknya sampai setajam mungkin, ia melangkah dengan dada bergemuruh. Ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati, semoga saja Maq Tegep tidak ada di kebunnya. Jika ternyata ia ada di kebun, maka tamatlah riwayatnya.
***
Karung yang tadi kosong kini telah penuh. Bagian ujungnya ia ikat dengan kulit kayu muda sekuat mungkin. Malam telah larut, tidak ada suara binatang malam seperti tadi. Hanya terdengar suara angin membelai dedaunan basah di sekitarnya.
Dengan karung di atas bahu kanannya, ia berjalan sempoyongan mencari jalan keluar. merasa telah aman, ia keluarkan senter dari sakunya. Karena tidak sabar beberapa kali ia hampir terjatuh. Sumpah serapah mendesis dari mulutnya.
Nyala senter ia gerakkan ke sana-ke mari, namun yang ia saksikan hanya hamparan pohon kopi. Ia picingkan mata, berharap di kejauhan sana terdapat pagar yang ia lewati tadi, tetapi tidak terlihat apapun selain kegelapan yang seperti kain hitam tebal.
Dengan kesal ia berbalik, dan menuruni kebun itu. Satu pikiran tiba-tiba terlintas di kepalanya: deburan sungai itu. Ya, ia merasa sangat bodoh karena tidak menyadari petunjuk itu sejak tadi. Setelah mengetahui itu, maka dengan bersemangat ia membawa sekarung hasil curiannya. Dan kekhawatiran akan tidak berhasil keluar hingga besok pagi benar-benar lenyap ketika ia menemukan dirinya berdiri dalam keadaan basah kuyup di halaman rumahnya.
Anjing menggonggong sebentar, lalu terdiam setelah mengetahui siapa yang datang. Naq Sukiq cepat keluar. Sepasang matanya langsung tertuju pada sekarung biji kopi yang dibawa oleh suaminya.
“Nah kan, dapat,” katanya bahagia.
Maq Sukiq mengangguk. (92)
Catatan:
Keroncong : Genta kayu yang digantung di leher ternak.
Reraon : Lauk berupa daging yang dimasak dengan santan.
Jebak : Gerbang
Berugaq : Balai-balai
Nanluh : Panggilan kepada istri atau perempuan yang telah berkeluarga.
Arianto Adipurwanto, lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 Nopember 1993. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Batam Pos, Rakyat Sultra, Padang Ekspres, Haluan, Suara NTB. Kini aktif di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Leave a Reply