Cerpen Hikmat Gumelar (Koran Tempo, 08-09 Oktober 2016)
PEREMPUAN itu selalu sendirian. Mungkin dia sedang menghayati sebuah baris puisi Chairil Anwar, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.” Atau mungkin dia menghayati yang lain.
Kami seperti menemukan sebutir mutiara di tengah lumpur.
Bersama Binsar, sesuai rencana, pukul delapan tepat kami jalan ke pelelangan ikan; kami tak ingin kehabisan yang ingin benar kami lahap—bawal putih. Meski hanya sembilan menit jalan kaki dari penginapan, pelelangan ikan pagi Jumat itu ramai sudah.
Langsunglah kami pisah mencari celah. Berusaha menembus orang-orang, kebanyakan para nelayan dan ibu-ibu bakul pembeli dan penjual ikan, yang rapat berbaris dan berlapis-lapis. Bau tak keruan dari tubuh para nelayan dan parfum ibu-ibu bakul tak kupedulikan. Bau amis ikan malah sengaja kuhidu agar tambah membara hasrat melahap bawal putih bakar sambal kecap.
Aku berhasil dapat tempat di barisan terdepan. Mata langsung menyapu jajaran tumpukan berbagai jenis ikan di lantai semen yang basah. Di ujung paling kiri, tumpukan ikan pari. Di sebelahnya, tumpukan anak-anak hiu. Sebelas udang karang di sebelah kanan tumpukan anak-anak hiu. Di ujung paling kanan, tumpukan belut laut. Di sebelahnya, tumpukan ikan kerapu. Kakap merah ditumpuk di sebelah kanan tumpukan kerapu. Di antara tumpukan kakap merah dan sebelas udang karang, di depanku persis, tumpukan bawal putih.
Karena bawal putih ada puluhan dan pada Jumat pagi itu turis di pelelangan ikan kulihat hanya kami, aku agak lama berdiri. Mata pindah dari satu tumpukan ikan ke lain tumpukan ikan. Juga ke pakaian dan wajah para nelayan dan ibu-ibu bakul yang entah kenapa membayangkan lumuran lumpur. Kudengar obrolan mereka dalam bahasa campuran Sunda dan Jawa Cilacap, seputar angin, jenis-jenis ikan, dan harga-harganya. Setelahnya, barulah aku jongkok. Mata memandangi satu demi satu bawal putih yang hampir semua sebesar piring makan. Lalu tangan kiri mengambil seekor. Matanya bulat bersahabat. Mulutnya serupa mulut kekasih yang dahaga meminta ciuman.
“Gun!”
Aku terkejut.
“Gun!”
Aku celingukan.
“Gun!”
Ah, ternyata si Binsar. Ia juga sama, dapat tempat di barisan depan, di barisan seberang. Tapi ia jongkok persis di depanku. Dari situlah ia mengedipkan mata kanan.
“Apa?”
Kembali ia mengedipkan mata kanan.
“Apa sih?”
“Ah! Kau bego!” cetusnya sambil jempol tangan kanannya diarahkan ke arah kanan.
Astaga! Binsar benar. Aku bego. Persis di sebelahnya, jongkok seorang perempuan yang beda. Rambutnya disanggul begitu saja. Tanpa lipstik, bibirnya merah muda dan separuh terbuka. Hidungnya persis hidung Andrea, vokalis The Corrs. Dan matanya, ya, dua matanya adalah bulan purnama kembar yang mengarah ke puluhan bawal putih. Pakaiannya pun lain. Dia mengenakan kaus oblong biru benhur dengan gambar rangka ikan warna putih di dadanya; di bawahnya, warna putih juga, tulisan tangan miring: Sungguh! Hanya ikan mati yang ikut arus kali!
“Benar juga. Hanya ikan mati yang ikut arus kali,” gumamku sambil melihat celana pendek putihnya dan sandal gunung yang sewarna oblongnya. “Ini mutiara di tengah lumpur.”
“Apa, Cep?” tanya seorang ibu bakul di sebelahku, dengan memanggilku. (“Cep” adalah panggilan untuk anak laki-laki di Tanah Sunda.)
Aku terkejut. Dan cepat berkilah, “Ah, tidak, Bu. Itu ada teman lihat mutiara di tengah lumpur.”
“Oh, mutiara! Cepet atuh, Cep. Nanti diambil orang.”
“Iya, Bu. Ini juga mau ke sana,” timpalku sambil berbalik menjauhi ibu bakul yang membuatku terkejut dan diam-diam malu.
ITULAH kali pertama aku melihat si mutiara di tengah lumpur. Dan ombak langsung berdebur. Langsung menerjang-nerjang dadaku, membangkitkan satu puisi Sapardi Djoko Damono yang pertama kukenal dari musik Ari dan Reda.
Malam itu, pukul 22.40, aku terbangun. Sehabis berenang, membangun istana pasir, dan main bola plastik di pantai senja, tubuhku jadi seperti habis jalan kaki puluhan kilometer menggendong ikan pari sebesar nyiru. Begitu habis mandi, aku lompat ke tempat tidur. Binsar, yang tengah duduk di pintu kamar, mengajak lagi ngobrol soal si mutiara di tengah lumpur. Si pecandu detail ini memulai dengan detail deskripsi posisi dia dan posisinya hingga bahu keduanya sempat bersentuhan. “Wuih, Gun! Tubuhnya meluapkan harum lavender membenamkan bau amis pelelangan ikan. Dan….”
Tak tahu lagi apakah kata-kata Binsar, aku segera terlelap sudah hingga kemudian terbangun karena lapar. Binsar entah ke mana. Paling-paling seperti sepanjang malam kemarin, di ujung perahu tak terpakai lagi, mabuk dipukau timbul tenggelam lampu-lampu perahu nelayan di kejauhan sambil, katanya, terus dihantui keindahan The Old Man and The Sea. Perutku lebih kuat membetotku ke rumah makan Cilacap.
Hanya sekitar dua ratus meter dari penginapan, rumah makan beratap ijuk, berdinding separuh terbuka dan separuhnya dinding anyaman bambu dipelitur, serta disangga tiang-tiang pohon kelapa ini menghadap ke laut dan ada dua bagian. Bagian luar, yang ujungnya berbatasan dengan jalan pemisah dengan batas pantai, biasa dipenuhi turis asing. Bagian dalam biasa diisi turis domestik. Aku memilih bagian dalam bukan karena merasa sebagai turis domestik, tapi lebih karena malam itu angin kencang sekali dan oblongku tipis. Dan aku tak menunggu dihampiri pelayan, tapi langsung menuju tempat pemesanan.
Meja yang kupilih meja dekat satu dari empat tiang batang kelapa. Hanya beberapa menit dari aku pesan, nasi goreng seafood dan air jeruk nipis hangat datang. Ini memang salah satu kelebihan rumah makan Cilacap. Pelayanannya cepat. Namun aku tak langsung melahapnya. Waktu mau memasukkan suapan pertama, denyut jantung mendadak sontak berhenti. Mata menabrak perempuan yang (kata Binsar) tubuhnya meluapkan harum lavender membenamkan bau amis pelelangan ikan. Dia dua meja dari tempatku. Dan posisi duduk kami seperti posisi kami di pelelangan ikan. Berhadapan. Tapi kini rambutnya yang berwarna kopi digerai hingga ujung-ujungnya menutup separuh punggungnya. Poninya nyaris menutupi lengkung alis yang menaungi sepasang purnama kembar. Yang menutup badannya bukan oblong, tapi sweater warna aspal. Tak bergambar. Hanya ada satu baris kata-kata warna putih: No Man Exists Alone.
“Benar juga,” gumamku seraya memegang sendok antara piring dan mulut. “Memang ‘no man exists alone’. Tapi tadi pagi sendiri. Malam ini sendiri. Ah, tidak. Malam ini kau tidak sendiri. Kita berdua ….”
Ketika itulah bangkit ingatan akan lagu dari puisi Sapardi berjudul “Di Restoran” yang dibawakan Ari dan Reda. Kita berdua saja, duduk…/ kau entah memesan apa. Aku memesan rasa sakit/yang tak putus dan nyaring lengkingnya,/memesan rasa lapar yang asing itu.
Aku melahap nasi goreng seafood sambil mendengarkan Di Restoran dalam benak, dan memandangi perempuan ber-sweater dengan tulisan “No Man Exists Alone” itu. Aku merasa leluasa memandanginya karena dia tampak hanyut terbawa oleh novel Snow yang dibacanya. Kadang keningnya berkerut. Kadang ujung dua lengkung alisnya mau bertaut. Kadang bibirnya yang merah muda itu merekah senyum. Kadang pelupuknya mendadak terbelalak. Kadang mengembuskan desah. Jadi ,pasti dia tersedot oleh karya Orhan Pamuk itu.
Tapi tiba-tiba wajahnya terangkat. Matanya langsung lurus menembus dua mataku. Sontak aku terkejut sampai mulut menyemburkan nasi goreng yang baru akan dikunyah. Bahkan tanganku pun gemetar hingga sendok terlepas dan jatuh ke lantai keramik. Sontak pula aku berpaling, cepat berdiri, dan membungkuk mengambil sendok dan lalu berpindah kursi. Aku jadi memunggunginya. Tangan kiri meraih gelas. Ketegangan coba kuredam dengan hangat jeruk nipis. Tapi saat bibir gelas baru menempel di bibir, pundakku ditepuk. Aku sungguh terkejut. Gelas lepas dan pecahannya berserak di lantai.
Kuduga yang menepuk bahuku adalah perempuan itu, tapi ternyata si Binsar sialan.
Itulah kali kedua aku me lihatnya.
TENTANG ujung dari dua peristiwa itu, si Binsar sialan menyimpulkan bahwa perempuan itu sumber mala bagiku. Kalau aku merangsek mendekatinya, mala yang lebih parah akan menyergap.
“Takhayul!”
“Bukan takhayul. Ini semiotika, Bro.”
“Ya. Ilmu tanda. Tanda bahwa kau akan menyalip di teluk. Menusuk dalam sarung.”
“Buat apa?”
“Buat apa? Siapa juga yang berulang-ulang bilang bahwa tubuhnya meluapkan harum lavender membenamkan bau amis pelelangan ikan?”
“Itu fakta, Bro.”
“Fakta! Fakta itu konstruksi. Tergantung sudut pandang. Dan sudut pandang ….” Kalimatku terputus, dan yang memutuskannya di Sabtu menjelang matahari terbenam itu adalah seorang perempuan yang membungkuk sendirian di pantai. Siapa lagi kalau bukan perempuan yang disebut si Binsar sebagai si sumber mala? Dan si Binsar sialan itu berusaha memalingkan darinya dengan berusaha menyeretku dalam debat kusir ihwal fakta dan fiksi. Kawan satu ini memang pecatur piawai. Tapi aku sudah hapal caranya bermain.
“Begini saja, Bin. Kalo aku mendekatinya, kau langsung kabari perempuan impianku. Dia akan langsung meluncur untuk menggantung jempol kakiku.”
“Benar, nih?”
“Tidak ada dusta di antara kita, kawan.”
“Kagak nyesel nanti?”
“Perempuan impianku segalanya, Bro. Hilang dia, ini dunia jadi gerowong.”
“Hiperbola.”
“Bukan. Kau tahu sendiri kan waktu dia ujung timur nusa Jawa ini. Entah siapa cowok sialan yang menemaninya. Berhari-hari aku kelejotan kayak udang di kuali atas kompor menyala.”
“Bego kau. Coba kau mau waktu kuajak mabuk. Lupa. Beres.”
“Lupa, bukan beres! Apalagi lupa karena drugs. Hina banget jika si perempuan impian terlupakan di bawah sihir drugs. Lagi pula, aku sudah janji sama diriku. Tak akan lagi lari ke botol minuman, ke asap ganja, apalagi ke jarum suntik. Kiamat sudah hidup begitu. Dan ngeri juga, Bro. Ngerilah kalo lagi mabuk ke tahuan Oma Irama. Langsung dia nembak, miras santika!”
Binsar meledak tertawa. Tawanya panjang hingga matanya berair. “Kau berbakat juga jadi badut.”
“Oh, iya. Dan badut itu enak dan perlu. Coba kau ingat. Badutlah penyelamat King Lear. Badut pun mampu menggerus pemeluk teguh.”
“Tapi bagaimana dengan si sumber mala itu?”
“O-ow! Aku hampir lupa.” Aku pun langsung berpaling.
Perempuan itu memakai setelan putih. Dia kini jongkok. Tangannya memunguti entah. Mungkin cangkang lokan. Ganjil. Makin ganjil. Di pantai barat senjakala, turis, baik asing maupun domestik, pada berlomba memburu matahari terbenam. Mereka bergerombol di sebelah selatan, terutama dekat menara pandang. Eh, ini dia malah membungkuk dan jalan jongkok di sini, sebelah utara. Tapi di sini pun pantai senja demikian menyihir pandang. Pasir lembut malih warna. Bukan lagi abu-abu tua, tapi jadi hamparan emas. Dan laut pasang membuat hamparan emas jadi gemerlapan. Terlebih di bagiannya yang tergenang seperti tempat perempuan itu jongkok.
“Jadi kita ke sana?”
“Ke sana? Jangan dong. Terbang dia. Cukup di situ. Di perahu itu.”
“Perahu mana?”
“Ah, kau. Perahu itu. Perahu tempatmu dihantui The Old Man and The Sea.”
“Oh, itu. Tapi mana cukup?”
“Memang mau ngapain? Apa kau sudah kehilangan imajinasi?”
“Sialan! Kali aja kau mau menghidu harum tubuh lavender.”
“Ah, udah deh. Lavender dan lavender lagi. Ayo!”
Binsar nyengir. Kami menuju perahu tak terpakai lagi. Dari situ ke perempuan itu sekitar 30 meter. Binsar melangkah sambil terus mengarahkan kamera telepon genggam. “Ah. Bra dan celana dalamnya sewarna kulitnya. Mentega,” gumam Binsar seraya pandangnya terus mengarah sumber mala.
“Aw! Aw! Itu ombak! Ombak!”
Dan memang gelombang ombak pasang. Byuuur! Byuuur! Byuuur! Tetapi perempuan itu bergeming meski lebih dari sekali ombak menerjangnya. Seluruh tubuhnya basah kuyup. Termasuk rambutnya yang digelung begitu saja. Namun gelombang ombak itu mungkin menyapu cangkang lokan yang dicarinya. Mungkin karena itu dia berdiri menghadap ke laut lepas.
“Wow! Wow!” teriak Binsar. “Dia ngangkat dua tangannya. Rambutnya digerai. Patung kekasih, Bro. Patung kekasih!”
“Abstrak itu!”
“Peduli amat! Lihat itu lekukan tubuhnya. Dan kemilau. Dan sialan si matahari. Lidahnya jilati seluruh tubuhnya yang bersinau-sinau. Nah….”
Perempuan itu berbalik. Dia berjalan memunggungi laut. Belok kiri. Menjelang pas melintas depan perahu tak terpakai lagi, langkahnya tampak lebih lambat dan kepalanya menunduk. Ngapain? Ah. Ternyata dia memandangi bayangannya sendiri.
“Betul kan? Dia sumber mala? Lihat! Narcissus!”
Binsar tak kutimpali. Mataku terus menguntitnya. Purnama kembar itu penuh mengarah pada bayangan tubuh yang bergerak lambat seperti slow motion. Dia seperti tengah mengeja bayangnya. Dia seperti ingin senantiasa bersamanya. Dia seperti cemas kehilangannya.
“Apa seperti itu tubuh-tubuh di Hutan Plastik Sardono dulu?”
“Bedalah, Bin. Ini tubuh puisi lirik.”
“Tuh kan bener. Kau ngiler. Kukontak nih si perempuan impian.”
“Kontak aja. Aku hanya mengatakan kebenaran.”
“Haiyaah! Hari gini ada kebenaran. Di pantai dan di depan patung kekasih lagi. Ayo.”
“Apaan?”
“Kita ikuti.”
“Ngapain? Kebelet, ya?”
“Kebelet ke toilet, Bro. Patung kekasih masa dibiarkan raib.”
“Raib apa gaib?”
“Sama ajalah.”
“Beda dong. Gaib itu Nyi Roro Kidul.”
“Eh, kau jangan omong sembarang. Di sini….”
“Nah. Ternyata kau percaya takhayul.”
“Bukan begitu. Ini kan, hmmm… tuh, jadi raib.”
“Apaan?”
Binsar tak menjawab. Dia bergegas mengejar perempuan itu. Matanya tertuju penuh pada yang dikejarnya hingga dia menabrak kayu penyangga tenda tempat penyewaan ban. Tenda biru rubuh. Binsar jatuh menimpa tumpukan ban. Ban-ban untuk berenang menggelinding.
Inilah kali ketiga aku melihat perempuan yang selalu sendirian itu.
Malamnya, sehabis mandi, pukul 19.10, Binsar keluar kamar. Dia tidak bilang mau ke mana. “Jalan dulu.” Hanya itu yang dikatakannya. Tapi beda dengan dua malam sebelumnya. Kini dia memakai pakaian terbaik yang dibawanya. Dia pakai Levi’s hitam yang baru tiga bulan silam dibelinya, kaus dalam dan sweater Adidas hijau muda kebanggaannya. Dan membuat tubuhnya meruapkan aroma Christian Dior.
Aku tak terlalu memikirkannya. Lebih baik mengepak barang-barang agar besok pagi sudah siap menuju pangkalan bus yang akan membawa ke Bandung. Juga tentu lebih baik aku mencari oleh-oleh. Setelahnya, mengecek lagi pekerjaan untuk Senin. Kalau semua sudah betul-betul tak ada lagi masalah, keluar lagi sebentar untuk minum teh manis hangat di warung pinggir pantai dekat pelelangan ikan. Mengajak bapak pemiliknya berbincang. Kembali dari situ, bersikat gigi dan segera tidur.
Tapi, sekitar pukul dua dinihari, pintu kamar digedor-gedor. Begitu pintu kubuka, Binsar masuk bukan dengan aroma Christian Dior, melainkan bau alkohol. Dan wajahnya kusut.
“Tak ada lagi kesempatan.”
Aku kembali ke tempat tidur yang bersebelahan dengan kamar mandi.
“Musnah sudah! Tak ada lagi kesempatan.”
“Kesempatan apa?”
“Tanya-tanya lagi!”
“Lo. Aku kan bener enggak tau.”
“Aku sudah cari ke mana-mana. Kayak pemain tong setan. Nol hasilnya!”
“Memang cari siapa?”
“Cari siapa lagi? Patung kekasih!”
“Astaga.”
“Dia kan layak dicari. Layak diburu. Dan kau kan sudah ada perempuan impian!”
“Memang. Tapi kan masih ada besok.”
“Besok kan pagi-pagi kita cabut.”
“Iya. Tapi siapa tahu. Namanya nasib kan….”
“Nasib. Nasib telah jadi bubur. Aku sudah menyiapkan segalanya. Suka Orhan Pamuk ya, Mbak? Itu novelis besar. Dan Snow adalah salah satu novelnya yang wajib dibaca. Tentang fanatisme yang dikuliti di Kars. Cinta lama juga bersemi kembali di kota yang dikepung salju itu. Agama dan tradisi pun….”
DAN “pun” itulah kata terakhir yang kudengar. Aku tidak tahu apa saja kata-katanya setelah itu. Aku juga tidak tahu apa saja yang dilakukannya. Tidurku lelap. Dan aku bangun duluan. Dia baru bangun setelah tujuh kali kubangunkan. Dan, dengan alasan nanti tertinggal bus, kami pergi dari penginapan tanpa dia lebih dulu mandi. Binsar hanya bersikat gigi. Di becak, dia bukan hanya tidak bicara apa pun. Dia kembali tidur. Waktu naik bus, tentu dia terjaga. Tapi ketika bus baru melewati perbatasan Pangandaran, matanya sudah kembali pejam.
Karena itu, meski kami duduk di empat baris kursi belakang sopir, dia tidak melihat televisi dalam bus menayangkan breaking news sebuah stasiun televisi swasta yang terasa langsung menendang dada.
Breaking news itu mewartakan horor Minggu pagi depan Gedung Sate.
Tiap Minggu pagi, Lapangan Gasibu dan jalan depan Kantor Gubernur Jawa Barat itu memang selalu penuh orang dari berbagai kalangan. Di sana, kebanyakan mereka berolahraga ringan seperti lari mengitari lapangan, atau bersenam dengan diiringi musik, atau bermain futsal.
Minggu pagi saat kami pulang dari Pangandaran itu juga bukan kecuali. Hanya, saat itu jalan depan Gedung Sate di jadikan tempat khusus. Di sana, Gubernur Jawa Barat, istri dan anak-anaknya serta para pegawai pemerintah provinsi berolahraga. Mereka bersenam dengan diiringi musik Sunda yang dibuat khusus untuk senam yang diharapkan bisa mengalahkan popularitas senam Poco-Poco itu. Namun, saat senam belum sampai sepuluh menit, peluru berhamburan dari arah Gedung Sate. Korban berjatuhan. Tujuh terluka. Tiga langsung tewas di sana.
“Polisi berhasil menewaskan penembaknya,” kata penyiar breaking news berlipstik tebal itu. “Namun identitas penembak belum diketahui. Baru diketahui bahwa ia seorang perempuan. Dia menggendong ransel. Tapi ranselnya hanya berisi beberapa pakaian basah berlumur pasir pantai dan sebuah novel berjudul Snow. Pada kaus tangan panjang hitam yang dipakainya ada tulisan putih. Walau sebagian bersimbah darah, tulisan itu bisa dibaca, yakni No Man Exists Alone….”
“Tidak salah lagi,” gumamku spontan. “Tapi kenapa? Ah, belum tentu juga. Itu kan baru berita? Kini mudah bertukar berita dan cerita. Apalagi….”
Binsar batuk. Dia menggeliat. Kelopak matanya bergerak-gerak mau melek. Cepat kusandarkan kepala ke kaca jendela bus. Aku pura-pura tidur. Berbagai pertanyaan seputar horor itu terus menggedor-gedor. (*)
Hikmat Gumelar tinggal di Jatinangor, Sumedang.
Leave a Reply