Cerpen Alpha Hambally (Koran Tempo, 15-16 Oktober 2016)
MOBIL jip butut dengan asap knalpot yang pekat itu akhirnya menemukan tempat parkir, meski sedikit jauh dari pintu masuk Taman Kota, tempat warga kota Pekanbaru biasa menghirup udara apabila langit sedang sehat. Tapi seorang lelaki di dalam mobil itu belum juga turun. Dia memicingkan mata ketika cahaya matahari sore menerpa wajahnya.
Si lelaki terlihat gugup di balik kemudi. Berkali-kali dia bercermin di kaca spion, merapikan rambutnya yang tidak kusut sama sekali. Masih berat hatinya untuk turun dari mobil. Dia mengambil sapu tangan dan membersihkan wajahnya yang tidak kotor sama sekali.
Sekali lagi dia melihat ke kaca spion, mengencangkan kerah kemejanya, berusaha menutupi kegugupan pada wajahnya, yang pada dasarnya memang terlihat seperti itu.
Si lelaki turun dari mobil dengan pandangan ragu ke arah pintu masuk taman. Jantungnya berdegup kencang ketika dia mulai berjalan, ketika lamat-lamat dia mulai mendengar suara keramaian dari arah taman.
Si lelaki berjalan sepanjang trotoar yang dipenuhi lapak kaki lima. Gerobak sate Padang, bakso, gorengan, es tebu, dan es kelapa muda yang tidak berhenti melayani orang-orang sedari siang. Tapi keramaian itu, serta aroma sate Padang yang sedang dikipas dan kuah bakso yang sedang dituang ke dalam mangkuk, tidak mengalihkan pandangannya dari suasana taman yang banyak berubah sejak dia kecil sampai hari ini. Dia hafal betul, pohon yang dulunya masih bibit, sekarang sudah sangat tinggi. Sebab, sekali dalam setahun dia selalu berkunjung ke taman ini.
Taman kota selalu dipenuhi beberapa pasang anak muda dan orang lanjut usia yang melintasi jalur berbatu; mereka percaya bahwa berjalan di atas jalur berbatu itu dapat melancarkan peredaran darah. Juga ada pohon-pohon berbatang besar dan rindang, dan beberapa baris bangku yang menghadap sebuah danau kecil yang sampai sekarang orang-orang di sana tidak tahu airnya berasal dari mana.
Di bagian lain taman, ada beberapa anak perempuan sedang bermain lompat tali. Seorang anak perempuan yang mendapat giliran melompat, tidak peduli ketika roknya tersingkap, dan tidak peduli pula ketika ada anak laki-laki yang sedang bermain gundu sambil memperhatikannya, terutama mungkin pahanya, tanpa berkedip. Tapi anak perempuan itu malah memperhatikan anak lelaki lain yang bersandar sendirian di ba wah rindang pohon.
Anak kecil selalu bahagia, pikir si lelaki sambil berjalan. Dia teringat masa ke cilnya yang selalu bermain di sana setiap sore. Dia sangat benci bermain dengan para anak laki-laki, karena mereka seringkali berbuat curang dan kasar kepadanya. Tapi hal itu justru tidak membuatnya bermain bersama anak perempuan. Dia lebih memilih menyendiri di bawah rindang pohon, membaca novel Lima Sekawan atau majalah Bobo, sambil sesekali, ketika membalik halaman-halaman buku, dia melirik anak perempuan bermain setatak dan lompat tali itu.
Si lelaki merasa dirinya yang kecil masih berada di sana ketika itu. Tapi ketika dia sampai di pintu taman, tubuhnya gemetar. Dia kembali menimbang niat untuk masuk ke sana.
Sementara itu di sebelah pohon Platan, pohon hias yang memiliki daun lebar dan kulit luar yang tipis, yang tertanam di sebuah pot batu, Ratih duduk sendirian di sebuah bangku panjang, menghadap ke kolam yang di tepinya ada seekor burung gereja sedang mematuk biji kenari. Tapi pikirannya berpaling ke arah anak-anak lelaki yang sedang bermain gundu. Ratih teringat sesuatu, ketika melihat seorang anak menangis karena gundunya terlempar jauh, mungkin pecah, setelah dipancer temannya.
Suara tangis itu membawa Ratih ke sebuah waktu beberapa puluh tahun yang lalu ketika dia bermain setatak di taman ini setiap sore. Gerakan Ratih kecil sangat lincah. Kakinya sangat lentur ketika melompati kotak demi kotak. Lompatannya menjadi lebih tinggi, ketika melalui kotak yang sedang ada ucak-nya, sehingga roknya tersingkap terlalu tinggi. Ratih kecil juga sengaja tidak mengepang rambut hitam berkilaunya yang lurus sampai ke bahu, karena dia tahu sedang dilirik oleh seorang lelaki kecil yang bersandar di bawah pohon. Ratih kecil juga tahu, ketika dia berhenti melompat, dan rambutnya yang berderai sudah jatuh kembali ke bahu, si lelaki kecil pasti akan kembali membaca buku. Ratih kecil tahu, bersembunyi wajah yang gugup dan pemalu di balik buku itu.
Sejenak angin musim panas sore ini berhembus di belakang leher Ratih, menyadarkannya dari lamunan yang panjang. Pandangannya tertuju ke salah satu pohon tempat si lelaki kecil yang dulu pernah meliriknya. Si lelaki kecil tidak akan berada lagi di sana, karena dirinya yang telah dewasa, yang gugup, yang tadi menimbang niat untuk masuk ke taman, telah duduk di sebelah Ratih.
“Hei.” Ratih sedikit kaget, senyumnya bertanya-tanya, suaranya yang gembira dikeluarkannya semua, “Brewokan ya sekarang?”
Mereka saling bertukar senyum, setelah si lelaki mengatakan bahwa memelihara brewok lagi musim. Katanya, mungkin karena obat penumbuh rambut Wak Doyok benar-benar terbukti khasiatnya. Si lelaki mendekat ke Ratih dan menggenggam tangannya.
Si lelaki mengikuti pandangan mata Ratih ke langit biru kota Pekanbaru. Sebuah gumpalan awan bermekaran di langit bagian barat, berbentuk kelopak bunga yang keluar dari tangkainya. Mirip seperti gumpalan awan suatu sore puluhan tahun yang lalu, ketika Ratih kecil memberanikan diri menegur si lelaki kecil, dan mengajaknya si lelaki kecil pulang bersama-sama.
Mereka berdua adalah sepasang anak kecil yang sangat bahagia. Mereka menyeberang Jalan Diponegoro yang dipenuhi mobil-mobil keluaran terbaru, menuju Jalan Ronggowarsito yang mulai dijamuri kafe-kafe bergaya borju. Sebelum di pertigaan mereka berpisah, menuju rumah masing-masing.
Keesokannya si lelaki kecil kembali datang ke taman, berharap mengulangi kejadian kemarin. Tapi Ratih kecil tidak muncul di antara teman-temannya. Keesokannya pun begitu, lusa, seminggu kemudian, hingga akhirnya si lelaki kecil memberanikan diri bertanya kepada salah satu teman Ratih kecil.
Si lelaki kecil tidak percaya apa yang telah didengarnya.
Meski begitu, si lelaki kecil tetap datang ke taman, bersandar sendirian di bawah pohon, berharap Ratih muncul kembali.
Satu tahun kemudian, tepat pada tanggal ketika mereka berpisah, si lelaki kecil menemukan Ratih kecil duduk sendirian menghadap ke kolam. Ratih kecil juga melihatnya. Ratih kecil tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Si lelaki mendekat dan memeluknya.
SEMENJAK itu si lelaki hanya datang setiap satu tahun sekali, pada tanggal ketika mereka berpisah itu.
Seperti hari ini, Ratih dan si lelaki yang telah dewasa kembali berpelukan. Seperti yang terjadi setiap satu tahun sekali.
Orang-orang di taman berhenti berkegiatan. Bahkan sebutir gundu yang sedang ditembakkan seorang anak, berhenti di udara. Anak perempuan yang roknya sedang tersingkap, menunda kakinya menyentuh tanah. Orang-orang lanjut usia, para remaja yang berpacaran, pedagang kaki lima, dan orang-orang yang sebelumnya tidak jelas sedang apa di sana, melihat kepada si lelaki yang mereka kira adalah orang gila. Hanya seekor cicak yang berumah di balik dahan pohon yang tahu bahwa ada Ratih di pelukan si lelaki.
“Tahun ini kau jangan menangis lagi, Ratih.” Setelah mengatakan itu, si lelaki mendaratkan bibirnya ke bibir Ratih. Mereka menghabiskan sore itu dengan ciuman yang panjang.
Hari sudah terlalu sore. Satu per satu warga mulai meninggalkan taman. Ratih dan si lelaki pun merasa sudah waktunya pulang. Mereka bergandengan menuju pintu taman, dan berpisah di sana. Si lelaki menuju mobil jipnya. Hatinya sedikit lega meski dia tahu, dari kaca spion, Ratih sudah menghilang.
Di sebuah tempat, di kedalaman rimba, Ratih menangis. Air matanya mengalir deras dari pipi ke leher, membasahi kalung mutiara putihnya. Air matanya terus mengalir menuju celah di payudaranya. Terus mengalir melalui perut, singgah di paha sampai ke telapak kaki. Lalu akhirnya membuat genangan di tanah.
Tidak lama kemudian, seberkas cahaya matahari datang dengan arah sinar yang tidak beraturan. Beberapa sinarnya menuju genangan air mata itu. Si genangan terpaksa memantulkan sinar-sinar itu ke banyak arah. Salah satunya terpantul ke tumpukan daun kering. Daun kering itu kemudian mulai terbakar. Sedikit demi sedikit membagi apinya ke daun-daun yang lain, hingga seluruh daun yang kering ikut terbakar. Percik api dari dedaunan kering itu ditiup angin sehingga beterbangan ke mana-mana.
Salah satu percik api singgah di lahan gambut. Mendarat di sehelai rumput kering yang kemudian mulai terbakar. Apinya menjalar ke rerumputan di sekitarnya. Api mulai membesar dan meluas, membakar apa yang ada di sekitarnya. Dari sana, bangkitlah asap pertama, membuat bayangan kelabu di atas kobaran api. Lalu asap itu bersatu bersama angin, membawanya ke tempat-tempat yang lain.
Seorang mandor perusahaan melihat ada asap kehitaman mengepul di udara. Si mandor kemudian melaporkan kejadian itu kepada bosnya. Tapi bosnya malah tertawa. Si bos menganggap itu kesempatan, dan memerintahkan si mandor untuk membuat apinya bertambah besar. Karena si mandor takut kehilangan pekerjaan, maka dia melakukannya.
Maka keesokannya si api bertambah besar. Asap bertambah pekat. Semua arah angin setuju bersatu dengan asap untuk mengirimnya ke banyak tempat. Menuju kampung-kampung terdekat, sampai kota-kota terjauh. Pekanbaru, Siak, Rengat, Pangkalan Kerinci, dan seluruhnya diselimuti asap yang tebal kehitaman. Televisi, radio, koran, dan media sosial mewartakan kejadian yang sama. Bahwa beratus-ratus hektar hutan sedang dilahap api, bahwa ada ribuan titik api yang terdeteksi oleh satelit. Mereka kemudian memberinya nama kabut asap, serta menjadikannya bencana nasional.
Pemerintah pusat dan daerah saling menyalahkan karena tidak ada yang merasa bersalah. Kedua pemerintah itu menyalahkan perusahaan-perusahaan yang membuka lahan tanpa izin dengan membakar hutan. Sedangkan perusahaan-perusahaan tidak mengakuinya, sehingga penduduk di pelosok kampung-kampung disalahkan karena diduga membakar hutan untuk membuka lahan. Karena tidak mau disalahkan, penduduk kampung kembali menyalahkan pemerintah pusat dan daerah, yang belum juga menemukan jalan keluar. Demo marak.
Sementara itu Ratih masih terus menangis sehingga lebih banyak genangan lain yang memantulkan sinar dari cahaya matahari. Sehingga semakin banyak titik api yang terdeteksi oleh satelit.
Relawan-relawan mulai datang membantu membuat selokan dan sumur bor di tengah hutan. Jutaan ton garam mulai ditaburkan dari atas helikopter dan pesawat terbang. Semua dukun dari berbagai penjuru dikumpulkan untuk memanggil hujan. Tapi kabut asap malah bertambah pekat, dan angin musim panas membawanya sampai ke negeri-negeri tetangga.
Sampai satu bulan lebih kabut asap melapisi langit. Tangis Ratih mulai sedikit mereda, tapi alat ukur polusi udara di kota Pekanbaru tetap menunjukkan status berbahaya.
Di balik jendela kamarnya, si lelaki berdoa. Badannya gemetar melihat langit subuh yang merah. Bau asap yang tidak enak menerobos masuk ke rumahnya.
“Sampai jumpa sebelum kabut tahun depan, Ratih, aku mencintaimu,” katanya lirih, sambil meremas kalung tasbih. Sepasang matanya berkaca-kaca memandangi sebuah kliping koran tertanggal dua puluhan tahun lalu yang masih ditempel di dinding kamarnya.
KEPALA BIRO DINAS KEHUTANAN BERSAMA ISTRI DAN SEORANG ANAKNYA DITEMUKAN TERBUNUH DI HUTAN. (*)
Catatan
Setatak, permainan khas anak-anak di Riau dan mungkin juga daerah sekitarnya, di masa sebelum telepon genggam berkuasa.
Ucak, pecahan genteng, ubin, dan sejenisnya, yang dilemparkan ke salah satu kotak permainan setatak.
Alpha Hambally lahir di Medan, 26 Desember 1990. Lulusan Fisika ITS Surabaya. Sekarang bekerja di Jakarta.
Leave a Reply