Cerpen Kedung Darma Romansha (Jawa Pos, 23 Oktober 2016)
TUBUH Karim mendadak diserang panas. Keringat membasahi seluruh tubuh dan tempat tidurnya. Napasnya berat, matanya memancarkan ketakutan yang dahsyat seolah-olah ia akan masuk neraka. Memang benar, ia akan masuk neraka. Kenapa bisa ia akan masuk neraka? Padahal seluruh hidupnya dihabiskan untuk beribadah. Sejak keluar sekolah dasar ia sudah nyantri di Tebuireng, Jombang, kemudian menginjak SMA ia lanjut mesantren ke Krapyak, Jogja. Semasa kuliah pun ia habiskan hidupnya di pesantren dengan mengabdi menjadi guru mengaji. Lengkap. Seluruh napasnya seakan-akan untuk Yang Memberinya Hidup. Tapi kenapa ia akan masuk neraka? Sementara Warjem, seorang PSK di kampungnya bisa masuk surga.
Sudah empat kali ini ia bermimpi masuk neraka. Mimpi itu seperti nyata. Ia masih ingat betul dengan sosok tubuh tinggi besar dengan wajah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya memanggilnya di depan pintu neraka. Dan, ketika pintu itu terbuka, lantas ia terbangun oleh hawa api neraka yang menyambar seluruh tubuhnya, di dalam mimpinya. Ia merasakan seolah-olah tubuhnya mencair, lumer seperti margarin. Tulang-tulangnya linu seperti ingin terlepas, dan tubuhnya gemetar. Ia terengah-engah lalu meludah ke arah kiri sebanyak tiga kali sambil mengucapkan istighfar.
Ini kali pertama ia dicengkeram ketakutan yang amat. Ia belum pernah merasakan rasa takut selaknat ini. Mula-mula ia menduga kalau mimpi ini datangnya dari setan, sebab ia meyakini bahwa setiap mimpi buruk itu datangnya dari setan. Tapi ketika ia bermimpi berturut-turut sampai empat kali, ia mulai berpikir bahwa ini semacam ta’bir mimpi. Ia ingat cerita Nabi Yusuf dalam surat Yusuf: 6, bagaimana Tuhan menegurnya lewat mimpi. Artinya mimpi bisa jadi nyata. Ia pun mulai ketakutan, kenapa ia bisa mimpi seburuk itu. Kenapa ia masuk neraka, sementara seorang PSK bisa masuk surga.
Ia ingat cerita seorang PSK yang masuk surga hanya gara-gara memberi minum anjing yang kehausan, dan PSK tersebut merelakan dirinya menahan haus yang amat. Tapi apakah Tuhan memberi pelajaran dengan cerita yang sama? Maka ia mencari apa sebab perempuan itu bisa masuk surga di dalam mimpinya.
Ia bisa melihat wajah perempuan itu dengan jelas meskipun ia belum pernah bertemu dengannya sama sekali. Mulanya ia tidak meyakini wajah perempuan itu seperti dalam mimpinya, tapi rasa ingin tahunya besar. Maka ia cari nama Warjem di seluruh sosial media, tapi tak ada. Ia ingin menanyakannya pada Mang Kaslan, tapi ia malu. Maka malam itu ia iseng membuka dinding FB Mang Kaslan. Dengan teliti ia baca satu per satu. Betapa terkejutnya ketika ia melihat wajah perempuan yang sama di dalam mimpinya. Tapi anehnya namanya Si Cantik Nadira. Kemudian karena semakin penasaran ia membuka percakapan Mang Kaslan dengan perempuan tersebut. Dan betapa terperangah ia ketika membaca celotehan Mang Kaslan: wahhh Warjem udah ganti nama jadi Si Cantik Nadira niyeee… jangan lupa sawerannya buat masjid.
Sejak saat itu ia mulai berpikir bahwa mimpinya itu akan benar-benar terjadi. Setiap malam ia susah tidur. Ia takut mimpi itu akan kembali datang dalam tidurnya. Ia takut meninggal ketika tidur, dan mimpinya berubah menjadi nyata. Ia ingin bercerita, tapi siapa yang sanggup menjawab rahasia mimpinya. Sebab di kampungnya hanya dialah yang paling masyhur ilmu agamanya. Malah bisa jadi ia ditertawakan oleh ustad-ustad yang lain. Maka ia simpan sendiri gundah itu. Sempat terpikir ia akan menelepon kiainya di Krapyak. Tapi ia mengurungkannya, sebab secara adab itu kuranglah baik. Maka ia putuskan sowan ke Krapyak esok paginya. Ia akan naik kereta Fajar Utama dari Stasiun Jatibarang.
Mang Kaslan
Sejak hadirnya Ustad Karim di Masjid Baiturrahim, acara keagamaan di kampung kami benar-benar hidup. Dulu, Masjid Baiturrahim sepi. Hanya pada acara-acara peringatan hari besar keagamaan saja masjid itu nampak hidup. Selebihnya mati. Memang benar ada ustad-ustad lain di kampung kami, tapi semua disibukkan dengan agenda masing-masing. Seperti rencana membangun madrasah sendiri dengan mengirimkan proposal pengajuan dana ke pemda setempat. Bahkan ada yang ingin mendirikan pesantren. Padahal jujur saja, kalau dibanding dengan Ustad Karim keilmuan agama mereka sangat jauh. Saya tidak bermaksud menghina, tapi mestinya tahu diri dengan kemampuan yang dimiliki. Paling tidak memberdayakan apa yang ada, tidak bermimpi muluk-muluk.
Saya benar-benar tidak menduga Ustad Karim bersedia menjadi kemit masjid alias marbot. Ia yang mengurusi semua persoalan Masjid Baiturrahim. Mulai mencuci karpet, mengepel, mengelap kaca, sampai membersihkan kamar mandi. Ia juga yang menggagas madrasah di Masjid Baiturrahim. Sehingga setiap hari masjid ini tampak hidup. Semarak dan bergairah.
Saya tahu Ustad Karim seorang sarjana muda. Tapi saya tak habis pikir kenapa ia memilih jadi takmir masjid. Padahal untuk menjadi takmir masjid tidak perlu sarjana. Tapi itulah pilihannya, tak terduga. Saya tahu, ia menjadi guru honorer di salah satu sekolah negeri di kampung kami. Jika lepas subuh, ia akan mengepel lantai masjid, membersihkan kamar mandi, dan menyirami tanaman di halaman masjid. Baru setelah itu ia mandi dan berangkat mengajar. Pulang mengajar pukul setengah satu, kemudian dilanjutkan mengajar madrasah pukul dua siang sampai pukul setengah lima sore. Lepas mengajar ia menggelar karpet untuk persiapan salat magrib berjamaah sampai selesai isak. Barulah setelahnya ia bisa bersantai dan mengobrol bersama kami, seorang tua yang menghabiskan sisa usia dengan salat berjamaah di masjid.
Tapi ada suatu hal yang membuat kami seperti terkena bogem tinju, yaitu ketika kami menghitung uang sumbangan masjid yang biasa dikerjakan usai Jumatan. Tidak biasanya Ustad Karim menanyakan nama-nama pemberi sedekah yang rutin setiap bulan. Beberapa nama yang ditanyakan kami jawab sesuai apa yang kami tahu. Hingga kemudian pada nama Warjem, seorang PSK yang bekerja di luar kota. Mendadak Ustad Karim terdiam. Seolah ia terheran-heran mendengar penjelasan kami.
“Sudah berapa lama Warjem menyumbang?”
“Sebelas tahun,” jawab saya dengan ringan.
“Ustad Muslih, Ustad Mukhlis, Ustad Jakfar, tidak ada yang tahu kalau Warjem adalah seorang PSK?”
Kami menggeleng. Maksudnya kami tidak tahu apakah mereka tahu kalau Warjem seorang PSK.
“Mereka tidak pernah menanyakan hal itu,” kata saya kemudian.
Ustad Karim terdiam. Kami pun diam.
“Kumpulkan semua uang yang disumbangkan Warjem dan kirimkan balik ke pemiliknya!” ujarnya dengan tegas.
Kami diam.
“Haram! Masjid ini tidak akan berkah! Kumpulkan uang itu, minggu depan saya sendiri yang akan mengirimkannya,” lanjutnya kemudian. Lantas ia masuk ke dalam masjid meninggalkan kami di serambi. Kami masih terdiam. Sampai kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Sejak saat itulah saya melihat Ustad Karim suka termenung sendiri. Tidak seperti dulu, suka berbincang-bincang dengan kami. Ia terlihat murung. Seperti menyimpan sesuatu yang entah apa. Saya menduga karena sumbangan uang dari Warjem yang tak sepatutnya kami terima. Sumbangan itu secara turun-temurun belum pernah ada yang menolaknya. Maka kami pun meneruskan apa yang menjadi pendahulu kami. Tapi, kini, sedekah Warjem harus dihentikan. Seketika. Dan dalam seminggu ini semua uang Warjem selama sebelas tahun harus terkumpul. Sebelas tahun, ya, sebelas tahun. Barangkali beberapa uang itu sudah menjadi pagar masjid dan kamar mandi yang tiga tahun lalu direhab. Atau barangkali bangku-bangku mengaji madrasah itu di antaranya adalah uang Warjem. Atau karpet masjid yang baru dibeli tiga bulan lalu. Kini Warjem menjadi persoalan kami. Persoalan Ustad Karim, yang membuatnya beberapa hari ini murung dan suka menyendiri.
Kami tidak tahu apakah ini salah takmir masjid atau siapa. Tapi, seakan-akan kami adalah penyebab kemurungan Ustad Karim. Ustad Karim yang dikenal periang dan energik, sekarang jadi pemurung dan loyo. Kami tidak tahu harus berbuat apa supaya Ustad Karim bisa kembali seperti semula. Yang jelas, sekarang kami tengah mengupayakan untuk mengumpulkan uang Warjem dalam minggu ini. Uang haram itu.
Ustad Karim
Saya duduk lesehan setelah seorang pembantu mempersilahkan masuk. Cat dinding rumah Kiai Rifqi sudah tidak seperti yang dulu berwarna kuning, kini berwarna putih melati. Lebih terlihat luas dan seakan-akan saya seperti tidak di rumahnya saja. Barangkali karena memang saya sudah lama tidak sowan ke Krapyak, terutama ke Kiai Rifqi. Kadang saya merasa dia seperti ayah saya sendiri. Pernah dulu saya tidak punya uang sama sekali. Untuk naik angkutan ke kampus saja tidak ada. Waktu itu saya duduk-duduk sendiri di depan kamar asrama. Tiba-tiba Kiai Rifqi berhenti dan memanggil saya.
“Melu aku…,” katanya dengan suaranya yang khas.
Saya beranjak dari duduk, mengambil peci dan menghampiri Kiai Rifqi. Kemudian kami pergi. Saya tidak tahu kami akan pergi ke mana. Saya tidak mau menanyakannya pada Kiai Rifqi. Saya segan. Tapi tak lama kemudian kendaraan kami berhenti.
“Di kamarmu ada bungkus rokok bekas?”
“Ada,” jawab saya.
“Nah, sekarang kumpulin semua bungkus rokok yang ada di asramamu.”
“Nggih, Kiai.”
Dan, saya pun bergegas mengambil bungkus rokok yang ada di kamar-kamar asrama sambil berpikir sebenarnya buat apa bungkus rokok itu. Saya masuki kamar-kamar asrama satu per satu dan mengambil semua bungkus rokok. Beberapa kawan asrama membantu mengangkut bungkus-bungkus rokok itu, dan dapatlah dua kardus sedang. Kemudian kami kembali berkeliling ke kompleks pesantren untuk kembali mencari bungkus rokok, sampai-sampai motor kami tak cukup untuk menampung bungkus-bungkus rokok itu. Akhirnya kami menaruhnya terlebih dahulu ke rumah Kiai Rifqi, lalu kembali keliling asrama untuk mencari bungkus rokok lagi.
Tidak sampai dua jam akhirnya kami menyelesaikannya. Saya capek. Haus dan lapar. Kiai Rifqi malah tertawa. Ia menyuruh saya duduk. Tak lama berselang seorang pembantu mengambilkan minuman dan makanan. “Makan dulu, Rim,” ujar Kiai Rifqi dari dalam rumah.
Setelah saya selesai makan, Kiai Rifqi kembali keluar dengan membawa dua bungkus rokok kretek. “Ngudud sik (Merokok dulu),” katanya sambil kemudian menyalakan rokok. Saya hanya tersenyum. Diam. Meskipun saya menahan rasa asam di mulut saya. “Loh, kenapa malah diam? Ini satu bungkus buat kamu, Rim.”
Dengan canggung saya mengambil rokok itu dan menyulutnya sebatang.
“Setelah lulus jadi sarjana, kamu pulang ke kampung halamanmu. Pesantren yang sebenarnya itu ada di luar sana. Bukan di sini, Rim,” ujarnya, seolah-olah ia seperti menasihati anaknya sendiri. “Ini buatmu, hasil kerjamu tadi,” lanjutnya sambil menyodorkan amplop putih. Tak lama kemudian azan duhur berkumandang, saya pamit. Saya tahu Kiai Rifqi akan bersiap-siap salat berjamaah di masjid.
Sesampai di kamar, ketika hendak membuka amplop putih itu, Bahri, teman saya, menepuk bahu saya. Kemudian ia menyodorkan uang dua ratus ribu. “Lunas ya, Rim.” Saya mengambil uang itu dan amplop yang diberikan Kiai Rifqi tak jadi saya buka. Hingga sekarang amplop itu masih saya simpan. Dan belakangan saya ketahui kalau bungkus-bungkus rokok itu dijual oleh Kiai Rifqi dan uangnya digunakan untuk kegiatan salawatan di pesantren. Kebiasaan unik Kiai Rifqi itu dilakukannya sampai sekarang.
Saya masih menunggu Kiai Rifqi. Apakah beliau masih sama seperti dulu. Suaranya yang khas itu. Senyumnya yang bersinar dan tangannya yang lembut. Kebiasaannya memanggil santri-santrinya lewat speaker hanya untuk mengumpulkan bungkus rokok yang hasil penjualannya digunakan untuk acara panggung salawatan.
“Saya kan sudah bilang, pesantren sebenarnya itu di masyarakat, Rim. Malah kamu balik lagi ke sini.”
“Saya mau matur, Kiai.”
“Matur opo?”
Saya ragu mau menceritakan mimpi saya. Saya takut. Saya tidak tahu perasaan apa ini. Jadi beberapa saat saya hanya mematung.
“Rim, kamu kan tahu apa itu asbabul wurud, to? Kalau belum tahu asbabul wurud, jangan bilang tahu. Itu rekayasa pikiranmu, su’udzon namanya. Bisa jadi fitnah. Ingat, sekarang kamu berada di pesantren yang sebenarnya. Sekarang kamu pulang!”
“Tapi, Kiai…’’
Belum selesai bicara saya terbangun dari tidur. Saya tercenung sejenak. Mimpi itu seolah-olah nyata. Kiai Rifqi seolah tahu apa yang sedang saya hadapi. Asbabul wurud, fitnah, su’udzon. Tiga hal itu yang saya ingat dari mimpi tadi. Barangkali ini memang tanda saya harus sowan kepadanya. Dan pagi ini saya memang berencana akan berangkat dari Stasiun Jatibarang. Makin mantap hati saya. Saya pikir selepas salat subuh nanti saya mesti meneleponnya terlebih dahulu agar tidak terkesan mendadak. Barulah setelah Kiai Rifqi merestui, saya langsung berangkat.
Barangkali saya akan menginap tiga hari di Krapyak, sekaligus mengobati kerinduan saya dengan pesantren. Meskipun memang saya baru delapan bulan meninggalkan Krapyak tapi rindu itu seolah memanggil-manggil dari peluit kereta masinis. Ah, iya, saya lupa menelepon Kiai Rifqi untuk mengabari bahwa saya akan sowan kepadanya. Tapi tak lama setelah saya berniat menelepon, HP saya berdering. Saya lihat Kiai Rifqi menelepon saya. Dengan rasa takjub dan keanehan yang merubungi kepala saya, saya angkat telepon itu.
“Assalamualaikum…”
Masih sama suaranya, khas. Saya masih bisa membayangkan senyumnya itu.
“Ustad Karim, bagaimana kabarnya?”
Ah, sekarang dia memanggil saya ustad. Saya merasa terharu. Pertama kalinya beliau memanggil saya ustad.
“Alhamdulillah, baik. Nyuwun sewu, Kiai, saya hari ini berencana sowan ke Panjenengan, saya akan berangkat naik kereta pagi ini.”
“Hehehe… tidak perlu, Karim. Buat apa menemui saya?”
Lama tidak ada suara dari dalam telepon itu. Kami diam. Akhirnya saya menceritakan apa yang saya alami. Meskipun awalnya saya ragu.
“Karim, coba kamu pikir, menurutmu iman seperti apa yang dimiliki perempuan itu? Padahal dia tahu uang yang dia sedekahkan itu tidak diterima oleh Allah. Tapi dia terus menerus mengulangi sedekah yang jelas-jelas tidak diterima oleh Allah. Pulanglah sekarang! Saya yakin kamu juga belum membuka amplop yang dulu saya kasih, kan? Pulanglah, Nak. Assalamualaikum…”
Saya terpaku sejenak. Iman seperti apa yang dimiliki perempuan itu? Warjem. Saya beristighfar berkali-kali. Kemudian saya pulang. Langsung masuk kamar. Saya cari amplop yang dulu pernah diberikan Kiai Rifqi. Saya pandangi amplop itu. Pelan-pelan saya buka, saya lihat isinya: hanya selembar kertas. Saya tarik kertas itu, lalu saya buka. Entah kenapa saya tiba-tiba menangis, tubuh saya bergetar, tak henti air mata saya mengalir. Tulisan di kertas itu adalah salawat yang setiap hari saya dengar. Tapi entah kenapa kali ini saya bergetar membacanya. Saya terus-menerus menangis di dalam kamar, seorang diri. ***
Jogja, 2016
Dari Penulis: Cerpen ini saya dedikasikan untuk almarhum Gus Kelik, Pondok Pesantren Krapyak, Jogjakarta.
Jasmine
Dahsyat!