Cerpen Ryan Rachman (Suara Merdeka, 23 Oktober 2016)
Memang, saat ini bapak sudah tidak terlalu ngaya untuk membuat nisan dalam jumlah banyak. Bapak sudah tidak sekuat dulu. Terlebih lagi bapak baru setengah tahun lalu sembuh dari stroke. Lumpuh separuh itu menyerang bapak tepat setahun yang lalu.
Bapak memang punya riwayat darah tinggi dan emosi yang labil. Sering bapak membentak-bentak karyawannya jika melakukan kesalahan. Tak jarang ibu, aku dan adikku juga menjadi sasaran kemarahannya.
Suatu siang, bapak tengah duduk santai bersama para karyawannya. Seperti yang lainnya, bapak menenggak kopi dari gelas kaca. Habis setengah gelas, entah mengapa ia merasa pusing dan kakinya lemas. Nah, saat berdiri, tiba-tiba ia terjatuh dan tubuh bagian kirinya mulai dari kepala hingga kaki tidak bisa digerakkan. Bapak dilarikan ke rumah sakit. Bapak kena stroke, kata dokter waktu itu.
Bukan bapak namanya jika tenggelam dalam keterpurukan. Semangat untuk sembuh sangat luar biasa. Bermacam ikhtiar bapak lakukan untuk sembuh. Obat dokter dan ramuan tradisional disantapnya. Seperti bayi, bapak belajar merangkak dan berjalan berpegangan apa saja. Bahkan, bapak belajar berjalan dengan cara mendorong becak. Itu kenyataannya, tidak dibuat-buat, bapak melakukan itu.
“Bapak istirahat, jangan dipaksakan,” ucapku acap kali. Namun dia malah marah.
“Kalau bapak tidak sembuh, nanti sekolahmu, sekolah adik-adikmu bagaimana?” Aku hanya terpaku mendengar jawaban itu.
Ibu juga sangat tegar menghadapi musibah ini. Selama bapak sakit, hampir semua urusan rumah, ibu yang menangani. Pekerjaan bapak, ibu juga menangani meski harus dibantu para karyawan kepercayaan bapak. Ibu seorang guru SD di desa kami.
Semangat itulah yang menyembuhkan bapak. Setengah tahun, bapak sudah bisa berjalan tanpa harus berpegangan atau dibantu tongkat kruk. Meskipun masih tertatih-tatih. Bahkan, bapak sudah mulai belajar mengendarai motor dan mengemudikan mobil bak terbuka. Bapak pun kembali ke workshop, memegang cetok atau skrap, membuat adonan semen, mengecor, membuat nisan.
***
Kali pertama bapak membuat nisan, saat aku masih duduk di bangku TK. Sebelumnya, bapak berwiraswasta membuat pilar dan pot cor saat ia masih kuliah di Yogyakarta. Karena prospek pilar dan pot cor itu dinilai menurun, bapak yang tak rampung kuliahnya, lalu pulang kampung di Kebumen banting stir membuat nisan. Alasannya sederhana, nisan selalu ada yang beli, sebab semua orang pasti mati. Orang di Jawa akan membangun nisan untuk keluarganya yang sudah mati, tepat seribu hari. Sejak saat itu hingga kini, ribuan nisan dibuat dan dibangun di kuburan-kuburan, baik di desa kami maupun di kuburan desa tetangga dan kecamatan tetangga. Orang-orang yang ingin bekerja pada bapak, bapak didik untuk bisa membuat nisan. Banyak dari mereka yang sudah mahir, keluar dan membuat usaha serupa sendiri. Bagi bapak, itu tidak masalah, rezeki sudah ada yang mengatur.
Meskipun tidak besar, namun usaha bapak ada peningkatan.
Terlebih lagi ketika orang-orang dari luar kota datang dan meminta menjadi reseler nisan buatan bapak. Paling tidak ada 15 reseler yang tersebar di daerah lain di Kabupaten Kebumen, Banyumas, Cilacap dan Purbalingga. Selama kuliah, aku sering menjadi dept collector untuk menagih kekurangan bayaran nisan-nisan yang sudah dikirim ke mereka. Atau kalau tidak, aku diminta bapak untuk ngebon ke mereka, biasanya seminggu sebelum barang itu dikirim. Uangnya lalu dikirim ke rekening bapak, aku mengambil seratus atau dua ratus ribu untuk biaya hidup saat kuliah selama seminggu lebih. Aku juga sering meminta sangu ke mereka jika uangku habis. Setelah dapat, aku lalu memberi kabar ke bapak.
“Pak, membangun nisan di kuburan kan tidak boleh menurut agama?” tanyaku suatu kali.
“Kalau tidak boleh, kenapa kuburannya Nabi Muhammad dibangun dengan megah?” ia berbalik tanya. Lagi-lagi aku dibuat tak berkutik dan hanya nyengir saja.
Bapak begitu perfeksionis dengan garapannya. Jika ia merasa kurang baik dari buatan karyawannya, maka bapak akan berucap dengan nada tinggi. Mungkin banyak karyawannya yang panas telinga jika bapak memarahinya. Namun, bapak bukan tipe orang jarkoni alias bisa ujar ora bisa nglakoni. Bapak akan turun tangan memperbaiki garapan karyawannya yang kurang baik dan menjadikannya lebih sempurna. Dan karyawannya hanya manggut-manggut dengan cengir kuda menyadari kesalahannya.
***
Akhirnya esok aku akan wisuda. Sebentar lagi aku menjadi seorang sarjana sesuai keinginan ibu dan bapak. Setelah empat belas semester lamanya ublek di kampus menjadi mahasiswa sekaligus aktivis. Walau tak cum laude, namun yang penting aku akan lulus. Setelah itu aku akan terjun ke dunia seni teater dan sastra, dua hal yang aku pelajari selama menjadi mahasiswa.
Sore tiba, ponselku berdering. Panggilan masuk. Ada nama ibu di situ. Aku mengangkatnya.
“Mas, bapak di rumah sakit, kena serangan jantung. Besok tidak bisa datang di wisudamu,” kata ibu dengan nada suara panik, sedih dan bingung di seberang sana.
Aku hanya terdiam. Kakiku seakan menembus bumi seperti akar pohon ketapang di halaman kampus. Malam itu pula aku pulang. Aku putuskan tidak ikut wisuda besok. Aku harus berada di samping bapak. Apapun yang terjadi.
Sampai di rumah sakit, ada ibu, kedua adikku dan omku yang mengantar bapak ke rumah sakit. Aku memeluk mereka, air mata kami meleleh perlahan. Ibu nampak mencoba untuk tegar, tapi air matanya tetap keluar.
Sedangkan bapak di ICU. Aku melihatnya dari jendela. Beberapa buah selang bergelantungan. Selang infus berujung jarum menancap di lengan kiri. Di kedua lubang hidungnya, terpasang selang yang bermuara ke tabung oksigen. Di dadanya tertempel dua plester putih bundar. Dari situ keluar kabel yang berujung pada alat digital penunjuk detak jantung. Tlit, tlit, tlit, tlit, suara itu keluar dari alat itu bersamaan garis naik turun yang berjalan. Mata bapak terpejam. Aku tak tahu, apakah bapak pingsan atau hanya tertidur. Nafasnya berhembus pelan dan berat.
“Bapak tadi sore emosi karena nisan pesanan orang Cilacap, ambrol saat mau dinaikkan ke mobil bak. Semua kena marah. Tiba-tiba bapak sesak terus pingsan,” kata ibu, pelan.
Tlit, tlit, tlit, tlit,…tiba-tiba alat penunjuk detak jantung itu berbunyi kencang. Bapak tersengal. Aku berlari memanggil perawat.
***
Matahari mulai naik. Aku berada di area pekuburan desa kami. Angin sesekali datang, bunga kamboja lepas dari tangkainya, jatuh melayang ke tanah. Tanganku memengang cetok bergantian dengan skrap, kaki dan tangan gupak semen. Satu per satu keramik aku tempelkan pada badan nisan di salah satu makam yang meninggal tiga tahun lalu, terhitung seribu hari lamanya. Seperti bapak dulu, aku kini menjadi seorang pembuat nisan. Bukan seniman teater atau sastrawan yang aku idam-idamkan. Aku lihat bapak tersenyum di hadapanku, lalu ia menghilang. (92)
Catatan:
- ngaya = memaksakan, terlalu bersemangat
- workshop : bengkel, tempat kerja
- bisa ujar ora bisa nglakoni : bisa berucap tapi tidak bisa melakukannya
- ublek : berkecimpung
Ryan Rachman lahir di Kebumen tahun 1985. Saat ini tinggal di kaki Gunung Slamet Purbalingga. Bergiat di Komunitas Katasapa dan mengasuh rubrik “Ruang Sastra” di LPPL Radio Ardi Lawet Purbalingga.
Lutfi Boi
ringan namun kurang kejutan, barangkali memang sengaja untuk menyampaikan pesan cerpen tentang kematian. cerpen-cerpen seperti ini sering mudah ditebak endingnya. hmmm.