Cerpen Mona Sylviana (Koran Tempo, 22-23 Oktober 2016)
YANG tidak boleh dilakukan kalau berniat datang ke acara reuni adalah memikirkan hal-hal yang tidak relevan.
Dari balik terali jendela saya melihat ke jalan depan rumah. Udara menyengat. Tidak ada angin masuk dari daun jendela yang sengaja saya buka. Di langit utara, di kejauhan sana, awan tampak melamuri langit dengan gelap. Mungkin sore nanti akan turun hujan sederas hari-hari belakangan ini.
Saya menunggu.
Seingat saya, di waktu yang sama seperti sekarang saya ada di muka jendela, sepeda motor itu berhenti depan rumah. Pengendaranya tidak melepas helm dan tidak mematikan mesin. Dia hanya meraih sesuatu dari dalam ransel yang digantungkan di dadanya. Tanpa turun dari motor, pengendara itu menggerakkan badannya ke kanan sedikit hingga motor tampak miring. Dia mengaitkan kertas berlapis plastik di gerendel pintu pagar. Setelah yakin kertas itu terkait erat, tidak akan dijatuhkan angin, dia menuju rumah sebelah dan, mungkin, melakukan hal yang sama.
Biasanya saya selalu kesal dengan kertas-kertas itu. Sering kali kertas dikaitkan sembarangan, hingga tidak sampai satu helaan nafas kertas melayang yang berarti menambah kerjaan saya membersihkan halaman.
Nah, di tengah penulisan cerita pendek itulah saya datang ke reuni perak SMA saya. Cerita pendek itu mungkin tidak relevan dengan acara reuni tapi relevan dengan perjalanan 45 kilometer yang harus saya tempuh selama 1 jam 30 menit dan travel yang belum bergerak selama hampir setengah jam di Jembatan Pasupati. Saya lupa membawa buku bacaan hingga satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah membaca paragraf-paragraf awal cerita pendek yang tersimpan di telepon genggam.
Minggu lalu, di waktu yang hampir sama, saya baru saja memindahkan jemuran dari halaman samping ke dalam rumah. Sambil memungut selembar sarung bantal yang jatuh, sebelum angin musim penghujan menjatuhkannya, saya mengambil kertas yang dikaitkan di gerendel pintu pagar. Saya berniat membuangnya. Dalam beberapa langkah mendekati tempat sampah, saya iseng membaca tulisan-tulisan di kertas itu.
Tidak seperti promosi reparasi alat-alat elektronik, tawaran pinjaman dana dengan jaminan BPKB mobil, jasa penyedotan WC, atau daftar potongan harga mini market; tulisan di kertas itu tidak menarik. Tidak ada cetakan warna-warni. Tidak ada jenis huruf yang dibuat unik. Tidak pula ada kalimat-kalimat provokatif. Hanya lembaran HVS ukuran A4 yang dibagi 4. Jenis hurufnya mengingatkan saya ke surat pemberitahuan pengajian RW atau skripsi. Times New Roman. Tulisan yang dimulai dengan kata “Anda” itu sudah berkurang ketajamannya karena terlalu sering disalin. Tidak ada pelapis plastik yang seharusnya menemani musim hujan.
Oya, satu hal, hanya satu hal, yang menarik perhatian saya, walau sesaat. Ada gambar tokoh kartun yang saya suka, Lucky Luke. Dengan bibir semekar bunga kecubung, laki-laki bersetelan kotak-kotak dan rompi itu, menghisap cerutu. Dia sedang memasukkan pistol ke dalam sarungnya. Bayang-bayangnya masih tampak memegang pistol dengan asap mengepul dari mocongnya. Penembak yang lebih cepat dari bayangannya sendiri. Tapi saya tengah berlomba dengan titik hujan, ketertarikan itu tidak berlanjut. Maka, tangan saya ringan saja mencampakkan kertas itu ke ember bolong yang beralih fungsi sebagai tempat sampah.
.
SAYA menyenderkan kepala di jok mobil dan memejamkan mata. Seharusnya itu jadi cerpen yang menarik….
Kepala saya penuh dengan lintasan-lintasan peristiwa untuk melanjutkan cerita itu.
“Bu…” Seseorang membuka pintu mobil di samping saya.
Saya celingukan.
“Sudah sampai ya?”
Aih, pertanyaan yang tidak perlu. Seseorang itu pun keliatannya tidak berniat menjawab. Dia langsung menyelipkan sapu ke bawah kursi.
Saya bergegas keluar mobil dengan tas belum dikancingkan. Sebuah awal yang tidak menyenangkan. Ditambah lagi awan berwarna kelabu, asap knalpot, klakson saling bersahutan, dan udara sepengap dalam kukusan. Sambil mencangklong tas hitam saya berjalan ke tempat reuni yang berjarak sekitar 300 meter. Syal biru yang meliliti leher saya kendurkan. Hak sepatu saya beberapa kali tersangkut di trotoar yang tidak sama tinggi atau sempal di beberapa bagian. Saya berjalan sangat pelan. Terasa berat oleh cerita yang bercecabang di kepala. Satu peristiwa bertumpuk dengan peristiwa lain.
Semburat matahari yang nyaris hilang di balik bangunan-bangunan tinggi perlahan memudar. Kota semakin penuh. Seperti ada yang menumpahkan motor ke jalanan. Antrean mobil tanpa putus sepanjang tiga kelokan menunggu lampu menyala hijau.
Saya tiba-tiba ingat film Surreal Moment. Adegan saat seseorang menjetikkan jarinya. Tik. Lalu waktu membeku. Saya membayangkan mobil yang berderet itu tidak bergerak dan para penghuninya diam membeku. Surealistis.
Surealistis. Surealistis….
Saya menuliskan kata itu berkali-kali di buku catatan. Membacanya berulang-ulang hingga saya tidak lagi mengenali kata yang memang rumit itu.
“Hai, Mon. Ngapain duduk di situ? Masuk yuk.”
Saya tengadah. Pasti saya terkejut. Pulpen saya jatuh. Benda hitam yang ujungnya mengelupas saya gigiti itu menggelinding, tercemplung ke selokan. Seorang laki-laki berkemeja abu-abu tua berdiri di depan.
“Aduh…. Kaget ya?”
“Eh, kayaknya iya.”
“Maaf ya.”
“Enggak apa-apa….” Saya berusaha mengingat wajah dan nama laki-laki itu, tapi ingatan saya entah ke mana. Peristiwa-peristiwa setelah pembayangan Surreal Moment sampai saya tersentak menemukan diri saya duduk di teras pos penjagaan hotel tidak berhasil saya ingat.
“Sebentar lagi jam 6. Mau masuk sekarang?”
Saya mengangguk. Celana katun hitam saya kibas-kibaskan sekadarnya sebelum mengikuti laki-laki itu memasuki ruang depan hotel.
“Kita naik tangga yuk.”
Di sebelah kanan pintu masuk ruang depan hotel, orang-orang berkerumun menunggu dua pintu lift terbuka. Akal sehat saya mengatakan kalau mengikuti ajakannya adalah alternatif terbaik. Saya mengangguk. Gerak kepala saya pasti tidak dilihat laki-laki itu karena dia sudah lalu. Buru-buru saya menyamai langkahnya.
“Kamu mungkin lupa. Saya Ronin.” Laki-laki itu berhenti dan menyodorkan tangan. Hidung saya menangkap perpaduan cengkeh dan kenanga menguar dari tubuhnya.
“Ehm, Mona. Maaf ya. Saya enggak ingat namamu.”
“Enggak perlu minta maaf. Waktu SMA kita enggak pernah ngobrol kok. Lagian sudah 25 tahun, jadi saya enggak punya hak memaafkan.”
Dilarang Masuk Kecuali Petugas. Tulisan di pintu besi biru itu menghentikan kaki saya.
“Mumpung sudah tua. Nekad aja….” Ada keusilan di tarikan bibir Ronin.
Dada saya berdebar. Berkali saya menoleh ke arah lorong. Aman, tidak seorang pun melihat. Ronin mendorong pintu besi di hadapan kami dengan bahunya. Pintu tidak terbuka penuh karena terhalang tumpukan kardus. Ruangan seukuran dua rentangan tangan itu dicahayai lampu redup yang menempel di dinding bagian atas. Tidak terasa lagi aliran sejuk dari pendingin udara. Bau debu dan pelumas menyeruak.
Pintu pelahan tertutup. Ronin mendekati tumpukan dus. Saya mendahului berjalan ke tangga yang mengarah ke atas. Ronin menyobek tutup kardus. Mengalasi anak tangga ketiga dan duduk di atasnya.
“Kok….”
“Kamu duluan aja ke atas. Saya mau ngerokok dulu. Acaranya di lantai dua. Tuh, tinggal lanjut naik.”
Walau ragu saya meninggalkan laki-laki yang duduk sembari menyalakan rokok itu. Saya mendorong pintu besi persis cara Ronin, mendorongnya dengan bahu. Saya tiba di sebuah ruang terbuka yang menghubungkan dua ruang besar di kanan dan kirinya. Sudah banyak sekali orang. Saya tercangak-cangak, seperti tetesan air jatuh di salah musim. Seseorang menyeru nama saya. Nia. Ah, akhirnya ada seseorang yang saya kenali.
“Mon…. Registrasi di sana terus masuk ya. Yang lain udah di dalam.”
Saya mengangguk.
.
SELANJUTNYA, dengan pikiran tersesat dalam huruf-huruf yang belum siap jadi kata dan kalimat, di tengah-tengah acara reuni saya keluar ruangan. Udara steril penuh parfum dalam ruangan seketika dilindas getaran tawa lepas dan gaung obrolan. Rupanya bukan hanya saya yang ada di situ. Satu dua orang berdiri di sekitar meja oval tempat kudapan. Satu dua lainnya sibuk dengan telepon genggam. Beberapa tampak ngobrol dalam kelompok-kelompok kecil.
Langit Bandung semakin gelap. Bulan entah di mana. Saya mencari pojokan, menyalakan rokok, mengeluarkan buku catatan. Pulpen? Dasar tas saya rogoh. Kardigan, dua tube lipstik, wadah bedak, nota, tiket, bungkus permen, payung lipat, botol minuman, nah…. Pulpen merah. Lumayan, daripada tidak ada.
Saya mulai menulis.
Keesokan harinya saya bangun seperti biasa. Suami saya tidak ada di sebelah kanan dipan, posisi yang dengan kesepakatan tidak terkatakan sebagai wilayah tidurnya. Satu selimut tampak rapi di ujung dipan. Saya duga, ia ketiduran lagi di perpustakaan. Setelah melipat selimut, membuka tirai jendela, dan mematikan lampu, saya berlaku sebagaimana biasa. Saya menyalakan laptop. Sembari menunggu.
“Hai.”
Refleks saya menutup buku kecil di pangkuan. “Ehm. Hai….”
“Maaf ya. Sebenarnya bukan kebiasaan saya bikin kaget orang…. Omong-omong ngambil kopi itu di mana? Oke.” Ronin berjalan menuju tangan saya mengarah. “Jangan kasih orang lain duduk. Nanti saya ke sini lagi.”
Pas saya selesai mencoret dua kata terakhir di buku catatan, Ronin kembali. Tangan kanannya memegang kuping cangkir. Sepisin kue-kue basah di tangan kirinya. Dia duduk di tepian pot kembang di samping saya. Saya tidak lagi menemukan aroma rempah di tubuhnya.
“Rokok dapat menyebabkan bau badan lho….” Ronin mengedipkan mata sambil menyalakan rokok.
Saya jengah. Saya berharap laki-laki itu tidak memperhatikan muka saya yang memerah. “Ehm, kamu… kamu enggak masuk?”
“Acaranya seru?”
“Ya begitulah….”
“Ya begitulah itu artinya seru?”
“Ehm, ya… nostalgia. Berasa muda lagi.”
“Oya?”
“Kecuali ini,” saya menunjuk betis, “enggak bisa bohong. Pegel berdiri terus.”
Ronin tertawa. Air hitam di cangkirnya ikut beriak bersama guncangan bahunya. Saya melirik ke beberapa orang di depan saya. Untunglah mereka tidak terganggu suara tawa Ronin yang sependengaran saya mengalahkan pengeras suara.
“Ah, kamu keluar karena memang engga fokus. Lagi ada bahan tulisan ya?”
Sebagai penulis yang hanya dikenal di kalangan tertentu, saya terkejut bahwa laki-laki di sebelah saya ini mengetahuinya. Saya melihat padanya. Dia juga melihat ke saya, hanya saja mata itu rasanya tidak mengarah ke saya. Saya lantas menengok ke samping. Tidak ada apa-apa kecuali dinding.
“Saya juga pengen jadi penulis.”
“Pengen?”
“Iya. Pengen….”
“Jadi?”
“Enggaklah. Padahal kemungkinan besar saya bisa jadi penulis. Katanya, semua orang pasti bisa menulis asal dia suka membaca. Saya suka baca. Dulu waktu kecil orang tua saya bangga sekali sama kesukaan saya itu. Hampir ke semua orang mereka bilang-bilang, si Ronin itu kalau sudah dapat buku enggak bisa diganggu…. Kesannya ngeluh, tapi nadanya bangga. Kata mereka, saya sudah bisa baca sebelum masuk TK. Tapi makin besar kesukaan saya sama buku itu momok. Baca buku kayak barang mewah, keisengan yang harus dihindari. Kalau saya lagi baca buku, mama langsung bilang, ‘Nin, baca buku terus, ayo belajar.’ Papa saya lebih senang kalau saya minta dibelikan sepatu dibanding buku.”
“Baca buku bukan belajar?”
“Bukan. Masak anak pertambangan belajarnya The Catcher in the Rye….”
“Harusnya Foucault’s Pendulum ya?”
Ronin tertawa lagi. Sodetan di sudut matanya terlihat makin dalam. “Atau Testing of Soils… novel Eco yang itu lebih berasa pertambangannya. Ah, kalau saya penulis, sekarang ini saya mood nulis suasana pagi. Tapi pagi yang biasa…. Kegiatan sehari-hari aja. Bangun tidur, melipat selimut, membuka jendela, menyiapkan kopi….”
“Lho, lho….”
“Kenapa?”
“Saya juga sedang membayangkan itu. Ini….” Saya menyodorkan rangkaian kalimat, termasuk kalimat tak tuntas yang telah dicoret, dengan tulis tangan tidak beraturan dalam buku catatan saya.
“Persis. Kita berjodoh….”
.
SUARA dari dalam ruangan mereda. Lampu warna-warni yang membias ke lantai mulai sepenuhnya terang. Saya melihat Nia melongok ke luar ruangan. Bibir merah bata perempuan bertubuh semampai itu bergerak-gerak. Tangannya melambai-lambai memanggil. Saya mengiyakan dengan anggukan sembari menunjuk gelas di meja kecil di kiri saya.
Ronin sudah tidak ada di tempatnya duduk.
Cepat-cepat saya menghabiskan kopi sebelum menghampiri Nia.
“Ngopi mulu. Kelewatan acara door prize lu.”
“Emang saya dapet?”
“Enggaklah.” Nia mengembalikan kartu registrasi yang sengaja dimintanya ketika saya ke luar ruangan tadi.
“Kalau enggak dapet kan enggak apa-apa ketinggalan acara.”
“Tapi kan enggak ikutan degdegan. Mau ke mana? Foto-foto dulu yuk.”
“Kan tadi udah, Ni. Saya pulang duluan ya.”
“Serius mau pulang?”
“Iya. Travel hanya sampai jam 10.”
“Oke. Pamitan dulu sama yang lain?”
“Pamitin aja ya. Nanti akan saya kabari di grup.”
“Oke. Gue antar ke bawah. Sekalian gue istirahat. Capek banget.”
“Oh. Ya, ya….”
Kami berjalan dalam diam menyusur koridor yang remang karena beberapa lampu sudah dimatikan. Pintu lift belum terbuka.
“Ngapain aja tadi?”
“Ngobrol.”
“Tumben. Sama siapa? Cowok apa cewek?”
“Apanya?”
“Tadi ngobrol sama cowok apa cewek?”
“Jenis kelamin penting ya?”
“Tergantung,” Nia tersenyum.
“Kalau sama mantan kan bisa beda….”
“Mantan ketua kelas?”
“Becanda aja. Sama siapa sih?”
“Penasaran amat. Saya ngobrol sama Ronin. Puas?”
“Becanda aja….”
“Apanya yang becanda?”
“Kamu.”
“Enggak. Serius. Tadi saya ngobrol sama Ronin. Eh, enggak ngobrol juga sih. Hanya… Apa ya? Dia cerita kalau mau jadi penulis. Terus terakhir dia bilang kalau mau nulis tentang suasana pagi. Dan kamu boleh percaya atau enggak, itu persis yang mau saya tulis. Eh, Ni, Ronin dulunya yang mana? Saya beneran enggak ingat sama sekali.”
Pintu lift berdenting. Terbuka. Tidak ada orang di dalam. Dinding cermin dalam lift memantulkan bayangan kami berdua.
“Dia bilang namanya Ronin?”
“Iya. Kenapa?”
“Mon,” Nia menahan pintu bergambar lautan itu dengan telapak tangan.
Suaranya pelan. “Mon, satu-satunya Ronin di sekolah kita, sekitar dua tahun lalu, meninggal….”
Wajah saya tiba-tiba mendingin. Saya menggigit bibir bawah kuat-kuat.
Terasa perih.
Surealistis. Surealistis….
Seseorang menjawil bahu.
“Hai, Mon. Ngapain duduk di situ? Masuk yuk,” kata seorang laki-laki berkemeja abu-abu tua di samping saya. ***
.
.
Mona Sylviana tinggal di Jatinangor, Sumedang. Kumpulan cerita pendeknya, Wajah Terakhir (2011).
.
Reuni. Reuni. Reuni. Reuni. Reuni. Reuni.
Leave a Reply