Cerpen Yetti A.KA (Koran Tempo, 29-30 Oktober 2016)
IA keluar rumah pukul lima pagi dan ditemukan mati dua jam kemudian di bawah batang kelapa. Lalu kau berkata, berhenti meratap, Sare!
KAU sama sekali tidak bersedih atas kematian suamiku. Kau hanya marah karena kematian itu mengoyak harga dirimu. Berhari-hari kau mengunjungi rumahku, duduk di pangkal tangga, mengasah kuduk bermata tajam dan berkilat putih. Berkali-kali kau berkata, Semua akan kubalaskan, Jan, semua pasti kubalaskan.
Aku tidak tahu bagaimana perasaan Jan. Aku tidak tahu perasaan orang yang sudah mati. Kalau aku bisa menemui rohnya sekali saja, aku pasti akan menanyakan segalanya. Pertama-tama aku akan bertanya, Siapa sebenarnya yang membunuhmu, Jan? Bajingan itu pasti saja seorang pengecut, bukan? Ia membunuhmu dari belakang, menusukkan senjata tajam—keris atau balau?—tepat di kudukmu dan beberapa tujahan di bagian lain. Apa kau kesakitan waktu itu, Jan? Apa kau mengingatku saat kau merasa sakit itu tidak bisa kau tahan lagi dan kau akan mati? Apa kau membayangkan sedang menari bersamaku ketika pelan-pelan roh keluar dari tubuhmu? Apa benar kau ingin kematianmu dibalaskan oleh kakakmu yang bangsat itu?
Berhenti meratap, Sare!
Itu teriakan yang berasal dari pangkal tangga. Aku membekap mulutku kuat-kuat. Aku tidak tahu kalau mulutku baru saja meratap, seperti aku sering tidak tahu air mataku terus mengalir bila saja ibuku tidak berbisik, hapus air matamu, Sare, kesedihan ini harus dihentikan.
Kenapa semua orang mengaturku? Jan seharusnya datang ke sini dan memarahi mereka yang menghalangi-halangi tubuhku meluapkan rasa duka. Mereka semua takut kepada arwah orang yang mati dibunuh. Mereka pasti lari terbirit-birit dari rumah ini dan meninggalkan aku sendirian saja. Aku benar-benar mau sendirian. Aku mau mengenang pagi ketika Jan keluar dari rumah dan ternyata itu terakhir kali aku melihatnya, sebab setelahnya ia pulang dengan mata tak pernah terbuka lagi dan tuduhan keji bahwa ia dibunuh karena mencuri buah kelapa.
AKU mau berburu rusa. Itulah yang Jan katakan ketika mengambil balau yang dipajang di dinding. Jan memang suka ikut rombongan yang berkumpul di hulu sungai sebelum mereka bersama-sama memasuki hutan untuk berburu rusa atau napuh. Ia senang menerabas hutan dan mengejar rusa bersama kawanan anjing. Kau suka membunuh, Jan? Aku pernah bertanya sambil menggelitiki daun telinganya dengan jari-jariku yang masih menyisakan lukisan motif bunga dari sari daun inai kayu. Jan bilang, Aku tidak suka membunuh, tapi aku senang berlari menembus semak yang membuat tubuhku basah.
Seminggu lalu, tubuh Jan basah oleh darah. Apa itu juga membuat Jan senang dan karena itu ia membiarkan dirinya dibunuh?
INI harus kubalaskan, Jan! Kau kembali berteriak dari pangkal tangga. Kau pasti saja sudah gila karena kematian adikmu. Kau sudah mendengar desas-desus yang berkembang bahwa Jan sengaja dibunuh karenamu. Semua orang tahu kebiasaanmu mengunjungi bilik perempuan yang ditinggal suaminya pergi ke ladang atau ke kota untuk menjual kayu manis dan kopi. Kau sudah berkali-kali mengunjungi bilik Rania kan? Suami Rania tahu apa yang kau lakukan dan ia membalas dengan membunuh Jan. Kenapa Jan?
Sebab membunuh Jan jauh lebih mudah dan jauh lebih menyakitkan bagimu. Itu yang mereka inginkan, membuatmu dikalahkan dengan telak. Membuat wajahmu ditampar-tampar. Membuat jiwamu dihukum sedemikian berat dan kau menjadi gila. Dan kegilaan itu makin menggerogotimu karena mereka memainkan kelicikan demi kelicikan: Jan dituduh mencuri buah kelapa (lihat, betapa itu sangat menghina dan mereka menutup mata atas hamparan kebun kelapaku demi membuat tuduhan palsu) dan karena itu ia dibunuh oleh seorang idiot yang mengaku telah memergoki perbuatan Jan pada pagi buta itu. Si idiot itu adik suami Rania. Tidakkah itu menusuk-nusuk jantungmu? Si idiot sudah ditangkap petugas, tapi pembunuh yang sebenarnya ada di kampung ini, mengamati keadaan yang memanas, mencuri-dengar pembicaraan yang beredar di tepi jalan atau tempat orang-orang berkumpul, pagi atau sore hari, dan mengawasimu yang sesumbar bahwa nyawa harus dibalas pula dengan nyawa.
Aku sungguh ingin ada Jan di sini. Jan yang menyukai hutan basah dan karena itu senang berburu rusa. Jan yang matanya seperti air dengan dasar yang hitam dan aku sering menjadikannya cermin ketika aku memeragakan gerakan tarian burung enggang. Sare, setiap kesedihan ada ujungnya, bisik ibuku. Tidak, tidak ada ujung bagi kesedihanku ini. Tidak ada ujung bagi kemarahan yang bergetar-getar dalam dadaku. Hanya Jan yang mengerti bagaimana aku sangat menderita setiap diganggu mimpi buruk dan kematiannya ini membuatku diliputi perasaan gelap.
Sare, berhenti meratap!
Aku benar-benar muak mendengar suara itu. Tidak bisakah kau pergi dari rumahku? Kau tuntaskan dendammu itu tanpa perlu merecokiku. Aku tidak menginginkan apa-apa saat ini selain meresapi kehilangan dengan caraku. Cukuplah kau menghardikku dari hari ke hari demi menutupi kekosongan yang tengah melanda dasar hatimu. Aku sudah tak punya Jan lagi. Atau kau bisa mengembalikannya kepadaku? Ayo, bawa Jan ke sini. Biar kutatap matanya lama-lama. Biar kusentuh kulitnya yang dingin. Biar kukatakan kepadanya tentang daun-daun basah di hutan yang selalu menunggu kedatangannya.
PEMBUNUH Jan yang sebenarnya memang tidak pernah ditangkap, tidak pernah ditendang polisi seperti maling yang digelandang ke kantor mereka di ibu kota kecamatan. Pembunuh Jan tetap pergi ke ladang, pergi ke kota untuk menjual kayu manis atau kopi, dan tetap bisa tertawa ketika bertemu orang di pinggir jalan.
Kau pasti saja tidak bisa hidup tenang menyaksikan semua itu, bukan?
Memang itulah yang mereka inginkan: kau mati perlahan dengan cara menyedihkan.
Suasana panas memang sempat membuatmu punya harapan bahwa kematian Jan bisa di balaskan dengan cara yang sama, kematian yang ditarik paksa bersama ujung balau yang memerah. Kau sudah membayangkan perang antara dua keluarga besar akan segera pecah. Perang yang akan meminta banyak kematian. Namun, kau lupa bahwa waktu bisa membuat segalanya mereda, bahkan lebih cepat dari yang dapat kau bayangkan, dan orang-orang memilih menyimpan dendam diam-diam. Begitulah watak kebanyakan orang-orang di dusun ini dan kau lupa tentang itu. Tentang dada yang mudah terbakar dan mudah padam. Aku dan Jan sering membicarakan soal itu sambil tertawa. Dan apa kau punya dada seperti itu, Jan, tanyaku. Jan tidak menjawabnya, tapi ia mengajakku menari bersama. Tarian burung enggang yang dulu sering kami peragakan di pinggir hutan tempat kami membuat janji bertemu. Aku dan Jan belajar tarian itu dari Nenek Manea, seorang dukun yang menyunat semua anak perempuan di dusun ini. Dengan segala kenangan itu, apa aku bisa tidak meratapi kematian Jan?
Jan, aku akan disunat.
Itu membuatmu takut?
Tidak, Jan. Tapi, setelah disunat aku sudah menjadi perempuan dewasa. Kau tidak boleh lagi mengajakku mandi telanjang.
Jan tertawa lebar. Giginya ompong tiga.
Jan masih tertawa. Namun, gigi-gigi Jan mengeluarkan darah. Darah itu memenuhi mulut Jan. Jan tidak lagi tertawa. Kenapa, Jan, tanyaku panik. Jan tidak bisa menjawab dan darah dalam mulutnya menyembur-nyembur. Aku melolong-lolong.
Diam, Sare! Berhenti meratap!
Itu teriak suara dari pangkal tangga.
Kau bermimpi? Kau menyebut-nyebut nama Jan, ibuku berbisik.
Aku bosan sekali dengan teriakanmu. Kapan kau akan meninggalkan pangkal tangga rumahku? Kau bukan seekor anjing yang harus menjagaku. Untuk apa kau di sana? Untuk berteriak kepadaku seolah kau memilikiku? Aku hanya milik Jan, seperti halnya Jan hanya milikku. Setelah Jan mati, aku tak ingin berurusan lagi denganmu. Aku juga tak ingin lagi mendengar suara ibuku yang selalu berbisik setelah kematian Jan. Aku tak mau dibujuk-bujuk. Aku tidak sedang merajuk. Yang kulakukan cuma menangisi Jan sampai aku merasa semua sudah habis dalam dadaku. Apa kau mengerti? Apa ibuku mengerti?
AKU tak menghitung hari keberapa setelah kematian Jan, ketika kau pergi dari pangkal tangga rumahku. Sejak itu kau tidak pernah lagi ke sini. Kata ibuku—tentu saja ia masih saja berbicara dengan cara berbisik—orang-orang mengatakan bahwa kau sudah meninggalkan dusun celaka ini. Pergilah selamanya, kataku dalam hati. Kau sudah tentu tidak bisa lagi hidup di sini dengan kepala tegak. Pergilah selamanya! Aku tidak berharap kau kembali dan berteriak-teriak di pangkal tangga, membuatku marah dan malu.
Biar aku sendirian yang benar-benar menangisi Jan. Biar kesedihanku abadi. Biar mataku ini saja yang akan terus menatapi pembunuh yang sesekali lewat di jalan di depan rumahku. Pembunuh itu kadang mengangkat wajahnya, tapi lebih sering menunduk. Aku akan menghukum pembunuh itu berkali-kali dengan pandangan ini. Mungkin mataku tidak mematikan seperti senjata yang membunuh Jan, tapi aku tahu mataku bisa menembus jauh ke dalam hatinya dan di sanalah titik kematian yang sesungguhnya. (*)
Rumah Kinoli, 2016
Catatan untuk dialek Besemah (Sumatera Selatan):
Kuduk, senjata tajam mirip pisau.
Balau, senjata tajam dengan tangkai panjang, biasanya untuk berburu.
Yetti A.KA tinggal di Padang, Sumatera Barat. Kumpulan cerita pendekterbarunya, Penjual Bunga Bersyal Merah (2016).
Leave a Reply