Arman AZ

Tapis Mastoh

5
(3)

Cerpen Arman AZ (Media Indonesia, 23 Oktober 2016)

tapis-mastoh-ilustrasi-pata-areadi-media-indonesia

Tapis Mastoh ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia

DI LANTAI papan serambi rumah panggung, duduk beralas bantal tipis kumal, Mastoh khusyuk menyulam. Sesekali dibenahinya letak kacamata yang melorot ke hidung. Benang emas mengekori jarum yang berulang kali dicucuk dari bawah kain kemudian ditarik ke atas hingga membentuk pola tertentu.

Hangat cuaca bersekutu dengan sepoi angin membuat kantuk mudah hinggap di pelupuk mata. Satu-dua kendaraan melintas di jalanan depan rumah, menggetarkan siang yang lengang. Sal baru saja pulang. Dua bulan belakangan dia kerap singgah. Mastoh mafhum hajat apa yang diusung Sal. Janda bertubuh tambun itu mengincar tapisnya. Sal pernah keceplosan, ada kolektor mencari tapis tua yang ditenun-disulam dengan tangan. Mastoh punya tapis macam itu. Sal berniat membelinya, tapi Mastoh enggan melego.

Demi meluluhkan hati Mastoh, Sal memberinya pekerjaan. Dibawanya dua kain untuk disulam Mastoh. “Tidak buru-buru, yang penting hasilnya bagus,” pesan Sal saat menyodorkan uang panjar. Mastoh paham pula, kian kerap bersua, kian banyak peluang Sal untuk membujuknya.

Ada tiga tapis disimpan Mastoh dalam lemari kamarnya. Dua warisan dari almarhumah ibunya, satu lagi buatan Mastoh sebelum menikah. Niat Mastoh, seluruh tapis itu akan diwariskan untuk Gati saat putrinya itu menikah.

***

Bertahun-tahun gedog teronggok di pojok serambi rumah panggung. Jika melamun memandangi alat tenun itu, Mastoh bagai terisap ke masa silam. Dia terkenang almarhumah neneknya, yang pertama kali menempanya agar mahir menenun-menyulam. Beliau sampai mengikat pinggang Mastoh di gedog agar tidak kabur, bermain bersama teman-teman sebaya.

“Jika ada benang, pasti ada kain,” “Saat menikah nanti, kau tidak harus beli tapis,” atau “Muli Lampung harus bisa napis,” begitulah yang acap dicetuskan neneknya. Beliau juga pencerita yang ulung. Sembari menenun atau menyulam, dituturkannya cerita-cerita yang berkaitan dengan kain. Satu yang tersimpan dalam benak Mastoh, Muli Tagei, kisah gadis yang malas menenun. Suatu hari gadis itu disuruh neneknya memilin kapas menjadi benang. Si gadis pemalas diam-diam membuang kapas ulat sutra itu ke kali, lalu berdalih bahwa kapasnya hilang. Ajaib, kapas itu menjelma jadi perdu merambat, daunnya kemerahan, dan batang rapuhnya diselimuti serat-serat halus mirip kapas. Kini tanaman itu sulit ditemukan, padahal dahulu masih banyak ditemui di kali dekat rumah orangtua Mastoh.

Baca juga  Hikayat Demang Tuuk

***

Menyulam tapis adalah hiburan buat Mastoh. Selain melatih kesabaran dan ketelitian, ada kepuasan tersendiri jika hasilnya halus rapi. Apalagi bila sulamannya dipuji pemesan. Tak sia-sia berhari-hari jemarinya berteman jarum dan benang emas.

Sekira tiga dekade lalu, Mastoh menikmati masa jaya sebagai penenun. Ada istri pejabat yang mendukung kegiatannya. Jika ada pameran kerajinan di luar daerah, Mastoh diajak serta. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk barter ilmu dengan sesama penenun. Kini, di usianya yang melewati kepala enam, sudah lama Mastoh tidak keluar kampung.

Ganti pemerintahan, ganti pula kebijakan. Tiada lagi pejabat yang menyambangi Mastoh, sekadar menunjukkan kepedulian mereka. Pernah ada orang dinas datang, memesan aksesori motif tapis untuk dijual dalam pameran pembangunan. Mastoh dikadali. Pembayaran tak lunas, hasil penjualan tak jelas. Mastoh malah tekor, harus menalangi upah teman-temannya. Pameran terakhir yang diikuti Mastoh, ada istri pejabat yang sok paham seluk-beluk tapis, mengajarinya agar begini begitu. Mastoh hanya menahan dongkol dalam hati.

Tingkat kerumitan menenun-menyulam tapis dengan tangan membuat harganya lumayan mahal, sampai jutaan rupiah. Umumnya kalangan menengah ke atas atau peminat saja yang memesan. Sejak kehadiran ATBM yang bisa menghemat waktu dan memproduksi dalam jumlah banyak; penenun tradisional seperti Mastoh jadi terpinggirkan, meski soal kualitas, tapis buatan tangan tetap lebih bagus.

Di kampung Mastoh masih ada segelintir perempuan buruh tapis yang menerima upahan dari pengepul. Mereka menyulam sepulang dari ladang. Lembaga kredit dan rentenir pernah menawari pinjaman, tetapi mereka tidak tergiur. Dengan uang itu memang bisa membuat tapis sebanyak mungkin. Masalahnya, ke mana hendak menjualnya? Menunggu pembeli yang belum tentu muncul sebulan sekali, sementara tiap bulan mesti mencicil pinjaman, sama saja dengan menjerat leher sendiri.

Tapis dirayakan, dibanggakan, tapi Mastoh dan para perempuan penenun itu tidak pernah dilirik. Banyak lembaga yang mengatasnamakan perempuan, belum satu pun menyambangi mereka, apalagi membantu. Mastoh dan para penenun itu bagai kerakap di atas batu.

***

Siapa bisa menerka arah panah asmara? Masa belia dulu, cinta Mastoh pada lelaki sekampung bertepuk sebelah tangan. Lelaki itu menikahi perempuan lain. Melipur Mastoh, neneknya melipur dengan pantun: asal kapas menjadi benang, dari benang dibuat kain; barang yang lepas jangan dikenang, sudah menjadi hak orang lain.

Baca juga  Hilangnya Kata-kata, Abadi di Telapak Kaki, Tak (lagi) Menulis Puisi, dan Lainnya

Jodoh menautkan Mastoh dengan Zul. Setelah bertahun-tahun tidak dikaruniai keturunan, mereka sepakat mengangkat anak. Sepupu Mastoh yang baru melahirkan, merelakan orok perempuannya diasuh Mastoh. Orok itu, Gati, kini telah menjadi gadis belia.

Hari-hari Zul habis di rumah atau bertandang ke rumah tetangga. Zul ibarat jarum, Mastoh benang emasnya. Ke mana jarum menyucuk, ke situ benang turut. Dahulu, tanah Zul luas, warisan bapaknya. Sedikit demi sedikit dijual untuk menyumpal kebutuhan hari-hari. Kini yang tersisa tinggal sehektare, ditanami karet dan singkong. Sejak harga karet anjlok, Zul malas ngoret atau membersihkan ilalang di kebun.

Dahulu, orang akan berpikir dua kali untuk melewati kampung Zul yang terkenal rawan. Tabiat pribumi di mana-mana barangkali serupa tapi tak sama. Tanah berhektare-hektare dijual sedikit demi sedikit. Bujang-bujang kampung yang berakal pendek lebih suka berleha-leha. Ketika kantong ompong, mereka nekat berbuat kriminal. Apalagi sejak narkoba menyusup hingga pelosok kampung. Anak muda yang panjang akal memilih keluar dari tempurung kampung, melanjutkan kuliah atau cari kerja di Jawa.

Saat ada acara adat, Zul bak ikan ketemu air. Itulah momen dia mencuri perhatian banyak orang. Sosoknya seliweran dari awal hingga akhir acara. Memberi perintah sana-sini, memandu tahapan prosesi. Tak dia sadari, di belakangnya, anak-anak muda cekikikan mencemooh kelakuannya yang menurut mereka ketinggalan zaman.

Mastoh sudah jarang mengikuti acara adat. Namun, demi menghargai dan menghindari gunjingan tetangga, sebelum acara puncak Mastoh menyambangi sahibul hajat, sekadar basa-basi menongolkan muka. Mastoh pernah berdebat dengan Gati. Putrinya itu ngotot bahwa maksud leluhur disalahartikan oleh keturunannya. Mengambil gelar adat dengan biaya sampai ratusan juta, memotong sejumlah kerbau, melibatkan banyak orang; sudah bukan zamannya lagi. “Budaya itu dinamis, Mak. Percuma buang waktu, tenaga, dan biaya demi gelar adat; tapi wawasan sempit, hidup macam katak dalam tempurung, miskin pula. Gelar adat itu bisa diganti dengan sekolah tinggi-tinggi, dapat titel akademik.”

Mastoh pikir, ada benarnya pendapat Gati. Namun, adat tetaplah adat. Bila dilanggar, panjang urusannya.

***

Jika tidak lelah, Mastoh duduk di lantai papan ruang tengah. Luyan diletakkan  di paha, lantas disulamnya kain pesanan; sembari menonton sinetron, ditemani Gati. Sementara Zul duduk di serambi, melamun atau meladeni obrolan tetangga yang kebetulan singgah.

Baca juga  Meja Makan yang Menggigil

Mastoh tidak tahu kepada siapa lagi akan mewariskan keahliannya. Sudah jemu dibujuknya Gati belajar menenun-menyulam tapis. Gati punya bermacam dalih: melihatnya saja rumit, membuatnya makan waktu lama, beli tapis yang sudah jadi lebih praktis, dan sebagainya.

Menjelang pertengahan tahun, Gati kian gencar menuntut kuliah kebidanan. Dia jenuh menganggur sejak lulus SMA setahun silam. Hari-harinya habis di rumah; nonton televisi, main ponsel, sesekali keluar jika dijemput teman. Niat Gati membuat Mastoh risau. Bukan Mastoh tak ingin Gati sekolah tinggi, tapi biayanya tidak sedikit. Tanah sudah menciut. Uang simpanan kian menipis. Dapur tiap hari mesti mengepul. Ada hidangan di meja makan saja sudah bagus bagi mereka. Zul sebulan lebih mondar-mandir dalam rumah saja. Semenjak kehendak Gati menyulut amarah Zul, keduanya tidak bertegur sapa. Mastohlah yang jadi jembatan komunikasi bagi keduanya.

Seusai salat subuh, Mastoh membuka lemari kamar. Nyaris tanpa suara, dikeluarkan koleksi tapisnya kemudian dibentangkan di lantai papan ruang tengah. Di bawah temaram lampu, bagai kasih ibu pada anak kandungnya, dipandangi-dibelai satu per satu tapis itu. Mastoh menghela napas. Ia merasa ditinggalkan zaman yang melesat maju. Kehidupan seakan menguburnya lebih dahulu sebelum dia mati.

***

Siang terik dan lengang. Kian dekat ke rumah, kian berat langkah Mastoh. Di saku celananya ada segepok uang dari Sal, pengganti kain tapis yang melayang untuk biaya kuliah Gati. Mastoh membayangkan dirinya berada di tengah jembatan rapuh. Di kedua ujungnya, Zul dan Gati saling memekik, tapi tak terdengar apa yang mereka ucapkan. Yang terngiang di telinga Mastoh hanya sebait pantun yang dicetuskan neneknya: asal kapas menjadi benang, dari benang dibuat kain; barang yang lepas jangan dikenang, sudah menjadi hak orang lain. (*)

 

 

2016

Arman AZ, menulis cerpen, esai, cerita perjalanan. Karya-karyanya tersiar di sejumlah media. Pada November 2015 ia diundang Universitas Leiden, Belanda, untuk meneliti manuskrip Indonesia yang tersimpan di sana.

 

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!