Anindita S Thayf

Duri Ibu

0
(0)

Cerpen Anindita S. Thayf (Jawa Pos, 06 November 2016)

duri-ibu-ilustrasi-bagus-jawa-pos

Duri Ibu ilustrasi Bagus/Jawa Pos

SERINGKALI aku merasa seolah tengah bermimpi. Ada bulan menerobos jendela dapur dan menjelma bubur. Di kali lain, seolah ada penculik yang mengambil bayiku dan menggantinya dengan Ibu.

Meskipun sekelebat, tapi rasanya sungguh nyata. Hingga gelegak air atau panas panci menyadarkanku bahwa itu hanya permainan kesadaranku yang baru separo terjaga. Ternyata, aku sedang memasak bubur dengan mata sesekali mengatup, menahan beratnya kantuk. Persis seperti saat ini.

Malam berjaga bersama bulan di luar jendela dapur. Entah ada bulan atau tidak, di hadapan malam yang sama, beginilah rutinitasku. Memasak bubur untuk Ibu yang selalu terbangun lewat tengah malam dengan rasa lapar yang menagih. Untunglah aku telah belajar tidur dengan mata separo terbuka selama tiga tahun setelah kepergian Bapak. Saat itu, sesuatu terjadi pada Ibu.

Ketika menemuinya pertama kali, usia Ibu lima puluh empat tahun. Ibu masih bisa berjalan normal, bahkan melakukan pekerjaan rumah. Kegesitan masa muda Ibu juga masih tersisa sebagaimana yang ditunjukkan dalam bentuk rupa-rupa menu masakan yang sengaja dimasaknya untukku, calon menantu perempuan satu-satunya. Hingga Mas Pri, anak bungsu Ibu, memutuskan menikahiku setahun kemudian, kondisi Ibu masih sama. Dengan tubuh yang tampak sehat dan senyum yang mengembang penuh, disambutnya kehadiranku dalam rumah warisan keluarga besarnya bagai seorang bunda yang menemukan kembali anaknya yang hilang. Itulah awal kehidupan baru kami di bawah satu atap: aku, Mas Pri, Ibu, dan Bapak.

“Aw!”

Ada kecupan panas yang mendadak hinggap pada punggung jariku. Aku sontak terpekik dan tersentak menjauh. Ah, satu lagi bekas luka akan tercipta, tapi tidak mengapa. Aku merasa tidak perlu mengolesnya dengan salep, melainkan hanya meniup seperlunya. Toh, tanganku bukanlah milik perempuan pesolek, melainkan hanya seorang tukang jahit. Ya, itulah aku.

Ibu tahu aku mahir menjahit, tapi tidak pandai memasak. Ibu juga tahu aku menggunakan keterampilan itu untuk mencari penghasilan tambahan demi meringankan beban Mas Pri membiayai program-progam kehamilan yang aku jalani meskipun tanpa hasil. Dan, hanya Ibu pula yang tahu betapa seringnya aku berusaha menyembunyikan air mata kegagalan itu di balik deru mesin jahit. Di hadapan Ibu, kelemahanku tidak punya tempat bersembunyi. Namun, dengan tangan terbuka dan kebesaran hatinya, Ibu tetap menerimaku.

Malam meneteskan menit demi menitnya tanpa terasa. Bubur sudah setengah jalan dari matang. Pada panci, aku melempar senyum puas. Setelah melewati dua minggu hanya dengan cairan infus rumah sakit dan dua hari dengan bubur dingin buatan anak perempuannya, Ibu pasti sangat merindukan bubur kesukaannya. Sebuah kerinduan yang tidak mampu diekspresikan Ibu, bahkan tidak pernah diungkapnya, tapi aku merasa aku bisa mengetahuinya. Ya, aku merasa aku bisa mengerti Ibu, meskipun aku bukan anak kandungnya

Baca juga  Kekayi

“Tidak ada yang namanya bubur kesukaan Ibu, Dik. Lagipula, mana ada orang sakit yang bisa membedakan bubur nasi baru masak dan bubur dingin?”

“Kau sendiri dengar kata-kata dokter bahwa sekarang Ibu hidup di dunianya. Ia tidak peduli pada apa pun yang kau taruh di dalam mangkuknya.”

Tidak akan kulupa apa yang dikatakan kakak-kakak perempuan Mas Pri kepadaku dua hari lalu. Saat itu, Ibu baru keluar dari rumah sakit dan kedua anak perempuannya datang menemani.

“Dik! Ke sini dulu sebentar! Ibu perlu sesuatu!”

Teriakan Mas Pri terdengar dari arah kamar. Khayalanku langsung terputus. Kuangkat pandang dari atas kompor hanya untuk menjawab, “Sebentar, Mas!” lalu bergegas mengecek kondisi bubur, menambah sedikit air kaldu ke dalam panci, sebelum melangkah keluar dapur. Jika Ibu benar perlu sesuatu maka Mas Pri pasti akan kesulitan menebak apa yang diinginkan Ibu, kecuali aku ada di sana untuk membantu menerjemahkannya. Atau, apakah masa kebisuan Ibu telah berakhir dan kini dia bisa bersuara lagi?

***

Sehari setelah Bapak meninggal, Ibu adalah kebisuan yang hidup. Beban kehilangan terpahat jelas pada wajahnya, pun sepasang matanya yang selalu berembun. Kepergian Bapak akibat kecelakaan memang sangat mengejutkan. Tidak ada yang mampu membayangkan seberapa besar duka Ibu sehingga mampu membuatnya berubah begitu rupa.

Duka itulah yang kami tuduh sebagai penyebab perubahan Ibu pada awalnya, juga sederet penyakit yang mendadak menyerangnya. Yang kami tuntut ketika pada suatu hari Ibu tiba-tiba mulai berbicara dan mau makan, tapi menolak mengenal Bapak. Yang kami maki saat perlahan tapi pasti Ibu mulai sering melupa, mengomel, menuntut, mengulang-ulang kata, pertanyaan, tindakan, bahkan menghapus nama-nama dan kenangan atas nama kami dari album ingatannya.

Sejak saat itu, Ibu hidup dalam dunianya sendiri.

***

Kata Mas Pri, Ibu meminta ros.

“Baiklah. Akan kuambilkan sebatang. Ibu mungkin kangen pada mawarnya,” ucapku, lantas menuju teras depan.

Ros adalah mawar bagi Ibu. Bunga kesayangannya yang, konon katanya, ditanam saat dia masih perawan. Tanaman mawar Ibu memang seolah sudah menyatu di sudut teras. Semasa Bapak hidup, memangkas ranting mawar adalah tugasnya. Setelah Bapak tiada dan Ibu mengasingkan diri dalam dunianya, akulah yang melakukan tugas itu.

Baca juga  Tuan Tanah

Kupelajari cara merawat mawar dari Ibu. Kusimak ajarannya tentang guna cacahan pakis, arang, vetsin, bahkan kulit pisang, pada mawar. Kuperhatikan pula gerak tangannya saat memilih kuntum mawar yang tepat untuk dirangkai dan bagaimana cara memotongnya. Maka, tak terkatakan betapa sedihnya aku saat pada suatu pagi Ibu tiba-tiba membentakku.

“Jangan sentuh mawarku! Dasar anak canggung!”

Kejadian kecil itu masih terus kuingat hingga sekarang. Jika Ibu adalah mawar maka itulah kali pertama ia menusukku dengan durinya. Duri yang tumbuh seiring penyakit Alzheimer yang kian kuat mencengkeram Ibu.

“Mas, ini ros untuk Ibu,” kupanggil Mas Pri dari balik tirai kamar. Tanganku terjulur memberikan sekuntum mawar yang mekar sempurna dan batangnya telah kubersihkan dari duri agar Ibu tidak terluka. Setelah itu, kubawa langkahku kembali ke dapur.

Kudapati buburku belum ditinggal pergi seluruh cairannya. Masih ada cukup banyak kaldu yang tersisa untuk membuatnya menjadi bubur dengan tingkat keenceran seperti yang pernah diajarkan Ibu kepadaku dulu. Bubur seperti itu, kata Ibu, cocok untuk mereka yang sedang sakit.

“Jadi, jika suamimu sakit, buatlah bubur seperti yang kubuat ini. Asal kau tahu, aroma nasi masak selalu bisa membuat siapa pun menjadi lapar. Benar, kan?”

Selama ini, aku dan Ibu sangat dekat. Dan, selama itu pula tidak ada yang pernah menyangsikannya hingga tiba-tiba Ibu sendirilah yang mempertanyakan itu.

“Kau siapa? Kenapa kau tinggal di rumahku?”

Ah, Ibu… Penyakit itu benar-benar telah mengubah kepribadiannya serupa mawar yang berduri. Duri-duri yang membuat siapa pun yang hendak mendekatinya bakal terluka, termasuk anak-anaknya.

Kupahami tekanan batin yang harus ditanggung Mas Pri atas pengingkaran Ibu terhadap dirinya, si anak kesayangan. Kucoba pula tidak menyalahkan ipar-iparku saat mereka kompak menjaga jarak dari Ibu. Itulah mengapa aku menguatkan diri untuk bertahan di sisi Ibu meski kehadiranku selalu dipertanyakan dan terkadang tidak diharapkan.

“Kau mencuri mesin jahitku! Aku tidak suka kau ada di sini. Pergi!”

Di hadapan rajaman kerikil kata-kata Ibu, kucoba menguatkan hati. Namun, tidak jarang pula ada kata-kata Ibu yang terasa sangat perih.

“Kenapa kau tidur di kamar lelaki itu?”

“Itu kamar suamiku, putramu, Ibu. Kami sudah menikah.”

“Berapa lama?”

“Sembilan tahun.”

“Anakmu berapa?”

“Belum ada.”

“Kenapa belum ada? Kau pasti mandul seperti bibi tukang cuci itu.”

Demikianlah. Berkali-kali Ibu membuatku patah hati di setiap akhir perbincangan yang seperti ini. Membuatku berdarah nun di dalam, namun rasa sakitnya kutekan kuat-kuat sebab jika kutatap mata Ibu maka apa yang tampak di sana jauh lebih parah daripada luka hati yang kurasakan. Di dalam mata Ibu, ada kehampaan yang mengisap dirinya pelan-pelan dan Ibu tidak sanggup meminta tolong.

Baca juga  Nubuat Pemimpin Akhir Zaman

***

Mas Pri memanggilku lagi.

“Dik! Bagaimana ini?! Ibu terus bilang, ‘Ros… Ros…’ padahal mawarnya sudah kuberikan. Apakah kau salah memilih bunga?”

Sejenak, aku terdiam. Mencoba memahami permintaan Ibu.

“Ah, iya… Aku memang salah. Ibu selalu merangkai mawarnya dulu. Akan kuambilkan lagi yang lain.”

Dalam satu tarikan napas, gegas kumatikan kompor dan berlari meninggalkan dapur. Setiba di teras, hati-hati kupilih kuntum-kuntum mawar yang bila dirangkai sanggup mencipta kombinasi yang indah. Tidak sampai lima menit, aku telah berada di dalam kamar Ibu.

Di hadapanku, Ibu berbaring dengan mata terpejam. Tubuh kurusnya kian menyusut.

“Ros… Ros…,” kudengar suara Ibu melirih.

“Iya, Ibu. Ini rosnya… Masih segar, lho. Juga wangi…”

Kuangsurkan tanganku mengusap le ngan Ibu—begitu kering; begitu tipis. Lalu, untuk menyisipkan bunga, kuangkat jemari Ibu—begitu kecil, juga rapuh.

“Ros… Ros…,” Ibu tetap bergumam.

“Iya, Ibu. Rosnya di sini. Di depan, Ibu. Lihatlah…”

Dengan sabar, kunanti kelopak mata Ibu bergerak. Begitu terbuka, kepadanya kuberikan senyuman. Saat itulah, tiba-tiba sebelah tangan Ibu terangkat, menyentuh pipiku.

“Ros…,” bisiknya halus dan hati-hati bagai sedang berusaha mengukir kata itu di udara. Sesaat, kubiarkan mata Ibu menahan mataku. Dan bagai mimpi, kulihat mata itu tersenyum, sebelum kemudian padam untuk selamanya.

Ah, Ibu. Aku tahu kalau pada akhirnya, melampaui rasa sakit dan air mata, aku bisa meraihmu. Menjelang detik-detik terakhirmu, kau bisa mengenaliku sebagai menantumu dan memilih untuk memanggil namaku: Ros, dari Rosiana Almira.

Selamat jalan, Ibu. Bahagialah kau bersama Bapak di sana. ***

 

 

ANINDITA S. THAYF lahir 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara 1 lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014). Sedangkan novel Jejak Kala (Sheila, 2009) mendapatkan penghargaan Sastra Jogjakarta 2010 dari Balai Bahasa Jogjakarta. Kini tinggal di Jogja.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

4 Comments

Leave a Reply

error: Content is protected !!