Cerpen Aris Kurniawan (Media Indonesia, 06 November 2016)

Ziarah Terakhir ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
SUDAH saatnya Bardi membuka kisah rahasia antara ia dengan mendiang istrinya kepada mereka. Bardi tahu, ini tidak penting bagi mereka, tapi ia harus menceritakannya. Sore itu seusai membersihkan kuburan mendiang istrinya, Bardi berencana mampir ke rumah anak dan menantu tirinya. Bardi berdiri dekat persilangan hendak menyeberang, tiba-tiba sepeda motor yang dikendarai tiga remaja tanggung melaju kencang ke arahnya.
Sepuluh tahun lalu, Bardi telah meminta maaf kepada anak dan menantu tirinya, dan mohon diperkenankan sesekali datang ke rumah itu untuk sekadar mengenang mendiang istrinya. Mereka tak sepenuh hati memaafkan Bardi, tapi tak sampai hati mengusir laki-laki itu saban ia datang. Pada tahun pertama hampir saban Jumat Bardi ziarah ke kuburan istrinya dan mampir ke rumah anak tirinya. Bardi akan berdiri lama memandangi setiap jengkal teras dan pekarangan sebelum mengetuk pintu. Anak tirinya akan muncul dan menatapnya dengan bosan. Anak tirinya menyilakannya duduk di kursi teras dan memberinya segelas teh. Tahun-tahun berikutnya Bardi makin jarang mampir. Anak dan menantu tirinya mulai sebal dengan kunjungan Bardi. Mereka tak lagi membuatkan teh. Lima tahun terakhir Bardi hanya datang setahun sekali.
Bardi tak punya pekerjaan, tepatnya pemalas. Ia selalu keluyuran dengan sepeda motor kebanggaannya. Usia pernikahan Bardi dengan perempuan itu lebih dari 20 tahun, dan selama itu ia seperti benalu. Anak dan menantu tirinya sangat membencinya. Setiap hari kegiatannya hanya mengelap sepeda motor yang sudah mengkilap, lalu duduk di teras sambil merokok dan minum kopi seusai mengantar istrinya ke pasar subuh-subuh mengurus toko warisan suami terdahulu. Sore Bardi keluyuran. Ia tak pernah membantu menantunya membetulkan pagar yang rusak, pekarangan yang kotor, atau got yang mampat di belakang dapur.
Cuek saja Bardi duduk selonjor sembari menghirup kopi dan memandang pohon mangga di halaman. Dari mulutnya kadang terdengar siulan kepada burung-burung yang hinggap di dahan pohon mangga. Ia akan mengadu pada istrinya bila anak atau menantu tirinya berani menyuruhnya membantu membereskan got mampat atau atap bocor. Itu pernah terjadi dan akibatnya ibu dan anak itu bertengkar hebat, dan tak saling menegur beberapa lama.
Pertengkaran bisa meletup sewaktu-waktu dengan penyebab yang kurang lebih sama. Itu yang membuat anak dan menantu tirinya makin memusuhi Bardi. Tapi Bardi tak peduli, bahkan terlihat makin jumawa karena merasa dibela oleh istrinya. Bardi bertemu perempuan itu di bioskop, kota kecamatan. Demikian yang didengar anaknya dari cerita orang-orang. Yang mempertemukan mereka adalah pemilik warung kopi, merangkap warung remang-remang. Perempuan itu belum lama menjanda setelah ditinggal mati suaminya. Ia seperti penganut hidup tanpa pasangan adalah penderitaan. Begitu lepas masa idah, ia segera berburu laki-laki. Waktu itu anaknya yang memasuki masa akhir remaja kesal melihat ibunya seperti perempuan nakal.
Ia menikah dengan Bardi, bermodal harta warisan suami pertama. Dengan harta warisan pula ia membiayai Bardi hidup berleha-leha. Anak dan menantu tirinya heran, bagaimana ibu mereka begitu mencintai laki-laki itu. Padahal Bardi tidak tampan—bahkan bisa dikatakan jelek, tidak pula pintar merayu. Tapi ibunya selalu membela Bardi dan memperlakukannya seperti anak bungsu yang manja. Anak dan menantu tirinya curiga Bardi punya pengasihan, semacam pelet.
Tak jarang mereka melihat ibunya yang kelelahan sepulang dari pasar tergopoh-gopoh membuatkan sirup dan mengupaskan mangga untuk Bardi yang seharian menonton tivi dan membolak-balik majalah. Perempuan itu bahkan meminta maaf ketika Bardi mengomentari caranya mengupas mangga yang kurang mulus. Lalu, sembari bersungut-sungut Bardi mengajari perempuan itu cara mengupas mangga. Gemas sekali anak dan menantu tirinya menyaksikan adegan itu. Ingin rasanya menempeleng dan membenturkan muka Bardi ke lantai. Tapi mereka tak bisa apa-apa. Ketika anaknya mau membicarakan hal itu, perempuan itu langsung menyambar, “Tak usah mengajari orangtua. Kalian tak tahu apa-apa!”
Setiap kesempatan mereka berdoa supaya Bardi lekas mampus. Ditabrak truk saat mengendarai motor. Doa itu tak kunjung terkabul. Bardi justru makin segar bugar. Motornya malah ganti lagi dengan model baru. Tentu dari uang jerih payah ibunya berjualan di pasar.
“Aku mau ke kota, Mam, nonton drama. Bosan di rumah. Mami tak perlu ikut. Siapkan saja uang jajanku,” ujar Bardi, suatu sore.
“Pergilah, Pi. Kamu memang butuh hiburan,” sahut perempuan itu sambil memasukkan uang ke saku kemeja Bardi, tanpa bertanya-tanya lagi. Anak dan menantu tirinya yang mendengar percakapan itu dari ruang sebelah serasa ingin muntah. Mereka mendadak kenyang oleh rasa muak. Begitu suara motor Bardi hilang ditelan jalanan, anaknya langsung protes pada ibunya. Pertengkaran pecah kembali.
Esoknya, ketika Bardi sedang duduk menikmati kopi seperti biasa. Anak dan menantu tirinya tak tahan lagi. Gara-garanya roda motor Bardi melindas pohon sirsak yang baru ditanam kemarin. Mereka mencaci-maki Bardi. Laki-laki itu menatap mereka dengan sorot mata melecehkan dan sedikit mengancam. Mereka sudah tak peduli lagi Bardi bakal mengadukan kejadian ini kepada istrinya, yang pasti akan menyalakan kemarahan perempuan itu.
Itu benar-benar terjadi. Sepulang dari pasar, tanpa aba-aba ibu mereka langsung mengamuk. Ia menendang pot-pot bunga di teras hingga pecah bergelimpangan, mencabuti pohon pohon-pohon sirsak yang baru ditanam, mengobrak-abrik dan membuang buku-buku koleksi anak dan menantunya dari lemari ke halaman sambil mencaci maki. Puncaknya adalah mengusir anak dan menantunya keluar dari rumah.
“Pergi kalian. Anak durhaka. Tak tahu sopan santun.”
Demi menjaga harga diri, apa boleh buat, anak dan menantunya benar-benar pergi. Pindah dan mengontrak rumah milik tetangga sebelah. Berminggu-minggu anak beranak tak saling menyapa. Namun sesudahnya, menurut para tetangga, perempuan itu sering menangis, menyesali pengusiran itu. Para tetangga bilang, ibu meminta mereka kembali. Tapi anak dan menantunya enggan kembali. Mereka bilang tidak akan kembali sebelum Bardi keluar dari rumah itu.
Meski begitu anak dan menantunya terus memantau perkembangan ibu mereka. Hari ke hari ibu terlihat makin kurus. Utangnya mulai numpuk. Mereka iba dan ingin kembali, tapi gengsi dan malas bolak-balik mengangkut barang-barang. Sampai suatu hari para tetangga berteriak memanggilnya, memberitahu darah tinggi ibu kambuh. Perempuan itu jatuh begitu turun dari becak. Mereka membawa ibu ke rumah sakit. Tiga hari kemudian ibu meninggal di ruang ICU. Pembuluh darahnya pecah. Sebelum meninggal, perempuan itu berpesan kepada anak dan menantunya supaya Bardi tetap tinggal bersama mereka dan mengurus laki-laki itu. Bardi baru muncul ketika jasad istrinya siap diusung ke pemakaman. Laki-laki itu menangis di sisi keranda mendiang istrinya.
***
Bardi meraba pusara berlumut itu. Ia membersihkan lapisan lumut di permukaan pusara seperti memunculkan kembali ingatan pada pertemuan pertamanya dengan perempuan itu. Pertemuan yang sama sekali bukan di gedung bioskop. Pemilik warung remang-remang itu tak pernah mempertemukan mereka. Semua telah direncanakan Bardi. Saat itu ia baru pulang dari perantauan. Ia telah menyurati Ramini untuk rencana pertemuan mereka di depan warung seberang bioskop.
“Bardi, kau benar-benar kembali,” ujar Ramini, gugup campur bahagia. Lama sekali Bardi meninggalkan desanya, tepatnya meninggalkan orangtuanya untuk mengejar impian menjadi pemain drama. Cinta menggebu Ramini tak dapat menahan Bardi.
Sejak remaja Ramini tinggal bersama keluarga Bardi sebagai pembantu. Gadis itu hanya satu dari sekian pembantu di rumah juragan bawang paling terpandang di desanya. Entah kebetulan atau tidak, sepeninggal Bardi, orangtuanya perlahan-lahan jatuh bangkrut. Tapi Ramini tetap tinggal bersama mereka tanpa dibayar dengan harapan Bardi akan kembali dan menikahinya.
Sekian lama menunggu, Bardi tak kunjung kembali. Akhirnya Ramini melupakan cinta pertamanya dan menikah dengan putra saudagar bawang dari desa sebelah. Rumah tangga mereka berjalan tanpa hambatan. Menghasilkan seorang anak yang sehat dan memperkokoh ikatan perkawinan. Namun, ketika anak Ramini tumbuh remaja, ia mendengar Bardi kembali dari perantauan. Kepulangan itu bukan untuk Ramini. Tapi Ramini diam-diam menemuinya. Ia mencegatnya di pinggir desa saat Bardi hendak kembali berangkat. Dengan rindu yang menggebu, mereka ngobrol panjang sekali di warung makan, di dermaga tua, di tepi gerumbul bakau.
“Ramini, pulanglah. Aku mau berangkat sekarang. Nanti kusurati kamu.”
Surat yang dijanjikan Bardi datang belasan tahun kemudian untuk janji pertemuan mereka di warung seberang gedung bioskop. Waktu itu, Ramini telah menjanda. Itulah rahasia yang tak sempat Bardi ceritakan kepada anak dan menantu tirinya. Bardi tak sempat menghindari sepeda motor yang melaju kencang ke arahnya. Ia terpental dan jatuh dengan kepala membentur tembok pembatas kuburan. (*)
2016
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, dan esai untuk sejumlah media. Buku fiksinya yang sudah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (2005), Lari dari Persembunyian (2007).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id
cappriccine
Ceritanya terjalin dengan apik dan twist di endingnya memberi kejelasan yang ‘nggantung’. Tapi yang pasti, membekas di kepala (mungkin karena merasa relate; enggak jarang juga lihat ibu-ibu bertingkah tidak rasional rasanya–dan saya selalu pingin tahu kenapa mereka seperti itu sebenarnya).
NHalverson23
Cerita dibalik rahasia. Maaf Bardi, semuanya terlambat. Bahkan Tuhan tak mengizinkan engkau membuka mulut sekadar membuat yang tersakiti tahu :,)
Nggak ketebak. Aku kira bener-bener dipelet. Ternyata cinta tulus yang membuatnya terbuta dengan sekitarnya.