Cerpen Ernita Dietjeria (Koran Tempo, 05-06 November 2016)
KABUT awal musim dingin mengapung di sepanjang Michigan Avenue di jantung downtown Chicago. Dia merapatkan mantel untuk menahan angin dari arah Danau Michigan yang mulai mengiris ngilu tulang-tulangnya. Langkahnya lebar menapak trotoar kelabu yang basah. Ketukan stiletto yang membungkus kakinya berbaur derap langkah pejalan kaki lainnya. Pagi itu, dia memilih satu panggung untuk beraksi: Magnificent Café.
Dia mendorong pintu kaca kafe yang dingin dan berembun. Hawa hangat berbaur aroma kopi dan roti cinnamon menyambut kedatangannya. Meja-meja kecil dipenuhi pengunjung yang sibuk menikmati kopi sambil menyimak koran pagi.
Sejenak dia hanya berdiri di depan pintu, menyisir setiap sudut ruangan dengan tatapan awas sebelum bergabung dalam antrean pengunjung di depan meja kasir. “Kopi reguler, to go,” pesannya singkat pada kasir yang melayaninya dengan kecepatan yang mengesankan.
Setelah membayar dan menerima pesanan, dia melanjutkan antrean di meja panjang tempat gula, susu, krim, madu, dan pengaduk tertata. Jemarinya yang panjang dan lentik mencampurkan gula dan krim ke dalam kopi dan mengaduknya perlahan. Di sisi kirinya, seorang lelaki muda bersetelan jas hitam melakukan hal serupa. Lelaki itu tampak kerepotan dengan segulung koran terkepit di ketiak, mantel tersemat di lengan kiri, dan tas kerja tersampir di bahu kanan.
Bayangan Chicago May melesat di sudut matanya. Beberapa detik dia sempat ragu sebelum memberikan satu senggolan kepada lelaki itu. “Oh, sorry,” bibir merah mudanya membentuk senyuman menggemaskan. Sekilas jemarinya menyentuh lembut lengan jas lelaki itu.
“No problem.” Lelaki itu memandangnya lembut seraya tertawa kecil.
Dia mengangguk lantas melangkah tenang menuju pintu dengan kopi di tangan. Gemuruh kemenangan menabuh dadanya. Namun tepat di depan pintu, langkahnya terhenti oleh sentuhan pelan namun tegas yang menekan lengannya.
Serta-merta dia menoleh dan menatap seorang lelaki bermantel panjang dan berambut ikal tersenyum ganjil padanya. “Luar biasa,” bisik lelaki itu.
Dia menarik wajah, melerai lengannya dari sentuhan lelaki itu dengan gerakan cepat.
“Tidak segampang itu,” bisik lelaki itu.
Sepasang matanya mengerjap dan membundar seolah-olah menunjukkan dia sama lugunya dengan seorang bocah balita.
“Maaf, aku tidak mengerti maksud Anda.”
Seringai lelaki itu diikuti suara lambat, penuh ancaman, “Jangan berlagak bodoh. Aku tahu apa yang kau lakukan pada lelaki itu. Ini wilayahku, bitch.”
Dia mengangkat dagu dan lekas berpikir: Apa yang akan dilakukan Chicago May di saat seperti ini? Waspada, dia menoleh ke kiri dan ke kanan sambil meneguk ludah. Dia ingin bertahan, namun gagal. Tangannya yang sedikit gemetar menyusup ke dalam mantelnya dan meraba sesuatu. Sekejap saja, sebuah dompet berwarna cokelat telah berpindah ke balik mantel lelaki itu.
Kekeh kemenangan terdengar redup dari mulut lelaki itu. Hanya dua detik, lalu berubah suara mengaduh pada detik berikutnya.
Seorang perempuan tua menubruk lelaki itu sembari menatap jengkel. Tubuhnya yang mungil dan ringkih bertopang sebilah tongkat kayu. “Anak muda, jangan berdiri di depan pintu! Kau hanya menghalangi lalu-lalang pengunjung!” suaranya melengking serak.
Serentak pengunjung kafe menatap ingin tahu. Lelaki itu terkesiap, buru-buru minta maaf kepada perempuan tua dengan setengah membungkuk.
Dia menarik napas, tak lagi peduli, bergegas mendorong pintu dan meninggalkan lelaki itu bersama omelan panjang si perempuan tua.
Langkahnya cepat menyusuri trotoar kelabu. Sekejap saja sosoknya telah menyatu dalam arus pejalan kaki yang gegas ke tujuan masing-masing. Di dekat gang sempit di sebelah toko bunga, dia berhenti sambil mengamati situasi.
Degup jantungnya yang tadi terasa cepat kini melambat. Dia merapatkan mantel dan menghirup kopi guna mengusir hawa dingin. Uap putih menerobos ke luar dari mulut dan hidungnya, mengulir membentuk samar sosok Chicago May.
MEI 1893. Chicago penuh ingar-bingar pelancong dari segenap penjuru dunia. Semuanya ingin menyaksikan Chicago World’s Fair, pekan raya dunia yang melibatkan peserta dari puluhan negara.
Di antara pengunjung, May Duignan tampil mengesankan dengan topi dan gaun renda. Keramaian itu merupakan arena bermain menggiurkan yang m ungkin tidak akan dia temukan di mana pun, termasuk New York City, kota yang sempat ditinggalinya untuk mengasah kelincahan gerak-gerik jemarinya yang lentik. Bisa dipastikan, selama beberapa bulan ke depan dia akan memperoleh penghasilan yang bisa menopang dirinya melewati musim dingin yang kejam.
Strategi telah tersusun rapi. May Duignan tahu, tikus-tikus got tengah berkeliaran mengintai mangsa di bawah perintah Michael Cassius McDonald, yang dikenal dengan julukan King Mike. Namun dia tidak gentar akan kepala gangster yang rajin menyuap pihak berwenang itu. Di tubuh mereka, sama mengalir darah Irlandia, darah orang-orang nekat yang tertindas di tanah mereka sendiri dan di negeri asing.
Masih jelas tertera di benak May Duignan, betapa nyeri diskriminasi saat dirinya menapak Amerika yang dipuja sebagai tanah kebebasan berlumur madu. Lowongan pekerjaan tersedia, namun tidak untuk imigran Irlandia yang dianggap pemabuk, beringas, tak berpendidikan, dan lebih nista harkatnya daripada seekor anjing buduk.
Tak banyak pilihan jika ingin bertahan hidup. Untungnya, May Duignan meyakini satu hal yang enggan diakui mayoritas bahwa dunia kriminal bukan hanya milik kaum lelaki. Perempuan pun bisa mengangkanginya. Dengan keanggunan, keramahan, dan tutur lembut, perempuan mampu memerangkap mangsa semudah laba-laba black widow menjerat santapan.
“Menyebar ke segenap penjuru. Pilih mangsa yang tepat,” demikian perintahnya kepada gerombolannya, perempuan-perempuan santun bergaun rapi yang membawa bocah-bocah dan bayi-bayi montok sebagai tameng dan penarik simpati.
Perempuan-perempuan itu, mereka yang tadinya cuma jadi bulan-bulanan lelaki bengis, mereka yang hanya diupah separuh dari upah pekerja lelaki meski telah banting tulang sedari subuh hingga lewat senja, kini bisa bersorak. Di bawah kepemimpinan May Duignan, semua mendapat upah layak.
Tentu saja mereka tidak pernah datang serentak guna menghindari wasangka. May Duignan tahu, kepala kepolisian Chicago yang korup telah mengadakan perjanjian dengan King Mike bahwa pencopetan tidak akan terjadi di gerbang masuk pekan raya untuk menghindari kehebohan pengunjung dan pihak penyelenggara.
Ini adalah kesempatan emas bagi May Duignan. Rasanya dia ingin terbahak sekeras-kerasnya di depan wajah merah padam si kepala gangster. Bisa dipastikan, tak seorang pun menduga komplotan perempuan mampu merebut lahan King Mike dan tikus-tikus got pengikut setianya itu dengan cara yang lebih jitu dan elegan.
“Ingat,” pesan May Duignan kepada pengikutnya. “Selipkan hasil copetan kalian di balik korset dan topi, di sela popok bayi-bayi, dan di balik lipatan kaus kaki para bocah. Jika kalian terpojok, gunakan rayuan dan air mata.”
Tidak cuma mencopet tentunya, karena pekan raya dunia itu menawarkan mangsa yang begitu rapuh, yakni para pelancong lelaki yang iseng dan kesepian. Memerangkap korban jenis ini dilakukan semudah mencungkil kotoran dari balik kuku. May Duignan akan membujuk dan membawa korbannya ke tempat senyap di bawah intaian pengikutnya. Rayuan seronok dia umbar hingga mangsanya terlena. Lalu, dengan satu gebukan, sang mangsa pun roboh, tak sadarkan diri.
Mereka kemudian merampas semuanya, jas, dompet, arloji saku, manset, cincin, topi, dan sepatu kulit. May Duignan akan meninggalkan sedikit uang dan sebutir permen di kantong korban untuk ongkos pulang dan pemanis lidah yang pahit.
MAY Duignan telah meramalkan bahwa cepat atau lambat popularitas sumbang itu akan datang menghantam dirinya. Aksinya terendus aparat dan penduduk Chicago yang terlebih dulu resah oleh aksi H.H. Holmes, pembunuh berantai yang memutilasi korban-korbannya di sebuah hotel yang dirancang mirip labirin tak jauh dari arena pekan raya.
Bibir penduduk Chicago bergetar kala menyebut nama yang mereka reka sendiri: Chicago May, si penjahat bergaun renda. Sebuah titel kehormatan yang membuat May Duignan tersenyum puas. Sensasi ganjil timbul saat dia tahu poster dirinya bergaun renda terpampang di setiap sudut jalan dengan kalimat yang dicetak tebal: WANTED. DEAD OR ALIVE. MAY DUIGNAN ALIAS CHICAGO MAY. $5,000 REWARD.
May Duignan tidak peduli jika orang-orang menistanya, karena dia tahu di sudut-sudut jalan sesungguhnya tidak sedikit pula bisik-bisik mengelukannya, “Dia, Chicago May, perempuan bergaun renda yang berani menentukan nasibnya sendiri di tengah kondisi kota yang korup dan karut-marut.”
Bunyi klakson terdengar nyaring. Seketika sosok maya Chicago May pecah digulung angin dingin. Dia mengangkat wajah dan melihat sebilah tongkat kayu menyembul dari balik jendela taksi yang sudah menunggunya di pinggir jalan, tepat di depan toko bunga.
“Bagus,” gumamnya seraya melempar sisa kopi ke dalam tempat sampah lalu bergegas masuk ke dalam taksi. Senyumannya tertuju pada perempuan tua yang sudah duduk tenang di jok belakang. “Bagaimana menurutmu?”
Perempuan tua terkekeh lalu memberi isyarat jalan pada sopir taksi. “Kau belum selihai Chicago May. Tapi tak mengapa, ini hanya permulaan. Kau akan bertambah mahir seiring waktu.”
“Nyaris saja nasibku berakhir konyol,” sahutnya sambil mengetuk dahi dengan dua jemari.
Tangan si perempuan tua mengibas udara. “Lelaki berengsek itu seorang amatir yang cuma pandai menggertak. Tapi kau tentu tahu, kita bukan amatir sebab setiap hari kita berlatih untuk mencapai kesempurnaan.”
“Tentu, berlatih mutlak kuperlukan, terlebih di kota besar seperti Chicago yang dipenuhi pesaing macam si berengsek itu. Aku benar-benar lega, kau muncul pada waktu yang tepat ketika aku sudah kehabisan akal.”
“Semuanya sudah lewat pertimbangan matang.” Sejenak perempuan tua diam, lalu merogoh tas di pangkuannya dan meraih sebuah dompet cokelat. “Nih, isinya lumayan.”
“Astaga, kau mencopetnya lagi dari si berengsek itu?”
Perempuan tua menggoyang-goyangkan jemarinya yang panjang dan kurus. “Ya, aku berhasil menyambar dompet itu dari balik mantelnya saat aku menubruknya.”
Dia mengembuskan napas. Seluruh tubuhnya yang sempat menegang kini terasa rileks. “Terima kasih. Tanpa kau, mungkin semuanya akan gagal.”
Sepasang mata perempuan tua menatapnya dalam. “Seperti yang selalu dikatakan Chicago May, dalam dunia yang keras, kita tidak pernah beraksi sendirian. Kita selalu membutuhkan dukungan.”
Dia mengangguk seraya menoleh ke luar jendela. Hari itu begitu mengesankan sekaligus mendebarkan, membuatnya tak sabar untuk segera beraksi kembali. Taksi melaju perlahan di sepanjang Michigan Avenue yang semakin padat oleh manusia. Di antara para pejalan kaki, matanya mengerjap menangkap kelebat Chicago May yang melangkah anggun dengan topi dan gaun renda. (*)
Ernita Dietjeria tinggal di Kentucky, Amerika Serikat.
Leave a Reply