Cerpen, Muhajir Arrosyid, Radar Surabaya

Malam Gerimis Seekor Anjing Menyeret Kakinya

0
(0)

Cerpen Muhajir Arrosyid (Radar Surabaya, 02 Oktober 2016)

Malam Gerimis Seekor Anjing Menyeret Kakinya ilustrasi Fajar - Radar Surabaya-1

Malam Gerimis Seekor Anjing Menyeret Kakinya ilustrasi Fajar/Radar Surabaya

Saudara seanjingnya banyak yang berakhir di lidah Markham. Mereka digorok kemudian dipanggang, disantap malam-malam sambil bermain gaple sebagai teman minum ciu. Maka ketika ia mencium keringat manusia, ia segera bersembunyi. Jika itu Markham dan teman-temannya, bisa habis riwayatnya.

Malam gerimis. anjing menyeret satu kakinya yang terluka. Matanya melotot menahan sakit. Kolong jembatan, tempat tinggalnya masih jauh. Ia menjatuhkan daging yang ia curi. Pelan-pelan ia habiskan daging ayam yang gurih.

Anjing kurap itu melanjutkan perjalanan. Jika kakinya normal, sambil berlari, Kurap hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai di kolong jembatan. Karena kakinya pincang, perlu waktu 30 menit untuk sampai ke sana. Sebentar-sebentar Kurap istirahat. Kurap mengumpat jika luka di kakinya ngilu: Dasar Saripah gila, pelit sekali manusia itu, rakus.

Saat ia lewat di sebuah rumah yang depannya terdapat patung singa, seekor anjing besar menyalak. Itu bukan salakan persahabatan. Itu adalah salakan usiran dan ajakan berkelahi. Mendengar itu Kurap berhenti sambil menggerak-gerakkan ekor. Si anjing yang ia ketahui bernama Surya mengerang. Surya menyalak lebih keras dan mondar-mandir. Kurap menatap mata Surya, Surya tidak bisa berbuat banyak karena terkurung oleh pagar rumah. Pagar adalah pagar, meski terbuat dari emas sekalipun, membatasi.

Kurap lebih bahagia menjadi anjing bebas. Menjadi anjing peliharaan seperti Surya memang makannya terjamin, dielus-elus setiap hari tetapi tidak merdeka. Dunianya sebatas pagar rumah. Mending seperti dirinya, hidup bebas, bisa kemana saja sesuka hati, meskipun untuk sekedar makan kadang mempertaruhkan nyawa, tetapi itulah tantangan seekor anjing. Bagi dia, menjadi anjing peliharaan itu kurang anjing.

Kurap melanjutkan perjalanan. Ia menerabas hujan. Saat melewati rumah berlantai dua Kurap berhenti. Ia mendengar namanya disebut-sebut. “Dasar anjing kurap, kamu tega-teganya menghabiskan uang untuk membeli pakan burung sedangkan aku dan anak-anak, kau biarkan kelaparan.” Kata sang istri. Terdengar suara “pyar”, “buk”, “dug”.

Kurap menjilati lukanya. Tempat tinggalnya masih separuh perjalanan lagi. Dia mengibas-ngibaskan bulunya yang basah. Bintik-bintik air muncrat. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang paling tidak bertanggung jawab, jika mereka melakukan kesalahan mereka menyalahkan iblis, jika mereka meluapkan kemarahan, mereka membandingkannya dengan anjing, celeng, kambing. Orang mengumpat peselingkuh dengan umpatan anjing, mengumpat pencuri juga dengan umpatan anjing. Apa salahnya anjing, kok selalu dibawa-bawa dalam kehidupan manusia? Manusia itu makhluk yang aneh.

Perjalanan masih jauh, hujan semakin deras. Kurap menggigil. Ia menimbang-nimbang antara menerobos lebat hujan atau ngiyup menunggu hujan reda. Jika ia lekas sampai, ia bisa menghangatkan tubuhnya di perapian yang dibuat Mbok Jah. Mbok Jah adalah teman manusianya yang paling berperikehewanan. Mbok Jah adalah tetangga baik, antara Kurap dan Mbok Jah saling menghormati, saling menjaga.

Kurap berhenti di trotoar. Kakinya menggigil. Darah yang keluar terlalu banyak. Ia meringkuk di trotoar dan memejamkan mata. Ia mendengar ada mobil berhenti di depannya. Jika itu Markham, si jagal anjing, riwayat Kurap berakhir malam itu. Kurap tidak mampu membuka mata ketika seseorang mengangkat tubuhnya dan memasukkannya ke sebuah ruangan.

Baca juga  Habis

Ruangan itu adalah sebuah mobil. Tubuh Kurap hangat karena diselimuti jaket. Di mobil itu ada dua orang lelaki. Yang satu mengendalikan mobil, dan yang satunya mendampingi Kurap. Sesekali tangannya mengelus-elus kepala Kurap.

“Mengapa kamu mengambil anjing kampung itu Frans?” Seru seseorang yang menyetir yang ternyata bernama Jhon.

“Aku ingin memelihara anjing, Sayang.” Jawab Frans, laki-laki yang mendekap Kurap.

Jhon tidak suka memelihara anjing. Sebagaian manusia menyukai anjing, mereka merawat seperti anak kandung. Sebagian yang lain membencinya bahkan teramat membenci. Anjing adalah perwujudan setan yang tampak. Orang sejenis ini, jika melihat anjing cepat-cepat mencari golok, jika tidak ada golok mereka mengangkat batu.

Kurap berharap mereka melepaskannya. Kurap tidak suka menjadi peliharaan. Menjadi anjing peliharaan itu tidak leluasa. Hidup hanya sebatas pagar. Namun Kurap malam ini memang butuh pertolongan. Dia merasa harus berterimakasih dengan jenis manusia seperti Frans. Kurap butuh jaket Frans untuk menghangatkan tubuh. Kurap butuh obat untuk memulihkan luka, dan butuh susu untuk mengembalikan tenaga. Setelah itu Kurap berharap mereka melepaskan.

“Bukan begitu”, kata Jhon. “Mengapa kamu tidak membeli anjing yang sehat di toko hewan, jelas asal usulnya? Di sana kamu bisa mengambil anjing bagus dari ras luar negeri, bulu-bulunya panjang.”

Rupanya Jhon tidak suka dengan kehadiran Kurap. Tapi Frans jatuh cinta kepada Kurap. Frans tahu cara melunakkan dan mengubah sikap Jhon. Jhon akan luluh jika telinganya dielus, dan rambut-rambut di dadanya diraba.

Saat melewati pagar rumah dan pintu mobil dibuka, Kurap ingin melompat keluar dan lari sekencang-kencangnya. Kurap benci dibanding-bandingkan dengan anjing ras lain. Anjing kampung sepertinya memang tidak layak dipelihara. Hanya pantas menjadi anjing gelandangan. Kalaupun ada yang memelihara, mereka hanya seorang pemulung yang tinggalnya di rumah-rumah reyot yang berdiri di tanah milik negara. Kurap ingin melompat, tetapi apa daya, kaki-kakinya belum kuat. Masih menggigil karena luka dan dingin.

Kurap pasrah ketika laki-laki bernama Frans mengangkatnya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tubuh Kurap dibersihkan, kemudian luka diobati. Setelah tubuhnya kering, Frans menghidangkan seonggok daging.

“Duduk di situ dulu Jhon, biar rambutmu aku keringkan.” Frans menyuruh Jhon untuk duduk di kursi rias. Jhon nurut saja. Di depan Jhon terdapat cermin yang memantulkan wajahnya yang ditumbuhi jambang, tumbuh rambut tipis di dadanya yang masih basah.

Jhon dan Frans membelakangi Kurap. Kurap bisa melihat mereka dari pantulan kaca. Mula-mula Frans mengeringkan rambut Jhon. Setelah kering Frans mengelus-elus bagian belakang telinga Jhon. Jhon diam saja. Ia menyandarkan tubuhnya di dada Frans. Jhon memejamkan mata ketika tangan Frans mulai mengusap rambut-rambut halus yang tumbuh di dada Jhon. Jhon menghela nafas saat tangan Frans menyenggol benjolan yang tumbuh di dada Jhon.

Frans dan Jhon melihat Kurap dari pantulan kaca. “Lihatlah Jhon, anjing itu. Bulunya hitam, matanya jalang. Otot-ototnya kuat. Ia anjing pekerja keras. Sebentar lagi luka di kakinya sembuh. Dia akan jaga rumah kita. Mengantar dan menjemput kita di depan pintu jika kita bepergian. Kamu lihat itu ekornya digerak-gerakkan, tanda dia setuju, tinggal di sini bersama kita.”

Baca juga  Hening di Ujung Senja

Kurap berpikir, nasibnya akan menjadi peliharaan. Dia tidak bisa hidup penuh petualangan, penuh tantangan. Derajat keanjinganku turun. Jika teman-teman seanjingnya tahu bisa ditertawakan dia. Kurap adalah anjing penganjur untuk tetap menjadi anjing bebas. Nanti jika semuanya sudah selesai, tubuhnya sudah pulih, Kurap akan mencari cara untuk lari dan kembali ke lorong jembatan, tempat tinggalnya. Kurap kangen suara Mince, si banci pengamen itu dermawan. Sering melemparkan tulang sisa lauk. Juga dengan Mbok Jah yang meskipun cerewet tetapi penuh kasih. Mereka adalah saudara senasib seperjuangan. Pernah tempat tinggal mereka mau diruntuhkan, mereka kompak menyalak-nyalak kepada petugas penertiban.

Kurap ingat pada waktu itu, malam hari. Suara dari pengeras suara mengabarkan kepada mereka untuk berkemas meninggalkan kolong jembatan karena akan dikosongkan. Tanpa aba-aba mereka mengerang, melengking. Mbok Jah berdiri di barisan paling depan. Sambil melafalkan seluruh isi kebun binatang. Mbok Jah membuka bajunya. Melempar kutangnya, memperlihatkan panyudara yang tidak enak dipandang. Para petugas meletakkan pentungannya dan menutup muka, ada juga yang mengalihkan pandangan. Mince tidak kalah sadis, dia menghampiri petugas yang berada paling depan, kemudian Mince mencium pipi petugas itu, mencium kening, dan berusaha mencium bibir. Kurap tidak mau ketinggalan, dia lari mendekat, menyesar kaki petugas. Kepala Kurap kena pentung. Tetapi karena aksinya itu dia mendapat pujian dari warga kolong jembatan dan mendapat hadiah sepotong daging. Penertiban itu gagal. Pada suatu saat nanti, Kurap ingin kembali di lorong jembatan. Pasti.

“Tapi dia tidak akan kita jadikan sebagai peliharaan.” Kata Frans sambil mendekap Jhon. Mencium lehernya. Jhon memejamkan mata. “Anggap saja anjing itu sebagai anak kita. Tuhan mengirim anjing itu sebagai anak kita. Aku tidak mungkin menghadiahkan anak kepadamu Jhon. Meskipun kita tidur seribu kali, tidak mungkin tumbuh seekor cacingpun dari perutku. Kita anggap saja anjing itu sebagai anak kita.”

Jhon mengangguk tanda setuju. Frans mengajak Jhon bangkit menuju tempat tidur. Sambil saling dekap mereka mengobrol. “Mau diberi nama siapa anak kita ini Frans?” tanya Jhon sambil mengelus punggung Frans yang memancarkan bintik-bintik keringat berwarna jingga.

“Abdul Rahman”

“Hus, anjing kamu beri nama Abdul Rahman, jika orang lain tahu, bisa disembelih kita.” Pangkas Jhon atas usulan nama dari Frans. “Mengapa kamu ingin memberinya nama Abdul Rahman?”

“Itu nama bapakku, Jhon. Aku ingin menghormati bapakku dengan memberi nama anak kita sama dengan namanya.  Bapakku itu yang selalu menanyakan kepadaku kapan menikah, menjodohkanku dengan gadis pilihannya. Karena takut ditanya begitu terus setiap kali pulang, maka aku tidak pulang sekalian. Meskipun aku rindu, ya rindu dengan ibu, adik, kampung halaman.”

Jhon tidak sepakat menamai anak mereka dengan nama Abdul Rahman, meskipun niatnya baik itu dapat membahayakan. Bisa dianggap penghinaan terhadap agama tertentu. Akhirnya Jhon dan Frans menamai anak mereka, Niko. Hal itu terjadi setelah mereka membuka-buka kamus, mencari informasi di internet, dan konsultasi dengan teman-temannya. Sejak malam itu Kurap berganti nama menjadi Niko.

Baca juga  Ibu Kota

Penyambutan Niko sebagai anggota keluarga baru dilaksanakan. Sehabis pulang kantor, Frans membeli berbagai makanan, juga mampir di toko hewan membeli makanan spesial untuk Niko. Ia tidak lupa membeli Vodka untuk pesta penyambutan.

Malam itu, semua pintu ditutup. Musik diperdengarkan. Lantai dua rumah itu dibuat temaram. Niko duduk di atas meja. Ia didandani, di lehernya menjuntai kalung. Frans menyajikan aneka makanan untuknya. Niko hanya menjilat-jilat saja. Ia tak biasa makan makanan seperti ini. Iya biasa makan kadal busuk, bangkai tikus, atau kalau beruntung bangkai kambing.

“Ayo makan sayang, jangan sungkan. Sekarang kamu anggota keluarga kami.” Bujuk Frans kepada Niko.

“Iya, coba yang ini sayang, ayo kunyah anakku. Ini tepung tulang. Bagus untukmu. Agar lukamu cepat pulih. Ini mengandung kalsium yang tinggi, kamu membutuhkannya.” Bujuk John kepada Niko. Akhirnya Niko mencoba makanan itu. Awalnya rasanya aneh, tatapi lama-lama gurih.  Karena makanan inilah Surya dan anjing-anjing yang lain tidak lari dari rumah majikannya, walaupun kadang dibentak-bentak.

Niko di atas kursi menghadap TV, kedua orang tuanya, Frans dan Jhon asik sendiri. Mereka bergelak tawa, saling peluk, berdansa, minum, makan, hingga tersungkur.

***

Di sebuah pagi gerimis, di tempat tidur, Jhon menindih punggung Frans dan membisikkan sesuatu. “Kita tidak bisa terus-terus begini sayang,” bisik Jhon kepada Frans. Frans tidak menjawab, tapi raut mukanya berubah. Jhon mengulanginya dengan suara lebih keras. “Kita tidak bisa terus menerus begini. Kita…” Jhon menelan lagi perkataannya.

“Kenapa kita tidak bisa begini terus Jhon? Kita bahagia. Sekarang malah kita punya momongan. Apa yang kurang? Apakah ada yang kurang denganku? Semua sudah aku berikan kepadamu.”

“Maafkan aku Frans, aku ingin kembali normal. Aku ingin punya anak manusia, bukan anjing seperti ini. Aku didesak kakakku untuk segera menikah. Mereka mencarikan jodoh untukku.”

Frans bangkit. “Bangun Jhon dan segera tinggalkan rumah ini. Kamu manusia tidak bisa balas budi. Kuliah dibiayai, setelah lulus mengkhianati. Pergi.” Jhon pergi pagi itu juga. Meninggalkan Frans yang melolong-lolong. Niko hanya menyaksikan adegan itu. Niko mengantar Jhon sampai ke pintu. “Jaga Frans baik-baik”, begitu kata Jhon setelah mencium Niko dan meninggalkan pagar rumah.

“Jhon!” Frans melengking, kakinya bersimpuh, wajahnya menengadah. Air matanya bercampur dengan keringat yang mengalir bagaikan sungai, turun melewati leher, dadanya yang pualam, perut, dan menelusup di sela-sela bongkahan bokong. “Kamu boleh ke sini, jika kamu bosan dengan istrimu, Sayang.”

Sehari setelah kejadian itu, Frans pergi meninggalkan Niko di rumah. “Niko, aku pergi dulu. Jika lapar kamu bisa ambil sendiri makananmu. Tunggu aku sampai pulang, tapi jika kamu bosan, kamu boleh keluar melalui jendela belakang.”

Sudah tiga hari Frans tidak pulang. Setiap ada mobil lewat, Niko lari ke depan, berharap Frans datang. Niko ragu apakah menunggu ibunya hingga pulang atau keluar rumah pergi ke tempat tinggal asal, kolong jembatan.

 

Semarang, 28 Maret 2016

Muhajir Arrosyid. Penulis adalah dosen FPBS Universitas PGRI Semarang

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!