Cerpen Iyut Fitra (Media Indonesia, 08 Januari 2017)
TEMPAT itu dulu sunyi. Hanya sehamparan padang. Sebidang tanah luas yang ditumbuhi rumput-rumput liar dan ilalang. Ada satu dua pohon yang mulai meninggi. Beberapa sudutnya bahkan sudah ada yang dijadikan tempat pembuangan sampah. Lalu, tempat itu dibersihkan, dikapling-kapling, dan dijual oleh pemiliknya.
Karena lokasinya tak jauh dari jalan raya, juga karena harga tanahnya tidak terlalu tinggi, berebutanlah orang-orang untuk membelinya. Tak lebih dari sebulan, semua tanah yang sudah dikapling-kapling itu terjual. Hilang hamparan padang, hilang pula rumput dan ilalang. Kesunyian kini telah berganti. Orang-orang mulai membangun.
Pak Maslim adalah pembeli pertama yang langsung membangun rumah di sana. Sebuah rumah sederhana. Cermin dari orang kelas menengah. Bersama istri dan seorang anak perempuan yang berusia empat tahun, keluarga itu meninggalkan rumah kontrakan dan menempati rumah baru.
“Di sini sepi, Pak,” ujar istrinya di hari-hari pertama.
“Sebentar lagi juga ramai, Bu. Lihatlah orang-orang sudah mulai membangun,” jawab Pak Maslim menghibur istrinya.
“Mudah-mudahan nanti kita dapat tetangga yang baik,” sambung istrinya lagi.
“Ya, mudah-mudahan!”
Sejak itu mereka melihat lokasi tersebut bergeliat. Mobil keluar-masuk. Pasir, batu, seng, semen, besi dan lain-lainnya dibongkar dari bak-bak truk. Tukang sibuk setiap hari. Kesepian yang dicemaskan istri Pak Maslim telah cair. Ada yang membangun rumah sederhana serupa rumah Pak Maslim. Ada yang menegakkan istana mewah nan megah. Pak Maslim yang hanya seorang pegawai negeri rendahan jadi saksi semua itu. Lokasi itu kemudian disebut kompleks.
Di sebelah rumah Pak Maslim pun telah berdiri sebuah rumah. Tetangga yang ditunggu-tunggu oleh istri Pak Maslim. Namanya Pak Tacin. Anaknya baru seorang. Laki-laki. Berusia lima tahun. Rumah Pak Tacin lebih bagus dibanding rumah Pak Maslim. Namun setelah beberapa hari semenjak mereka bertetangga, mereka belum berkenalan. Entah karena Pak Maslim merasa orang lama, orang pertama yang menghuni kompleks itu, berharap Pak Tacinlah yang datang menemuinya. Atau karena Pak Tacin merasa lebih kaya dan terhormat, maka ia menunggu Pak Maslim yang memulainya. Dua buah alasan yang sama-sama tidak jelas.
“Siapa nama tetangga kita, Pak? Mobilnya bagus ya,” ucap Bu Maslim suatu malam.
Pak Maslim hanya diam.
“Kapan kita berkenalan dengan tetangga sebelah, Pak? Sepertinya mereka baik ya,” ucap Bu Tacin di rumah sebelah, pada malam yang lain.
Seperti Pak Maslim, Pak Tacin juga diam.
Entah apa yang terjadi. Diam-diam Pak Maslim dan Pak Tacin malah memupuk kesombongan di dalam diri masing-masing. Sama-sama tidak ingin menegur lebih dulu. Menciptakan dinding yang entah siapa memulainya. Angkuh tak berkejelasan.
Suatu kali, di antara dua rumah yang hanya berbatas pagar bambu yang dulu dibuat Pak Maslim, pagar setinggi pinggang orang dewasa, sebatas leher anak-anak, dengan harapan ia bisa melongok ke rumah tetangga, percik itu kian menjalar. Saat Pak Tacin masuk ke dalam mobil hendak berangkat bekerja, saat itu pula Pak Maslim ke luar dari rumahnya. Tanpa sadar mata mereka beradu. Pandang yang tak sengaja. Entah siapa yang menyiram, mereka tiba-tiba seolah terbakar. Pak Maslim berbalik ke dalam rumah seolah-olah tidak mau bertemu dengan Pak Tacin. Demikian pula, Pak Tacin buru-buru menaikkan kaca mobil. Pintu rumah Pak Maslim ditutup dengan hempasan yang keras. Pintu mobil Pak Tacin ditutup dengan hempasan yang tak kalah keras.
Kali lain, saat mereka mendapati anak mereka sedang bercengkrama dari balik pagar. Anak perempuan Pak Maslim berusia empat tahun. Anak laki-laki Pak Tacin berusia lima tahun. Mungkin mereka tengah bercerita tentang layang-layang. Atau tentang belajar bersepeda. Atau tentang Marsya yang usil dan beruang yang penyabar. Atau dari mana asal-usul pelangi. Atau….Tiba-tiba Pak Maslim dan Pak Tacin bergegas membawa anak masing-masing ke dalam rumah dengan tarikan yang kasar.
“Sudah Bapak bilang jangan main dengan anak sebelah!” ucap Pak Maslim dengan mata melotot ke arah anak perempuannya. Bocah yang belum mengerti apa-apa. Anak-anak yang sedang butuh teman untuk bermain dan bercengkrama.
“Jangan mendekati pagar itu!” hardik Pak Tacin kepada anak laki-lakinya.
Dua bocah yang tak paham. Mengapa si Bapak melarang mereka untuk bergaul. Bercerita tentang kupu-kupu. Tentang rambut yang dikepang. Tentang main helat-helatan. Tentang apa saja yang merimbuni fantasi dunia kanak-kanak mereka. Mengapa si Bapak melarang mereka, padahal mereka tak pernah berbuat salah, tak pernah bertengkar, tak pernah berkata kasar. Mengapa?
Sejak itu, Pak Maslim, juga Pak Tacin, berniat mendirikan pagar pembatas di antara rumah mereka. Kalau perlu pagar yang sangat tinggi. Tak ada lagi yang bisa ditolerir. Daripada percik-percik pertikaian membesar menjadi api yang akan membakar, lebih baik semua dijauhi. Dinding tebal harus dibangun. Batas yang tinggi mesti ditegakkan. Tak perlu lagi basa-basi. Tak perlu lagi tetangga. Pak Maslim dan Pak Tacin membutakan matanya masing-masing dari berbagai tenggang dan rasa.
Pak Maslim mulai membeli bahan-bahan untuk membuat pagar. Pak Tacin juga tidak mau ketinggalan. Pak Maslim membeli pasir. Pak Tacin memesan semen. Pak Maslim menumpuk batu-batu. Pak Tacin melungguk besi-besi. Pak Maslim dan Pak Tacin seolah berlomba untuk segera mewujudkan keinginan bahwa mereka tak akan bisa disatukan. Satu merasa lebih lama menghuni kompleks itu, orang yang seharusnya lebih pantas dihormati. Satu lagi, orang yang merasa lebih kaya, berpangkat, dan bermartabat, yang semestinya lebih berhak untuk dihargai.
“Kenapa kita harus memusuhi mereka, Pak?” tanya istri Pak Maslim, heran. “Bukankah mereka tidak pernah melakukan kesalahan terhadap kita? Kalau mereka kita harapkan datang ke rumah kita lebih dulu, karena kita orang lama di sini, apakah itu sebuah keharusan? Apakah dengan kedatangan mereka ke rumah kita akan membuat diri kita akan berubah? Sudahlah, Pak. Tak perlu dipertajam pertikaian ini!”
Istri Pak Tacin juga tidak mengerti mengapa suaminya berbuat serupa itu terhadap tetangganya.
“Apa yang kita inginkan sesungguhnya, Pak? Jabatan, pangkat, kekayaan? Lalu untuk apa itu semua kalau ternyata hanya membuat kita bermusuhan dengan siapa saja,” kata Bu Tacin berusaha menjelaskan pada suaminya.
Pak Tacin diam. Matanya terpaku pada layar televisi yang menyiarkan berita-berita rusuh yang berulang. Persilangan-persilangan yang seolah dipelihara. Permusuhan yang diciptakan. Betapa negeri ini seolah-olah dibangun dari tumpukan-tumpukan kebencian.Orang-orang menyiram, memupuk, lalu pada saatnya akan memetiknya menjadi sebuah perkabungan besar yang akan diderita oleh iringan panjang bernama korban. Begitu mahalkah kedamaian?
Hingga pada suatu hari, ketika matahari baru saja berkemas. Pak Tacin memasuki perkarangan rumah dengan mobil mewahnya. Setelah berhenti, istri dan anaknya turun dari mobil. Istri Pak Tacin menjinjing banyak bungkusan. Barangkali habis berbelanja. Sedangkan anak laki-laki Pak Tacin membawa dua balon berwarna biru. Balon dengan bentuk dan gambar yang lucu. Persis saat ia akan berlari memasuki rumah, ia melihat anak perempuan Pak Maslim melihat ke arahnya. Ada sorot lain. Sorot ingin bermain. Bermain balon yang dipegang anak Pak Tacin mungkin. Ia tertegun. Pak Tacin memperhatikan semua itu.
“Ayo, masuk!” katanya tegas.
Tapi anak Pak Tacin meronta. Ia berusaha menarik tangannya yang dipegang oleh Pak Tacin. Matanya tak lepas-lepas dari arah anak Pak Maslim.
“Ayo, masuk!” ulangnya.
Mendengar suara itu Pak Maslim segera keluar dari rumah. Ia melihat anak perempuannya yang bermata bening itu memandang iba ke arah anak Pak Tacin.
“Saya mau bermain balon, Pak,” katanya polos. Lalu menangis.
Mendengar tangis anak Pak Maslim, anak Pak Tacin makin keras meronta sehingga pegangan tangan Pak Tacin lepas. Kemudian Pak Tacin melihat anaknya telah berlari ke arah pagar bambu. Seraya mengacungkan sebuah balon ke arah anak Pak Maslim ia berkata seraya tersenyum.
“Ke sinilah. Ini buat kamu!”
Anak Pak Maslim bergegas ke pagar. Menerima balon itu. Ia tersenyum. Anak Pak Tacin tersenyum. Keduanya tersenyum. Senyum yang tak tentu harus digambar dengan apa. Senyum yang sesungguhnya lebih pantas dimaknai oleh Pak Maslim dan Pak Tacin.
Pak Tacin melihat ke arah Pak Maslim. Pak Maslim memandang Pak Tacin dengan rona yang tak biasa. Lalu, entah siapa yang memulai, keduanya berjalan ke arah pagar bambu itu. Pagar rendah setinggi pinggang orang dewasa dan sebatas leher anak-anak. Pagar bambu yang sangat sederhana. Tempat anak-anak mereka bertukar senyum. Pak Maslim mengulurkan tangan. Pak Tacin menyambut salam itu.
“Maafkan, mungkin saya salah” ucap Pak Maslim gagap.
“O, bukan. Justru sayalah yang salah,” balas Pak Tacin gugup.
Bilah-bilah itu pecah. Rebah. Keduanya bagai dua orang kanak-kanak yang diliputi rasa bersalah. Tiba-tiba seolah ditampar oleh keluguan anak-anak mereka. Balon berwarna biru yang lucu itu telah membelah keangkuhan. Mengeping-ngeping hati yang dulu berlumut. Tak ada lagi batas. Tak ada lagi dinding. Pak Maslim dan Pak Tacin berpelukan. Barangkali mereka tidak akan pernah membangun pagar tinggi, kecuali sekadar memperbaiki pagar bambu yang sederhana itu.
2017
Iyut Fitra, lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat. Menulis puisi dan cerpen di berbagai media di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Buku fiksi terkininya, Orang-Orang Berpayung Hitam (2016).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]
Lingga
Apik. Entah bagaimana karya ini ditulis, sungguh menyentuh. Terima kasih Iyut Fitra.
jessi
akhirnya bahagia, trima kasih Iyut Fitra 😀