Indra Tranggono

Perempuan Bulan Perak

0
(0)

Cerpen Indra Tranggono (Jawa Pos, 01 Januari 2017)

perempuan-bulan-perak-ilustrasi-bagus-hariyadi-jawa-pos

Perempuan Bulan Perak ilustrasi Bagus Hariyadi/Jawa Pos

OMMY sering bercerita, dirinya selalu dikejar-kejar genderuwo. Mahluk halus berwujud raksasa itu menatap Ommy dengan mata penuh kobaran api. Lalu, raksasa itu merenggut tubuh Ommy. Tangan-tangannya mencekik leher perempuan muda itu.

Namun, Ommy bisa melepaskan diri dan berlari sekuat tenaga. Berlari kuat-kuat hingga dua kakinya menebah-nebah ranjang. Dia pun terbangun dengan penuh ketakutan. Mimpi buram itu selalu datang dalam tidurmu Ommy, sejak kamu mengalami mimpi indah. Ada bulan perak sebesar melon, yang terbuat dari cahaya, meluncur dari langit dan mendarat di atas kepalamu. Bulan itu mengikuti ke mana kamu pergi, hingga kamu tak takut lagi pada kegelapan.

Kamu senang bermain-main bersama bulan. Tubuh dan kepalamu bergerak memutar, melukis langit dengan cahaya. Kamu pun ingat lampu sokle besar yang sering dinyalakan di dalam pasar malam. Lampu itu juga berputar-putar menggores-gores langit. Ketika bocah, kamu selalu minta diajak ayah dan ibumu mengunjungi pasar malam. Dan, tempat pertama yang kamu tuju adalah lampu sokle itu.

Dari kegelapan yang terasa memadat, mendadak muncul sosok besar dan hitam, menyerang kamu. Genderuwo itu berusaha merebut bulan perak yang bertengger di atas kepalamu. Tangannya berusaha meraih bulan, tapi selalu gagal. Kamu bergerak lincah, menguasai setiap lini ruang. Namun, genderuwo itu terus menyerang. Tubuhmu diterjangnya hingga jatuh, lalu genderuwo itu meringkus, memukuli, dan mencekikmu.

Untunglah kamu berhasil menendang mahluk itu. Genderuwo terhuyung, tapi dengan cepat bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Ia kembali menyerang. Bulan perak sebesar melon pun menggelinding dari kepalamu. Genderuwo langsung merebut dan menelannya. Dan, kamu melihat bulan perak itu menggelinding di dalam rongga perut genderuwo. Beberapa saat kemudian, muncul rombongan genderuwo yang meringkusmu. Kamu pun terbangun dengan wajah ketakutan. Pucat.

***

Ommy, apakah mimpi burukmu itu kini benar-benar terjadi?

Aku masih mencium aroma semangatmu dari kalimat-kalimat pesan pendek yang kau kirim pagi itu. Tim Anti Makar menangkapku di rumah kost, menjelang subuh. Mohon dukunganmu, Mas.

Huruf-huruf terpahat di layar handphone itu menikam mripatku. Menekan dadaku. Memacu jantungku berdegup. Aku coba meneleponmu, tapi handphone-mu off . Mungkin, polisi-polisi itu sudah menyitanya. Mungkin.

Ommy, pagi tadi aku tak sempat menyelesaikan sarapanku. Nasi goreng dan telur dadar kubiarkan merana. Kopi kubiarkan mendingin. Aku melihat dirimu dalam berita pagi di sebuah stasiun teve yang jadi corong pemerintah.

Lampu-lampu kamera teve menumpahkan cahaya ke wajahmu yang manis (betapa penangkapanmu sangat dipersiapkan oleh polisi). Engkau tersenyum. Matamu tajam menatap. Tak ada guratan ketakutan sedikit pun.

“Kami telah menangkap Saudari OBP atas dugaan makar,” ujar seorang polisi berwajah bersih, dengan ekspresi sedingin mesin.

Ya, aku tahu OBP adalah inisialmu: Ommy Banowati Pramesti. Tapi tuduhan makar itu?

Kamu tersenyum. Wartawan-wartawan itu heran. Kamu begitu rileks menghadapi tuduhan itu. Tak gentar sedikit pun.

Baca juga  Jenderal Buta Hurup

“Negara sudah putus asa bikin rakyat sejahtera. Dan mereka capek juga setiap hari diejek. Mereka butuh memompa kewibawaan dan menciptakan hiburan. Ini tak lebih dari pentas dagelan…” Kamu tertawa.

Siangnya, kamu dan beberapa kawanmu tampil di Breaking News. “Polisi yakin 15 orang yang terdiri dari aktivis, dosen, tokoh buruh, tokoh tani, politisi, dan seniman telah melakukan permufakatan jahat hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Polisi sudah mengantongi bukti-bukti,” turur pembaca berita itu.

Lalu muncul pernyataan tokoh politik Dr Brukut Subrakot SH dari Partai Gandemarem alias Gerakan Demokrasi Masyarakat Reformis Militan. Dia bilang, “Kawan-kawan yang mau makar itu konyol. Konyol! Mosok mereka menuntut kita kembali ke konstitusi yang asli, baheula! Mana ada yang asli sih di bawah matahari ini, Kawan. Realistislah, Kawan. Hidup ini dinamis. Menurut aku, konstitusi yang kini sudah diamandemen itu sangat menjawab tantangan global. Berpihak ke modal asing? Ah suka-suka yang berkuasalah…”

Kumatikan televisi. Mencoba meneleponmu, Ommy. Tapi, tidak sambung.

***

Ommy, kulihat di televisi wajahmu sangat lelah. Kuyu. Mata itu, ah mata itu sangat rindu istirah. Namun kamu selalu menyangkal jeritan tubuh yang lelah.

Ommy, setiap hari kamu hanya ambil tiga jam untuk tidur. Tidur? Tidak juga. Mungkin, istilah yang lebih tepat adalah melupakan penat dan kantuk. Kamu pernah bilang, sudah hampir setahun kamu tak pernah tidur. Mripatmu selalu tampak merah ketika kamu berdiskusi, merencanakan aksi, menggalang dukungan buruh, petani, dan orang-orang yang kamu sebut “dicelakakan oleh sistem”.

Ommy, kamu selalu mengusik negara yang setiap hari menggelar pesta bersama mereka yang kamu sebut “orang-orang gemuk, berperut besar dan bertaring tajam”. Negara pun membentakmu. Menumpah sumpah serapah bahkan menamparmu. Mereka juga mengerahkan alat-alatnya untuk mengeroyok kamu dan kawan-kawan seperjuanganmu. Tapi kamu tak bergidik, apalagi gigrik.

Kamu juga geli, di antara rombongan alat-alat negara itu—kamu menyebut mereka mesin—ternyata ada beberapa orang yang kamu kenal. Dulu sebelum rezim diktator jatuh, mereka adalah kawan seperjuanganmu.

“Kelaparan dan impian untuk bisa hidup mewah telah menjadi remote yang menentukan pilihan jalan hidup setiap orang. Termasuk menjadi badut-badut sirkus kekuasaan,” begitu kamu pernah bilang dalam sebuah percakapan di tengah rinai gerimis, ditemani dua cangkir kopi, ketela rebus, nasi hangat, tempe goreng dan kangkung yang ditumis.

Kamu pun tidak kaget ketika polisi menangkapmu berdasarkan bukti-bukti rekaman diskusi-diskusi dan aksi demonstrasimu. Data-data itu dikumpulkan lalu dilaporkan kepada polisi justru oleh kawan-kawanmu sendiri. Mereka, dengan masih mengenakan topeng-topeng aktivis, menyusup dalam lingkaran gerakanmu. Kamu dan teman-temanmu tak pernah curiga. Bahkan kalian bisa tertawa bersama-sama, saling meledek ketika mengulik kenangan-kenangan lama. Kenangan-kenangan yang penuh asap gas air mata, popor bedil, dan desing mesiu ketika kalian turut menurunkan seorang tiran, puluhan tahun lalu. Ya, kalian mengenang semua itu: menduduki gedung parlemen dan memaksa seorang tiran turun.

Baca juga  Semua Ayah Itu Sama

Namun, tiran yang jatuh telah diganti tiran lainnya. Kamu dan teman-temanmu merasa kecelik. Ternyata gelombang perlawanan yang kalian turut menciptakan itu, tak lebih sirkus konyol yang hanya melahirkan aktor-aktor teater gadungan.

“Janji mereka untuk memperkuat posisi tawar rakyat ternyata tak lebih dari tipu muslihat. Gelombang kebebasan itu hanya membuka jalan bagi masuknya genderuwo-genderuwo bule. Dan, bersama kaum genderuwo pribumi, mereka mengubah undang-undang jadi kumpulan mantera yang disadap dari desis ular piton, aum harimau, lolong serigala yang dicampur buas buaya, sengat ketonggeng, keperkasaan lengan-lengan gurita. Mantera itu mengisap seluruh kekayaan negara kita, serupa vacuum cleaner yang selalu berdengung tak kenal waktu,” ujarmu berapi-api, malam itu, hingga kopi yang sudah dingin terasa hangat kembali.

Matamu berkilat-kilat. Aku merasakan ada api berkobar di rongga dadamu. “Mereka membuat patung penguasa bijak bestari, menciptakan banyak mitos tentang negeri yang tata titi tentrem kerta raharjo, subur makmur, gemah ripah loh jinawi, meng-copy-paste suluk para dalang.” Kamu tersenyum sinis. Pahit.

Kamu nerosos lagi, “Mulut mereka berbuih mengutip kata-kata wasiat nenek-moyang atau pitutur leluhur. Namun, mereka juga tetap patuh pada titah kaum genderuwo. Selalu ada sesaji. Selalu ada tumbal.”

Gerimis telah berubah menjadi hujan. Suaramu makin keras, “Dalam riuh talu gamelan kelangenan yang menggema dari istana negara, diam-diam kaum genderuwo itu menanam modal di mana-mana serupa menanam patok-patok penguasaan atas negara. Tak ada sisa ruang bagi para miskin papa yang hanya bisa membayangkan rasa kenyang…” Matamu basah.

***

Ommy, aku masih ingat pertama kita bertemu. Kamu datang di kantor koranku. Kepada penerima tamu kamu bilang ingin bertemu langsung dengan pemegang desk opini. Dan, matamu menatapku nanar, ketika duduk di ruang tamu. Kamu mengkritik tulisan-tulisan yang dimuat koranku. “Terlalu manis dan lembek,” ujarmu ketus.

Tentu saja aku tersengat. Tersinggung. Namun, aku tetap tenang. Aku pun, dengan sedikit dongkol, membiarkan kamu menasihatiku. Koran harus begini dan begitu. Intinya, kamu berharap, dengan setengah menekan, koranku harus kritis. Aku mengangguk. Tak lagi tersinggung apalagi marah. Bukankah aku juga pernah jadi anak muda seperti kamu yang tangannya selalu mengepal?

Esoknya, kamu datang di kantorku lagi. Tapi, wajahmu tidak sangar lagi. Tanpa banyak bicara kamu menyodorkan tulisan. Kamu tersipu bilang, “Siapa tahu tulisan ini layak dimuat di koran Mas Garda.”

“Oke, nanti aku baca. Tapi tolong kamu kirim soft copy-nya.”

Malamnya, kubaca tulisanmu tentang pentingnya gerakan kaum muda yang kritis, visioner dan jelas sasarannya. Tulisan itu galak, seperti kuduga. Tapi cerdas. Referensimu cukup kaya. Angle yang kamu ambil cukup unik, menarik. Bahasamu sangat efektif. Diksimu jitu dan apik. Menjotos kesadaran. Inspiratif.

Tulisanmu kumuat. Muncul banyak tanggapan. Rubrik opini koranku jadi terasa berdenyut.

Aku pun meneleponmu. Minta lagi tulisan. Namun, kamu bilang sedang bikin aksi membela para petani yang menolak pembangunan pabrik semen.

Baca juga  Madah

“Kamu kan bisa nulis dengan laptop, lalu di-email?”

“Ah, sulit Mas. Tak sempat. Kami sekarang sedang mendatangi gubernur. Doakan desakan kami berhasil, Mas. Kalau pabrik semen itu jadi berdiri, para petani ini mau hidup dari mana? Gunung Kerendeng itu mau digempur. Ekologinya pasti rusak. Sungai-sungai mengering. Sawah-sawah pasti mengelupas dari tanah,” begitu kamu bilang, berapi-api.

“Oke. Teruskan demonstrasi. Apa boleh wartawanku nanti wawancara kamu?”

“Bisa-bisa. Wah senang sekali.”

Koran kami pun memuat hasil wawancara denganmu. Ternyata kamu menjadi ketua Aliansi Rakyat Menolak Pabrik Semen.

Ommy, setelah perkenalan yang sangat mengesankan itu, kita pun sering bertemu. Kamu sering mengajakku nonton teater, pameran, hadiri acara ceramah tokoh dan mengajak makan jagung bakar di alun-alun atau minum kopi jos di utara stasiun. Kamu tak suka kafe. Terlalu borjuistik, katamu. Kamu pun sering mengundangku dalam diskusi bersama kawan-kawanmu. Diskusi itu selalu penuh api.

***

Cukup lama kami tak saling kontak. Aku mencoba menelepon Ommy. Dia ternyata sudah agak lama berada di ibu kota. Bersama kawan-kawannya dia merancang gerakan kembali ke konstitusi yang asli. Alasannya, undang-undang yang telah diamandemen berkali-kali itu hanya memihak kepentingan asing.

“He, kamu mesti hati-hati. Kamu sudah menyentuh pusat syaraf kekuasaan,” ujarku cemas.

“Tenang Mas. Kupikir ini kritik biasa.”

“Ommy, kayaknya kuping rezim penguasa mulai gampang merah dan panas. Bukan tidak mungkin, dia berubah galak. Hallo… halloooo… hallo…”

Tak ada jawaban dari Ommy. Aku mencoba kembali mengontaknya. Tapi nihil. Akhirnya aku bertemu dengan Ommy melalui berita pagi. Televisi memberitakan penangkapan dia dan kawan-kawan atas tuduhan makar.

Wajah Ommy tampak tenang. Tatapan matanya nanar. Kata-katanya tetap galak. Namun senyumnya tetap manis. Di balik wajahnya yang tampak kuyu karena kurang tidur, kecantikannya masih tampak kuat terpahat.

Aku masih mencium aroma keringat jiwamu, Ommy. Aroma jiwa anak muda yang selalu gelisah melihat orang-orang kecil dicekik kaum genderuwo.

Ommy, kamu terlalu muda untuk berurusan dengan kaum genderuwo. Namun, kamu sudah memilih jalan itu, jalan panjang nan gelap serta dipenuhi genderuwo yang berdiam dalam setiap kristal-kristal udara.

Ommy, hari-harimu kini dirampas petugas interogasi. Tidurmu jadi terlalu pendek, hingga tak bisa menikmati tarian cahaya bulan yang kau mainkan setiap malam dalam mimpi-mimpimu. Ya, bulan perak sebesar melon itu kini telah ditelan sang genderuwo. Bulan itu mengapung di dalam perut raksasa itu… ***

 

 

Jogjakarta, akhir 2016

INDRA TRANGGONO, esais dan cerpenis, tinggal di Jogja. Buku kumpulan cerpennya: Sang Terdakwa, Iblis Ngambek, Menebang Pohon Silsilah, Perempuan yang Disunting Gelombang, serta Elegi Ampas Kopi.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!