Cerpen Ni Komang Ariani (Media Indonesia, 15 Januari 2016)
TUMPUKAN cucian piring sudah menunggu. Aku bisa menciumnya dari jarak beberapa langkah. Bahkan mungkin aku sudah merasakannya, jauh sebelum memasuki rumah. Seperti apa baunya? Sulit dijelaskan. Aku mencium sayur basi, ikan basi, ayam basi, kecap basi. Bercampur-campur sampai sulit dikenali.
Pada saat itu terngiang-ngiang kalimat bibiku, Me Man Rindi. Perempuan tinggi besar yang menghabiskan hidupnya dengan buah kelapa.
Aku benci bau cucian piring. Aku tidak mau menghabiskan hidupku mencuci tumpukan piring.
Apakah bibiku akan menertawai hidupku sekarang, bila ia tahu hidupku tiada lain adalah menunggu dari satu cucian piring ke cucian piring lainnya? Apakah ia akan mengejekku, bila ia tahu betapa aku merasa pengar dengan baunya, yang seperti menempel di bajuku, kemana pun aku pergi? Hei, kapan terakhir aku pergi dari rumah ini?
Dia, selalu mengatakan dunia luar sana, adalah dunia liar, tempat bagi semua niat jahat berdesingan seperti peluru, menyambar siapa pun yang tidak punya pelindung. Laki-laki itu selalu melihatku dengan rasa iba, tubuhku hanya tulang, terbungkus daging yang tipis. Tenagaku yang tidak seberapa takkan kuasa menahan angin kencang di luar sana. Begitu penuturannya, setiap kali aku mengutarakan keinginanku untuk menghirup udara segar di luar sana. Rumah adalah tempat yang paling aman bagimu, untuk berlindung dari para pemangsa.
Rumah ini seindah rumah-rumah yang kulihat di TV, namun entah mengapa, begitu pintu rumah terbuka, segala macam barang tampak bertebaran di setiap penjuru. Seolah mereka punya kaki dan bisa pergi ke tempat-tempat yang mereka sukai. Keset yang miring, lantai yang lengket, tali gorden yang terlepas sebelah, bantal sofa yang tak rata semua sudutnya. Benda-benda ini selalu menyambutku dengan cara yang sama. Semakin aku rapikan, semakin banyak yang memanggil-manggil untuk dibenahi.
Terngiang kembali kata-kata Me Man Rindi. Aku tidak mau menjadi keset di mana semua daki diusapkan.
Kalimat itu makin sering terngiang setiap kali aku mengusapkan kaki di keset depan rumah. Kata-katanya yang lain pun kembali terngiang. Seolah hidupku dihantam kutukan karena tidak mendengarkan perempuan itu.
“Kamu harus keras dan teguh seperti pohon kelapa itu. Terus menjulang ke langit, tanpa memedulikan teriakan ribut di sekelilingnya,” katanya berulang kali, seolah berupaya menyimpankan mantra itu di kepalaku.
“Tapi, tubuhku kecil, aku tidak bisa menjadi seperti Me Man.”
“Tubuhmu boleh kecil, tapi pikiranmu harus besar. Jauh lebih besar daripada tubuhmu.”
“Tapi, aku ingin berkeliling melihat tempat tempat-tempat terindah bersama laki-laki yang menggenggam tanganku.”
Me Man hanya mencibir mendengar kata-kataku yang puitis.
“Carilah… Carilah sampai kau menemukannya. Jika tak kau temukan juga, jangan sungkan untuk pulang ke kebun kelapa ini.”
Aku seperti anak bagi Me Man. Ia tak pernah menikah. Tak seorang pun dari kami yang mampu mengikuti jalan hidupnya. Me Man Rindi selalu berjalan dengan langkah-langkah berat yang seolah meretakkan tanah. Ia seperti ingin menyaingi kegagahan pohon-pohon kelapa yang menjulang di kebunnya. Kulitnya menghitam terpanggang matahari. Badannya makin membesar dan berotot. Perawakannya mirip Barong Landung.
Teriakannnya garang ketika sedang memerintahkan para laki-laki yang menjadi buruh panjatnya. Sepuluh laki-laki besar itu, tak satupun yang berani menyela saat Me Man berbicara. Mereka hanya mengangguk-angguk patuh mengikuti perintah Me Man. Semua pekerjaan selesai cepat dan rapi. Me Man memandangnya dengan senyum puas. Perempuan itu kini berhasil mengemas minyak kelapa merknya sendiri, dan menjualnya ke banyak supermarket besar di Bali. Nama Me Man harum seperti aroma minyak kelapa yang dibuatnya.
Perempuan itu berharap, aku akan mengikuti jejaknya. Tumbuh dengan liat, tumbuh makin tinggi ke angkasa. Jika ada perempuan yang mampu melakukannya, pasti bibikulah orangnya. Perempuan itu bisa menakuti siapa saja, karena ia tidak punya rasa takut.
Namun, perempuan itu tak mengetahui kegemaranku yang lain, saat aku tak mengunjungi kebun kelapanya. Aku sering duduk berlama-lama di atas dipan bambu di warung nasi jenggo Meme. Mobil-mobil mengkilat keluaran terbaru dengan aneka rupa berseliweran sejak pagi hingga petang di depan hidungku. Desa kami adalah jalan pintas menuju Ubud, tempat persinggahan turis-turis dari Denpasar. Aku mencatat jenis-jenis mobil itu di buku lusuhku. Meme tidak pernah memperhatikan, ia hanya berhenti sejenak untuk menyuruhku apa saja. Menyapu, mebanten, atau menanak nasi.
Setelah terlampau lelah mencatat mobil-mobil yang berseliweran, aku sering jatuh tertidur dengan kepala menyandar ke tiang warung. Seorang pangeran tampan berjalan mendekatiku. Ia turun dari sebuah mobil putih besar yang berkilauan tertempa cahaya matahari. Laki-laki itu melambaikan tangan, mengembangkan senyum lebar, kemudian menggamit tanganku yang masih terpana. Perlahan ia menuntunku menuju mobil itu, dan membuka pintunya untukku. Pupil mataku membesar dan dadaku mengembang seperti balon. Meme sering menertawaiku, bila kuceritakan tentang mimpiku yang berulang-ulang. Ia baru berhenti menertawakan, ketika seorang laki-laki yang kasat mata menyapaku di dipan bambu itu. Memperhatikan tingkahku pada saat mebanten dan mengajakku bicara tentang apa saja.
Dia, laki-laki yang memandangku dengan rasa terpesona itu, telah membuatku membuat keputusan kilat. Menerima lamarannya, walau kami baru saling mengenal selama enam bulan. Lakilaki itu datang dengan mobil berwarna cokelat hangat yang amat kusukai. Ia membukakan pintu ketika pertama kali mengajakku berkencan. Sampai hari ini, aku tidak pernah bisa mengerti, bagaimana laki-laki semacam itu dapat menyukai perempuan semacam aku. Aku menyukaimu dengan kebaya kuning dan kain hijau yang kau kenakan. Aku menyukaimu yang bermandikan aroma dupa, katanya.
Me Man Rindi memandangku kecewa waktu itu.
“Aku berharap, kau menjadi satu-satunya perempuan yang tidak menyerah pada ketakutanmu. Namun sebaliknya kaulah yang menyerah paling cepat. Siapa laki-laki itu, De? Kau bahkan tidak mengenalnya. Apa yang membuatmu memilihnya?”
“Aku hanya bosan dengan kampung ini, Me Man. Kampung ini terlalu sunyi dan usang. Aku hanya ingin berada di sebuah tempat yang sama seperti yang kulihat di TV. Elegan dan berkelas.”
Me Man memandangku dengan mata terluka. Ia bahkan menolak menghadiri upacara pernikahanku. Para kerabat dan saudara membisikiku untuk tidak terlalu menghiraukannya. Mereka bergunjing kalau Me Man Rindi kurang waras pikirannya. Rindi perempuan yang kesepian. Karena itu dia galak seperti anjing gila. Aku ingin membantahnya. Aku ingin mengatakan Me Man Rindi perempuan yang baik hati dan penyayang. Perempuan yang berani melukis sendiri garis di telapak tangannya.
Dia, laki-laki itu memang telah membuatku tinggal di sebuah rumah yang elegan dan berkelas. Rumah yang amat luas, sehingga membuatku pegal menyusuri tiap bagiannya dengan kain pel. Rumah yang sunyi dari pagi sampai tengah malam. Rumah yang berdinding-dinding tinggi dan tak seorang pun tetangga yang suka berkunjung.
Bila aku terbangun di pagi hari, ia telah lenyap dari sisi pembaringan. Kami tak banyak bicara, selain beberapa kalimat basa-basi. Betul kata Me Man Rindi, aku telah menyerahkan hidupku kepada seseorang yang amat asing.
Hidungku kembali diserbu bau cucian piring yang seolah membentakku untuk segera menyelesaikannya. Hanya sesaat aku sempat bernapas lega, ketika cucian piring telah digantikan aroma lemon, benda-benda lain di rumah ini mulai berteriak dengan ribut. Gorden yang masih belum dibuka, bantal sofa yang miring, keset yang terlipat, debu yang menempel di layar TV, kabel sambung yang tergeletak melintang. Semua benda-benda itu memanggilku dengan tidak sabar untuk segera membantu mereka.
Dadaku sesak. Ekor mataku menangkap gerakan yang amat halus dari plafon rumah. Ia bergerak semakin mendekat. Perutku mual. Dinding-dinding rumah pun makin merapat. Aku tersengal-sengal. Aku berharap seseorang entah siapa menarikku dari rumah yang menghimpit dadaku dengan perasaan-perasaan yang mengacaukan. Atau mungkin seekor burung rajawali menerbangkanku melambung ke angkasa. Dia, tak mungkin memercayaiku. Dia lebih sering menertawakankan cerita-ceritaku. Laki-laki selalu menganggap aku adalah seorang perempuan dengan pikiran-pikiran konyol. Siapakah aku baginya? Pertanyaan ini makin sering menikam, dan aku tidak bisa menjawabnya. Sungguh, aku amat kangen pada Me Man Rindi, dan kebun kelapanya. Kangen pada otot-otot besar di lengannya. Juga suaranya yang besar seperti suara raksasa. Oh, Me Man…. Apakah… Apakah aku sudah membiarkan diriku menjadi keset, tempat semua daki diusapkan?
Catatan:
Me Man : Bibi
Barong Landung : Figur yang dipuja di Bali, berwujud boneka tinggi besar
Nasi jenggo : Nasi bungkus khas Bali yang berukuran kecil
Meme : Ibu
Mebanten : Menghaturkan sesajen
Ni Komang Ariani, lahir di Bali, 19 Mei 1978. Ia menulis novel dan cerpen. Novelnya Senjakala (2010) dan antologi cerpennya Bukan Permaisuri (2012) terpilih dalam 10 Besar Khatulistiwa Literary Award. Ia bermukim di Jakarta.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id
Leave a Reply