Cerpen Julia Hartini (Suara Merdeka, 15 Januari 2017)

Gara-gara Tiga Ratus Ribu Rupiah ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Krincing uang logam seribu rupiah jatuh dari dompet kumal dan bau apak milik Raf. Itu adalah uang terakhir yang dipertahankan setelah seharian laki-laki tersebut tak makan. Dengan cepat, dia mengambil koin, dan melihatnya dalam-dalam. Saat itulah, dia teringat sesuatu. Sebab itu, matanya yang kuyu mulai menampakkan geliat. Masih ada harapan bahwa dia tak harus mati kelaparan.
Tiga bulan yang lalu Badri datang ke rumahnya malam-malam untuk meminjam uang. Saat itu, Raf baru mendapat uang setelah membantu seorang laki-laki tua mendorong mobil yang mogok di atas flyover. Uang tersebut disimpan untuk melamar Nurasih di kampung. Namun, dia tak bisa menolak permohonan Badri. Ujian anak Badri yang tinggal beberapa hari lagi lebih penting daripada meminang kekasihnya yang bisa dilakukan kapan saja. Badri berjanji mengembalikan utang setelah gaji dibayar oleh bosnya.
Namun, setelah menunggu sebulan lamanya, Badri tak kunjung datang. Padahal, uang tersebut menjadi harapan untuk masa depan. Meski tak enak hati, Raf akhirnya datang ke rumah Badri untuk menagih.
“Gajiku telah habis membayar sekolah untuk anakku. Bulan depan akan kubayar utangku,” kata Badri dengan wajah memelas.
“Ya sudah, bulan depan langsung kau antar saja ke rumahku,” dengan nada kecewa dan tangan kosong Raf berniat langsung pulang saja. Menunggu lebih baik daripada pertemanannya hancur karena Raf bersikeras menagih utang. Dia tak bisa memaksa Badri untuk mengembalikan uang Rp 300 ribu hari itu juga. Sama dengan Raf, Badri pun hidup dalam kesusahan. Anaknya empat dan masih sekolah semua. Justru, Raf beruntung karena belum memiliki kewajiban untuk menafkahi siapa pun.
“Aku berjanji, Raf. Aku pun tak enak denganmu, tapi bagaimana lagi. Si sulung harus ujian. Butuh biaya.”
Meski begitu, bulan yang dinantikan Raf tak pernah datang. Badri tak pernah mengetuk pintu rumahnya di bulan kedua, merangkak bulan ketiga. Hingga akhirnya, hari ini, Raf teringat semuanya di saat dirinya nyaris mati karena kelaparan. Bukan tanpa sebab, tempatnya bekerja di laundry sedang sepi. Mau tak mau beberapa pekerja diliburkan sementara, salah satunya Raf. Uang tabungan yang tak seberapa pun nyaris tanpa sisa. Tak ada teman yang bisa dipinjami uang karena sama-sama susah. Untuk meminta sepiring nasi pun, ia tak sampai hati melakukannya.
Setelah menemukan ingatan itu, Raf bergegas pergi. Hatinya tak boleh luluh lagi dengan permintaan Badri. Bagaimanapun, uang tersebut adalah haknya. Kalau hari ini Badri menolak mengembalikan uang tersebut, dia akan terus memaksa. Dicicil pun tak apa. Dia yakin hari ini Badri berada di rumah. Kalau tak ada, dia akan mencari sampai dapat. Sambil menahan perut yang keroncongan, Raf mempercepat langkahnya.
Namun, harapan hanya tinggal asa, tak ada siapa pun di rumah Badri. Sesungguhnya, bangunan yang berada di hadapannya terlihat mengkhawatirkan seperti rumah yang belum jadi. Pintu tripleks yang sudah mengelupas dan dinding yang sama menderita seperti pemiliknya.
Raf jadi ragu. Namun, dia tak bisa pulang tanpa membawa apa-apa. Urusan perut memang susah untuk dikesampingkan. Sudah tiga kali pintu diketuk, tapi tak ada jawaban. Benar-benar tak ada orang.
“Om Raf,” sapa seorang anak yang sudah dikenalinya dari arah belakang.
“Bapak ada?”
“Mami, papi, dan adikku sedang pergi jalan-jalan. Aku tak diajak karena harus menunggu rumah,” katanya polos.
Mendengar itu, dada Raf terasa panas. Bisa-bisanya, Badri jalan-jalan sesukanya dan melupakan semua utang-utangnya. Sementara itu, dia harus merasakan perih lambung yang teramat sangat karena sejak pagi, bahkan kemarin sore, dirinya hanya meminum air putih.
“Akan kutunggu sampai bapak, maksudku papimu pulang,” kata Raf sambil ingin menahan rasa mual. Bukan, bukan karena asam lambung karena dirinya memang tak punya asam lambung. Namun, Dia merasa jijik si sulung Badri memanggil orang tuanya dengan nama mami dan papi.
Setelah pintu terbuka, Raf memutuskan menunggu di dalam rumah. Alangkah terkejutnya dia saat menemukan kulkas dan dispenser baru yang ditaruh Badri di ruang tamu. Penderitaan yang selama ini diperikan Badri hanyalah omong kosong. Padahal, dua bulan yang lalu saat menagih utang, Badri memberikan minum dari teko karatan yang dipenuhi jelaga di bagian pantatnya. Bagaimana bisa dalam jarak waktu dua bulan Badri sanggup membeli elektronik baru dan jalan-jalan memboyong keluarga, batinnya heran.
“Kulkas baru?” sahut Raf kepada si sulung saat memberikan minuman.
“Beberapa minggu lalu mami menang arisan. Waktu itu, kami langsung ke Pasar Cicadas beli barang-barang ini, Om.”
“Oh,” kata Raf singkat.
“Tega betul si Badri. Kawannya nyaris mati, dia malah enak-enakan membeli barang-barang baru. Mustahil bila dia lupa,” desisnya. Raf mengumpat.
Seluruh perkataan kotor memenuhi isi kepala dan dadanya. Dia tak habis pikir Badri bisa melakukan hal itu.
Dia langsung menyeruput air dingin yang dituangkan dari dispenser. Segar. Dingin. Sejuk sekali air yang dimiliki Badri. Itu berbanding terbalik dengan minuman sehari-hari yang biasa Raf konsumsi yang hanya dituang dari galon isi ulang empat ribu rupiah.
Setelah menaruh minuman yang tandas di atas meja, Raf melihat ke luar, lalu menemukan Badri dan istrinya sudah pulang dengan menenteng keresek belanjaan. Semringah benar roman keluarga Badri hari ini. Karena sudah kelewat kesal, Raf buru-buru menghampiri Badri yang saat itu baru sampai di pintu.
“Aku mau mengambil uang yang kau pinjam,” Raf langsung berdiri di hadapan Badri yang wajahnya langsung layu saat diingatkan utang.
“Raf, duduklah sebentar. Kau mau minum apa.” Badri menggiring Raf ke sofa lapuk tempat tumila-tumila beranak-pinak di sana.
“Aku buru-buru. Mana uangku,” teranganya dengan nada tinggi.
“Sebenarnya, dari jauh-jauh hari aku sudah ingin membayarnya. Andai kau datang kemarin. Mungkin uangnya masih ada. Tapi, hari ini sudah kuhabiskan untuk mengajak keluarga jalan-jalan,” jelasnya enteng.
“Jadi kau mau bayar atau tidak?”
“Bulan depan. Aku janji tak akan mengingkari lagi. Lagi pula hanya tiga ratus ribu kan. Aku tak akan membawa uangmu kabur. Uang segitu tak bisa untuk membeli apa-apa.”
“Sialan. Kau benar-benar…” Raf langsung pergi setelah menunjuk mata dan menarik kemeja Badri dengan tangan bergetar. Raf tak menyangka yang diucapkan Badri. Kata-katanya sangat merendahkan harga dirinya. Karena itu, dia meninggalkan rumah tersebut dengan amarah yang menyumbu di seluruh nadi. Dia melaju menuju rumahnya seperti orang kesetanan.
Dengan tergesa dia membuka pintu rumah, lalu membuka perkakas rumah yang ditaruh di belakang lemari. Dia melempar satu per satu benda mulai paku-paku kecil, obeng, tang, gergaji. Tanpa pikir panjang, dia membawa palu dan berlari ke rumah Badri kembali. Raf berlari sambil mengayunkan palu di tangan kanannya.
“Keluar kau Badri,” teriak Raf di teras rumah sembari mengacung-acungkan palu.
“Jangan jadi pengecut Kau.” Raf mendekati dan menggendor pintu rumah Badri.
Suasana yang tenang berubah. Orang-orang langsung berkerumun melihat adegan tersebut. Sebagian lagi mengunci pintu rumah rapat-rapat, khawatir Raf akan mengamuk kepada siapa pun yang ada di dekatnya. Rumah tersebut sudah dipenuhi penonton, tapi Raf tak peduli. Dia hanya ingin uangnya kembali dan memberikan pelajaran bagi kawan kecilnya yang tak tahu diuntung tersebut.
“Buka pintu ini atau aku akan,” suara Raf dan gedoran pintu langsung terhenti saat seorang polisi yang lewat dan melihat kejadian itu mengamit tangannya dan menggelandangnya ke mapolsek untuk dimintai keterangan karena sudah membuat keresahan dan mengganggu ketertiban umum. (92)
Ruang Semesta, Januari 2017
Julia Hartini lahir di Bandung, 19 Juli 1992. Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), ini pernah berkegiatan di Arena Studi Apresiasi Sastra UPI dan Unit Pers Mahasiswa ISOLAPOS UPI. Tulisannya pernah dimuat di berbagai media di Tanah Air dan terkumpul dalam beberapa antologi bersama.
Leave a Reply