Cerpen Arswendo Atmowiloto (Koran Tempo, 21-22 Januari 2017)
Bangunan, atau sisa sebuah bangunan, itu terletak di tempat yang strategis untuk ditempati. Bagian depannya bisa masuk ke dalam jalan raya, bagian samping kanan masuk dalam bagian dari kompleks perumahan. Bangunan, atau sisa bangunan, barang kali dulunya sebuah rumah. Punya nomor lengkap, sebagai B-2. Namun agak susah dijelaskan apakah tadinya bagian dari suatu kompleks perumahan. Karena di sebelahnya, tak ada nomor lain. Juga tak ada blok A atau C, atau yang lainnya.
Kehadirannya seakan sendiri, dan memiliki sebutan B-2. Alamat persisnya juga susah, karena dianggap tak mengikuti nama jalan di depannya. Menurut cerita di situ pernah tumbuh pohon rambutan yang sangat lezat dan menggiurkan. Kemudian muncul cerita bahwa pohon rambutan itu berhantu. Banyak jenis hantu yang menempati. Dan itu dibenarkan oleh mereka yang tinggal di dekatnya, mereka yang menghuni kompleks.
Tak banyak jumlahnya orang yang melalui jalan di depannya. Mereka ini bersedia menjadi saksi karena melihat, mendengar, mengetahui secara langsung penghuni pohon rambutan yang luar biasa lezat itu. Demikianlah ada Memedi Usus, atau hantu penakut berbentuk usus. Bentuknya persis seperti usus manusia, panjang, berwarna putih, dan bergerak sendiri, sebagai benda hidup. Adalah Memedi Usus yang suka melilit kaki, atau leher, sehingga orang yang bersangkutan tak bisa jalan. Seseorang yang bandel mengambil buah rambutan dengan kasar akan dililit. Kalau lebih bandel, lilitannya makin erat. Bahkan mampu menyeret. Semacam lilitan ular, terutama di bagian leher. Sasarannya terutama anak-anak atau remaja, dan mengambil buah rambutan dan biasanya muncul sehabis hujan yang tak begitu lebat.
Yang paling sering menampakkan diri, tidak tergantung hujan atau tidak, asal waktunya sudah melewati sore, adalah Pocongan. Jenis ini paling mudah dikenali, karena bentuknya besar, sebesar manusia, berbalut kain sebagaimana mayat yang akan dikubur, dan terutama juga kalau berjalan dengan meloncat-loncat dengan tangan lurus terjulur. Pocongan paling mudah dikenali, dan memang sejak dari dulu sering berada di pohon. Kisah yang dikenali adalah Pocongan jenis ini dulunya rentenir yang menggantung diri. Tidak jelas bagaimana seorang rentenir memilih jalan bunuh diri dan menjadi hantu. Namun yang demikian banyak ditemukan di tempat lain. Yang membedakan dengan yang berada di pohon rambutan berbuah lezat ini adalah bahwa Pocongan ini juga suka pamer diri ke jalan. Pocongan yang ini suka berada di pinggir jalan, rebahan di pinggir. Setidaknya ini lebih aman dibandingkan rebahan di tengah jalan karena banyak kendaraan yang lewat.
Sebenarnya yang dulu ada di situ adalah Gendruwo, sosok hitam, besar, dan tinggi. Biasanya Gendruwo berada di pohon yang juga besar. Gendruwo mudah dikenali karena bau tubuhnya yang tak pernah mandi. Tapi Gendruwo termasuk baik hati, karena tak pernah mengganggu, tak juga menampakkan diri tanpa alasan. Satu-satunya dorongan penampakannya adalah mengubah diri menjadi suami—bagi istri yang ditinggalkan. Gendruwo ini berubah menjadi mirip suami—dan tak berbau busuk, lalu asyik masyuk dengan istri yang kesepian. Sesudah itu Gendruwo lenyap lagi, mencari kesempatan tampil sebagai orang lain lagi. Ada kalanya istri yang digauli sadar bahwa yang menggauli bukan suaminya, tapi tidak menghentikan di tengah jalan. Selama ini Gendruwo selalu laki-laki. Entah kalau ada Gendruwi, hantu perempuan yang mau menemani suami kesepian yang ditinggal istrinya.
Yang paling menakutkan sebenarnya yang dikenal sebagai Jerangkong Thethekan. Nama ini menunjukkan keadaannya. Jerangkong adalah bentuk semua tulang yang ada dalam tubuh—seperti manusia umumnya, hanya saja tak ada kulit, tak ada daging, tak ada bagian dalam perut, tak ada air seencrit pun. Meskipun demikian tulang-tulang bisa bergerak. Tulang kaki bisa menopang keseluruhannya. Thethekan adalah bunyi yang ditimbulkan antara rahang atas dengan rahang bawah. Dua rahang ini beradu—padahal tidak sedang makan apa-apa, juga tak mungkin makan karena tak bisa menelan, atau mencerna, mengingat semua terdiri dari tulang. Jerangkong hanya muncul selewat tengah malam, seusai pukul 12.00 malam. Barang kali Jerangkong adalah satu-satunya hantu yang sadar waktu secara tepat. Itu sebabnya, Jerangkong hanya dijumpai oleh tukang ronda ketika keliling. Barangkali Jerangkong juga melakukan ronda seperti manusia, hanya tak jelas untuk apa dan menjaga siapa.
Kalau Jerangkong tidak secara langsung menakut-nakuti—meskipun susunan tulang yang bisa berjalan dan mengeluarkan bunyi cukup mendirikan bulu kuduk—lain halnya dengan Ndas Glundung atau Ndas Cumplung, atau disebut juga Gelundung Pringis. Ini memang jenis hantu yang menakutkan. Karena bentuknya hanya kepala manusia, kata lain dari Ndas, atau Cumplung, yang menggelinding mendekati korbannya. Lalu setelah dekat ke wajah korban, langsung meringis. Ada kesengajaan untuk menakut-nakuti. Menurut cerita, Gelundung Pringis—kepala yang menggelundung dan kemudian meringis—ini adalah korban yang semasa hidupnya disembelih, yang kepalanya dipenggal. Pernah ada suatu masa di mana pemenggalan kepala banyak dilakukan, sehingga jumlah hantu ini sempat mewabah.
Yang mirip dengan itu, tapi lebih nyentrik adalah Banaspati, atau lengkapnya Ilu-ilu Banaspati. Cara jalannya terbalik, kepala di bawah, kepalanya bisa mengeluarkan api. Tidak pernah jelas apakah gerakan ini untuk menakut-nakuti semata, atau memang suka bertingkah aneh. Yang jelas apinya memang benar-benar panas. Siapa yang tersenggol bisa hangus, dengan tingkat kebakaran mencapai di atas 30 persen.
Selebihnya adalah hantu jenis yang biasa-biasa, seperti Hantu Bengkok, yang tangannya sebelah lebih panjang dan akan ngacir kalau dilempari telor, atau Hantu Lutut, yang hanya terdiri dari Lutut ke bawah, atau yang sempat dikenali, yaitu Hantu Muka Rata, yang suka iseng menampakkan diri..
Tentu saja saya mengenal mereka semua, seperti halnya mereka mengenal saya. Karena kami juga sesama hantu, dan mereka menyebut saya sebagai Hantu Kuburan Bajang. Termasuk hantu anak-anak, karena saya ini menjadi hantu sejak masih bayi sudah dibunuh. Saya berasal dari hubungan gelap. Keberadaan saya bukan merupakan ancaman bagi hantu-hantu jenis lain, juga tak terlalu menakutkan bagi manusia. Bahkan sebagian hanya mengenal saya dalam cerita. Barangkali gunanya hanya pengingat, kalau ingatan itu diperlukan. Ingatan bahwa sebaiknya bayi yang dilahirkan dari hubungan gelap tetap dibiarkan hidup—dan nantinya mati secara wajar. Dibandingkan terus hidup seperti diri saya ini, tetap berwajah dan berbentuk seperti bayi. Manusia lebih kasihan dibandingkan takut—dan bisa jadi memang itulah fungsi kehantuaan saya.
Kami semua berada di pohon rambutan lezat itu, dan dianggap menjadi penyebab sisa bangunan, atau dulunya rumah bernomor B-2, itu tak laku terjual. Pewaris tanah itu menebang pohon rambutan sampai tandas. Sampai ke akar-akarnya dicabut. Batang pohon dipotong-potong dan tak bersisa lagi. Sebagian, kalau tidak semua hantu yang ada di situ pergi. Sebagian mencari pohon lain, atau bangunan tua lain. Jarang yang memilih ke permukiman baru atau apartemen, misalnya. Para hantu itu bisa jadi merasa asing dan tidak nyaman.
Sisa bangunan B-2 itu mulai didatangi calon pembeli. Berkali-kali. Bahkan sudah ada yang mengukur. Ada yang menghitung harga dikalikan luas tanah, diperhitungkan dengan nilai jual obyek pajak. Ada yang menyetujui harga. Namun di saat-saat terakhir transaksi jual-beli batal. Termasuk ganjil karena sudah tak ada hantu.
aDan calon pembeli itu juga tak mengatakan alasan yang sebenarnya. Hanya mengatakan, tidak jadi, atau ada lokasi lain. Harga memang oke tapi kurang cocok, atau juga kurang sreg. Atau seperti biasanya yang berlaku di dunia hantu, ada juga yang mengatakan bahwa bahkan kalau diberikan secara cuma-cuma sekalipun, B-2 tak akan diterima. Atau: “Kalaupun saya sudah membayar lunas, saya tak akan menempati, apalagi membangunnya.”
Saya merasa dan melihat bahwa pewaris tanah B-2 tak mampu menjelaskan kenapa begitu. Saya juga tidak, andaikata tak ada suara yang memanggil saya.
“Bajang…”
Terus terang saya merinding. Meskipun bulu kuduk saya tak seberapa—saya tetaplah bayi dengan sedikit bulu, apalagi di kuduk, rasa takut menguasai. Jangan dikira hantu tak bisa takut. Sebagai hantu saya merasa takut, berdebar, dan melihat kiri-kanan. Keringat dingin mengucur, dan kebelet pipis. Tak ada siapa pun. Semua hantu sudah pergi, Tak ada manusia juga. Langit bersih. Angin tersisih.
“Bajang… ”
Kali ini saya benar-benar takut, dan siap untuk lari. Tapi kaki gemetar, menjadi berat melangkah.
“Bajang…Ini aku..”
Barulah saya bisa mengetahui asal suara, yaitu sisa bangunan, yaitu…
“Ya, akulah yang dikenal B-2. Dan sesungguhnyalah kukatakan kepadamu, Bajang, aku berhak menentukan kehendakku. Aku akan memilih siapa yang pantas membeli tanah ini, dan ketika itu terjadi, terjadilah jual-beli yang sah. Selama aku tidak menghendaki, akan selalu batal.”
Jadi B-2 ini bukan jenis hantu yang selama ini dikenal, atau saya kenal. B-2 ini bekas rumah, atau tanah, atau benda yang memiliki sifat-sifat makhluk halus.
Seperti menangkapkan keraguan saya, B-2 berkata, “Kamu yang sudah dibunuh saja masih bisa hidup sebagai hantu, apalagi aku yang tak bisa dibunuh. Kamu saja mempercayai dirimu masih bisa hidup, sebagaimana para hantu, bagaimana mungkin kamu tak mengenaliku sebagai makhluk hidup?”
Bangunan, atau sisa bangunan, itu bernama, atau menamai dirinya, B-2. Saya mengenalnya, walau tak melihat atau bersentuhan langsung. B-2 tahu bagaimana memanggil saya. Saya tahu memanggilnya. Dan sesungguhnya hidup ini tetap layak dijalani walaupun saya dimatikan sejak bayi. Walau B-2 hanya bekas bangunan. Sama dengan yang merasa memiliki tanah atau bekas bangunan. Atau memiliki kehidupan.
(Jakarta, Januari 2017)
Arswendo Atmowiloto dikenal sebagai penulis novel dan skenario. Novelnya antara lain Opera Jakarta, Abal-abal, dan Senopati Pamungkas
Untuk artikel Sastra dan Puisi Koran Tempo Akhir Pekan bisa dikirim ke email: [email protected]
Leave a Reply