Cerpen Irwan Kelana (Republika, 22 Januari 2017)
PESAWAT Saudi Airlines dari Jeddah tujuan Paris mendarat mulus di Bandara Charles de Gaulle. Aku tengok jam tangan, waktu menunjukkan pukul 07.30.
Pesawat terbang dari Jeddah pukul 03.10. Menjelang terbang, pramugari mengumumkan penerbangan Jeddah-Paris memakan waktu sekitar 6 jam 20 menit. Butuh waktu sekitar 1,5 jam, aku bersama 40 anggota rombongan umrah plus Paris melalui pemeriksaan imigrasi dan mengambil bagasi. Tour leader (TL) yang juga pemilik travel, Hisyam, mengarahkan kami ke luar bandara.
Ini pertengahan Februari. Prancis masih musim dingin. Paris saat Februari masih lumayan dingin. Suhu udara sekitar 4 sampai 8 derajat celcius, kata Hisyam begitu kami berada di tempat parkir. Bus jemputan sudah menunggu.
Ini kali ketiga aku melakukan umrah. Lima belas tahun lalu aku melakukannya berdua dengan Khairin Fadila, istriku. Lima tahun berikutnya aku pun melakukannya bersama istriku. Kali ini umrah plus Kairo.
Namun umrah yang ketiga aku melakukannya sendiri. Aku umrah dengan niat mencari petunjuk Allah mengenai perkawinanku dengan Khairin. Sudah lebih 15 tahun kami menikah, namun sampai saat ini belum juga dikaruniai anak.
Kami sudah periksa dokter. Menurut dokter, aku dan Khairin tidak ada masalah.
Lima tahun pertama menunggu, okelah. Sepuluh tahun, kesabaranku mulai habis. Apalagi setelah 15 tahun. Usiaku dan Khairin sudah hampir kepala empat. Namun rumah kami masih saja sepi tanpa tangis dan tawa anak.
Yang membuatku makin galau, ibuku yang sudah tidak sabaran dan berkali-kali menanyakan soal cucu. Dia sangat rindu menimang cucu. Apalagi aku adalah anak satu-satunya dan penerus bisnis keluarga.
Beberapa kali ibuku menyarankan aku menikah lagi, agar bisa segera punya anak.
“Sekretarismu, Melisa, cantik dan berjilbab pula. Mengapa tidak kau nikahi saja dia, supaya ibu bisa segera punya cucu,” ujar ibuku.
“Bu, tidak semudah itu aku menikahi wanita lain. Khairin istri yang baik dan salehah. Satu-satunya masalah kami adalah kami belum dikaruniai anak,” sahutku.
“Justru itu. Khairin sampai sekarang belum juga hamil. Padahal usianya sudah hampir 40 tahun. Lalu, kapan dia mau hamil?”
“Bu, maaf ya, soal anak, jodoh, rezeki dan mati, itu kan urusan Allah.”
“Ya, tapi manusia wajib berikhtiar.”
“Aku dan Khairin bukannya tidak berikhtiar, Bu. Kami sudah berkonsultasi ke banyak dokter kandungan. Kami juga mencoba beberapa terapi dan herbal. Tapi memang Allah belum memberikan kepercayaan kepada kami untuk punya anak.”
“Maka itu, Ibu sarankan kamu menikah lagi supaya bisa punya anak. Irfan, usia Ibu sekarang sudah hampir 70 tahun. Apa kamu tidak menyesal kalau Ibu keburu meninggal sebelum sempat menimang cucu?”
Aku tak tahu harus berkata apa.
Terus terang, aku tak tega menduakan Khairin. Aku tak tahan melihat mata sendunya.
Khairin adalah satu-satunya gadis yang aku cintai waktu kuliah di Fakultas Ekonomi UI Depok.
Sejak pertama kali melihatnya di masjid kampus UI, hatiku langsung terpincut kepadanya. Jilbabnya modis. Dia selalu pandai memadukan atasan, bawahan dan kerudungnya. Tak hanya modis, dia pun selalu menjaga dirinya agar tak jadi santapan pandangan nakal laki-laki.
Dia tak pernah sekali pun membiarkan orang melihat lekuk tubuhnya. Baju dan kerudungnya selalu menutupi lekuk tubuhnya. Terkadang dia memakai jaket, kali lain memakai sweter, pada waktu lain lagi dia memakai over coat, yang semuanya panjang hingga lutut.
“Khairin. Lengkapnya Khairin Fadila,” sahutnya lembut saat kutanyakan namanya suatu hari seusai shalat Dhuha di masjid kampus, satu bulan sejak aku kuliah di UI.
Belakangan aku tahu, ayahnya ternyata seorang ustaz. Tinggal di Bandung.
Tiap selesai shalat aku berdoa. Ya Allah, lulus kuliah saya ingin menikahi Khairin. Titip Khairin ya Allah.
Kami wisuda sarjana pada waktu yang bersamaan. Seusai wisuda, aku menghampirinya.
“Rin, apakah ada yang mendahuluiku?”
“Maksudnya apa, Irfan?”
“Apakah ada lelaki yang pernah melamarmu?” tanyaku langsung.
Tiba-tiba wajah Khairin memerah jambu.
“Belum ada tuh.”
“Alhamdulillah. Ya Allah, Engkau kabulkan doaku.”
“Maksudmu apa, Irfan?”
“Sejak pertama kali melihatmu, aku jatuh cinta padamu. Dan aku ingin menjadikanmu istri bagiku dan ibu anak-anakku. Tapi aku tidak mau pacaran. Makanya tiap selesai shalat, aku berdoa kepada Allah agar selalu menjagamu untukku. Aku titipkan engkau kepada Allah.”
“Sekarang apa rencanamu, Irfan?” Gantian, Khairin yang menembak aku. Dia tersenyum kecil memperlihatkan barisan giginya yang putih teratur. Ah, kalau mau, Khairin bisa jadi model pasta gigi.
“Rencanaku? Aku sekarang akan menemui ayahmu, minta izin melamarmu. Pekan depan, besok, atau kalau beliau setuju, hari ini juga.”
Lagi-lagi Khairin tersenyum manis.
***
Selama umrah, aku berkali-kali melakukan shalat istikharah dan bermunajat kepada Allah. Baik di Masjid al-Haram Makkah maupun Masjid Nabawi Madinah.
Selama di Makkah, kami menginap di lantai lima Hotel Fairmont yang lokasinya persis di bawah jam raksasa dan punya pemandangan Ka’bah. Aku rutin keluar kamar hotel pada pukul 02.00 agar bisa shalat Tahajud di Multazam dan Shubuh berjamaah di baris pertama Masjid al-Haram. Apalagi pada Jumat, imam shalat Shubuh adalah Syeikh Sudais yang sudah sangat dikenal di Indonesia. Suaranya sangat merdu, dan beliau sering kali menangis saat membacakan ayat-ayat sedih atau ancaman Allah terhadap orang-orang yang membangkang kepada Allah.
Selama di Madinah, kami menginap di Hotel Dar Iman Continental yang berbatasan langsung dengan pelataran Masjid Nabawi bagian belakang. Di Masjid Nabawi, setiap malam aku pun selalu berusaha mendapatkan tempat shalat dan berdoa di Raudah, tempat yang paling makbul untuk berdoa.
Sampai di Paris, kami tidak langsung check in di hotel. Hisyam mengajak kami mengunjungi beberapa obyek wisata dan tempat belanja di Paris, antara lain toko duty free yang biasa dikunjungi wisatawan, yaitu Benlux dan Paris Look.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Paris sangat identik dengan parfum. Bahkan ada yang menyebut Paris sebagai surga parfum. Banyak yang mengatakan, parfum yang dijual di Paris lebih bagus mutunya dibandingkan yang dijual di Indonesia,” ujar Hisyam.
Paris Februari. Salju berangsur pergi, namun gerimis musim dingin masih terus menerus membasahi kota paling romantis itu.
Hisyam juga mengajak kami menunaikan shalat Zhuhur dan Ashar secara jamak di Grande Mosquee de Paris, yang merupakan masjid agung kota Paris.
“Masjid dengan gaya Spanyol-Maroko ini memiliki menara setinggi 33 meter dan merupakan masjid pertama dan terbesar di Prancis,” ujar Hisyam.
Menjelang pukul lima sore, kami naik kapal pesiar mini Bateaux Mouches menyusuri Sungai Seine. “Perjalanan ini kurang lebih 1 jam 15 menit, bolak-balik hingga ke tempat kita berangkat ini. Sepanjang perjalanan, kita akan disuguhkan pemandangan yang indah mengenai Kota Paris,” tutur Hisyam.
Banyak penumpang yang duduk di bangku di dalam ruangan kapal. Namun ada pula yang berdiri dari buritan perahu sambil menikmati pemandangan Paris.
Aku lihat Pak Jamil berdiri sendirian di pojok kapal. Aku sangat penasaran dengannya. Selama umrah, lelaki yang kutaksir usianya sekitar 60 tahun itu sangat rajin ke Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi. Namun yang paling menarik perhatianku adalah dia sebentar-sebentar menelepon. Baik saat di bandara, hotel, masjid, maupun tempat belanja. Agak panjang lebar dia bicara. Sepertinya menanyakan tentang kondisi istrinya.
Terus terang aku penasaran. Karena itu aku sengaja menghampirinya.
“Pak Jamal, mohon maaf, saya usil. Selama di Tanah Suci, saya lihat Bapak sangat sering menelepon. Apakah ada masalah? Barangkali saya bisa bantu,” kataku hati-hati.
“Mas Irfan. Saya memang sangat sering menelepon ke rumah. Menanyakan kondisi istri saya ke anak-anak?”
“Ada apa dengan istri Bapak?”
“Ia stroke sudah 10 tahun. Selama ini saya yang merawatnya. Alhamdulillah, saya punya usaha bisnis sendiri yang cukup besar. Bisnis tersebut saya kendalikan dari rumah, sehingga saya bisa sepenuhnya mengurus istri saya yang sakit.”
“Sepuluh tahun, Pak?”
Ia mengangguk.
“Bapak tidak menikah lagi? Maaf, mungkin pertanyaan saya tidak sopan.”
“Mas Irfan, bagaimana mungkin saya menikah lagi pada saat istri saya sakit stroke dan ia sangat membutuhkan perhatian saya? Rasanya tidak adil kalau saya menikah lagi, sedangkan selama 25 tahun perkawinan kami sebelumnya ia begitu perhatian dan merawat saya maupun anak-anak dengan sangat baik,” ujarnya.
“Luar biasa, Pak. Itu sebabnya Bapak seringkali menelepon ke rumah ya?”
“Ya, Mas Irfan. Jadi, saya ini dipaksa umrah oleh anak-anak saya yang berjumlah empat orang. Apalagi si bungsu, namanya Aisyah, bulan lalu diwisuda sebagai dokter. Anak-anak memaksa saya umrah. Kata mereka, sebagai hadiah buat ayah. Dan mereka, terutama si bungsu, siap menjaga mama mereka selama 24 jam selama saya melaksanakan umrah. Tapi, biar bagaimanapun, saya tetap khawatir terhadap istri saya. Makanya, setiap hari saya berkali-kali menelepon anak-anak saya untuk memastikan bahwa kondisi mama mereka baik-baik saja,” papar Pak Jamil.
***
Pembicaraanku dengan Pak Jamil tadi membuat hatiku tersentak. Tiba-tiba saja aku begitu merindukan Khairin. Aku sudah berniat, begitu sampai di hotel segera mandi dan shalat Maghrib dan Isya dijamak. Setelah itu aku ingin segera menelepon Khairin.
“Mas Irfan, saya izin mau ke kamar ketua rombongan, sebab ada yang harus didiskusikan,” kata Mas Bambang, teman sekamarku.
“Oke, Mas.”
Aku sendirian di kamar. Dari balik jendela Hotel Concorde, kutatap Paris di antara gemerlap cahaya dan rinai gerimis.
Pukul sembilan malam waktu Paris. Pukul 3 dini hari waktu Indonesia Barat.
Aku menelepon Khairin.
“Assalamu ’alaikum, Rin.”
“Wa ‘alaikumsalam, Mas.”
“Alhamdulillah sudah bangun. Sudah Tahajud?”
“Ini baru selesai Tahajud. Dari tadi malam mata sulit banget terpejam. Antara bahagia dan ragu-ragu.”
“Ada apa, Rin?”
“Sudah dua pekan Khairin belum datang bulan. Kemarin sore Khairin tes, sepertinya positif. Tapi Khairin ragu. Apakah iya Khairin hamil di umur 40? Khairin sangat berharap, tapi Khairin juga takut kecewa kalau ternyata hal itu tidak benar.”
“Sejujurnya, Khairin sangat mengharapkan semoga Khairin memang betul-betul positif hamil. Ini adalah harapan Mas Irfan, harapan Khairin, dan harapan papa dan mama Mas Irfan. Harapan Abi dan Umi Khairin juga tentunya. Khairin menyadari, mungkin hanya kehadiran anak yang bisa menyelamatkan pernikahan kita, suaranya terdengar parau.”
“Rin, maafkan saya jika selama ini sikap dan perkataan saya tentang anak sering membuat Khairin tersinggung dan sedih. Saya berkali-kali shalat istikharah di Masjid al-Haram maupun Masjid Nabawi. Memohon petunjuk terbaik dari Allah untuk menyelamatkan rumah tangga kita. Dan Allah menjawabnya saat saya berada di Paris. Bagaimana kisahnya, nanti saya ceritakan kalau saya sudah pulang ke Tanah Air.”
“Yang jelas sekarang saya ingin katakan satu hal, saya akan tetap mencintaimu, dengan atau tanpa anak yang lahir dari rahimmu. Kita toh bisa mengadopsi anak-anak yatim untuk kita rawat, pelihara dan kasihi. Bahkan kalaupun kita punya anak yang engkau lahirkan, kita akan tetap mengadopsi anak-anak yatim dan dhuafa, agar rumah kita setiap hari selalu ramai dengan celoteh dan canda anak-anak. Kita carikan guru ngaji untuk mereka, agar sedini mungkin mereka belajar agama Islam dan menjadi penghafal Alquran.
Khairin terdiam. Agak lama. Tiba-tiba terdengar suara tangis.
“Rin….”
“Mas. Betapa bahagia hati Khairin mendengarnya.”
“Aku ingin engkau selalu bahagia. Sekarang, esok dan selamanya. Kita akan menjalani hidup ini seperti keberanian seorang nahkoda melajukan biduknya di tengah lautan.Ombak dan badai pasti datang, namun ombak dan badai itulah yang mengantarkan biduk kita ke pantai.”
“Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah.”
“Rin, kapan terakhir kali aku bilang ‘I love you’?”
Khairin tidak langsung menjawab.
“Kapan… ya? Mungkin tiga tahun lalu,” ujarnya perlahan.
Tiba-tiba aku merasa begitu berdosa. Tiga tahun lebih aku menyia-nyiakan istriku hanya karena kami belum dikaruniai anak. Dan itu bukan salah istriku.
“Maafkan aku, Rin. Aku janji, mulai saat ini aku akan selalu membisikkan ‘I love you’ setiap jelang tidurmu,” suaraku bergetar.
“Terima kasih, Mas.”
“Tanggal 10 April kamu ulang tahun.”
“Oh ya, Khairin hampir lupa tanggal ulang tahun.”
“Aku ingin kita bulan madu yang kedua. Tapi kali ini rutenya Makkah-Madinah- Paris. Umrah plus Paris. Kamu mau, kan?”
“Terima kasih, Mas. Indah sekali.”
“Kita akan menyusuri Sungai Seine dengan kapal pesiar. Sambil memandang kota Paris, kita bicara tentang masa depan. Tentang anak-anak kita, baik mereka yang lahir dari rahimmu maupun anak orang lain yang Allah titipkan kepada kita. Bagiku, mereka tetaplah anak-anak kita.” ***
.
.
Makkah-Madinah-Paris, 2015-2016.
Irwan Kelana, cerpenis yang juga wartawan Republika.
.
Paris, Salju dan Gerimis. Paris, Salju dan Gerimis. Paris, Salju dan Gerimis. Paris, Salju dan Gerimis. Paris, Salju dan Gerimis.
dema jatmiko
Segala puji bagi Allah
Abi Abdul Jabbar
Luar Biasa cara Ust Irwan menyajikan tulisan, gaya bahasanya yang khas, sangat menghipnotis pembaca. Saya seperti bisa merasakan apa yang beliau rasakan saat menulis ini, sungguh banyak pesan yang menggetarkan hati. Syukran Ust Irwan.
Mawardi
MasyaAllah… keren ustadz
Emat
Menginspirasi