Cerpen S. Prasetyo Utomo (Jawa Pos, 22 Januari 2017)
INI hari ketujuh Kodrat dan orang-orang lembah Gunung Bokong menggelar pertunjukan di luar pagar istana negara, menanti presiden berkenan menghampiri mereka. Tetapi mungkinkah presiden berkenan keluar dari istana negara, menemui mereka, dan bertanya, “Mengapa Saudara menggelar pertunjukan di tempat ini?”
Kodrat ingin mengatakan semuanya kepada presiden bahwa pabrik semen yang didirikan di lembah Gunung Bokong merusak alam di daerah kapur itu, mematikan mata air, dan menghancurkan bumi tempat mereka bertani. Ia, mewakili kehendak warga, menyampaikan pesan agar pabrik semen itu segera ditutup.
Sungguh aneh, di terik trotoar ibu kota, Kodrat dan orang-orang itu memainkan tari, musik rebana, bershalawat dan berzikir, sebagaimana mereka lakukan di masjid desa. Tinggal menanti Kiai Bisri, yang bersedia hadir di tengah-tengah mereka, menyusul dengan pesawat terbang, hendak membacakan doa keselamatan bagi orang-orang lembah Gunung Bokong. Matahari hampir mencapai puncak, Kiai Bisri belum muncul di tengah mereka. Padahal sore nanti ia dan warga lembah Gunung Bokong bakal meninggalkan trotoar di luar pagar istana negara ini.
Pada pertunjukan hari pertama, Kodrat dan sembilan warga lembah Gunung Bokong bermain kuda lumping, dengan seperangkat gamelan dan gendang yang dibawa dengan truk dari desa. Pergelaran yang sunyi. Tanpa penonton. Tak ada tanda-tanda presiden bakal menghampiri mereka. Malam harinya mereka menginap di rumah Pak Jo, warga lembah Gunung Bokong yang merantau menjadi sopir angkot di ibu kota. Mereka tidur berjejalan di rumah yang sempit.
Sesekali Kodrat menghibur hati teman-temannya, yang merindukan pulang kembali ke lembah Gunung Bokong, teringat akan rumah yang luas, ladang dan sapi-sapi piaraan mereka. Teman-teman yang lain teringat akan istri, lantaran mereka baru saja menikah. Yang lain lagi teringat akan anak yang lagi lucu-lucunya belajar bicara, berjalan tertatih-tatih.
Kodrat cemas berharap Kiai Bisri segera menyusul ke istana negara, merestui pergelaran mereka. Kehadiran Kiai Bisri diharap akan mengundang presiden untuk turun dari istana negara, dan bertanya, “Apa yang Saudara tuntut dariku?”
***
MALAM itu Kodrat hadir di pesantren Kiai Bisri, dengan muka ditekuk, memohon agar kiai berkenan hadir merestui pertunjukan Kodrat dkk. di luar pagar istana negara. Malam yang senyap di pesantren, Kiai Bisri berbincang di antara para santri dan tamunya. Aroma kopi, asap rokok, meruap dalam percakapan di pendapa. Kodrat memasuki pintu, langkahnya bimbang, menyalami Kiai Bisri, dan memohon, “Kami berharap Kiai mendampingi pertunjukan kami di trotoar depan istana negara. Meski cuma sesaat, saya mohon Kiai berkenan menunggui pertunjukan kami. Biar presiden menemui kami.”
Tertegun, Kiai Bisri masih menimbang-nimbang. Tampak ia bimbang, dan tak segera memberi keputusan. Apa ini maknanya? Pertunjukan tari di luar pagar istana negara? Ia tak yakin benar presiden berkenan menemui mereka.
“Kami menolak pendirian pabrik semen di lembah Gunung Bokong, berada di wilayah desa kami,” kata Kodrat.
“Dan, yang bisa menghentikan pendirian pabrik itu cuma presiden. Saya dan teman-teman akan mengadakan pertunjukan selama tujuh hari, sampai presiden berkenan muncul dari istana, menemui kami.”
Kiai Bisri masih merenung, menimbang-nimbang. Hari itu ia memang tak terikat untuk dakwah ke kota yang jauh. Mestinya ia bisa menghadiri pertunjukan Kodrat pada hari ketujuh. Tetapi haruskah aku mendampingi pertunjukan Kodrat, meski cuma untuk sesaat, agar presiden berkenan bertemu mereka?
Kiai Bisri memandangi Kodrat, seperti ingin mencari kepastian pada wajah yang penuh harap. Wajah yang memohon. Kiai Bisri masih menimbang-nimbang. Belum memberikan kepastian. Tetapi yang membuat Kodrat lega, wajah Kiai Bisri tampak bercahaya. Rambutnya yang memutih bukannya menyurutkan cahaya wajahnya. Malah menambah kagum orang-orang yang memandanginya.
“Apa pun keputusan Kiai, itu berkah bagi kami,” kata Kodrat, dengan wajah yang memohon. “Kami berharap restu Kiai.”
Kodrat tak berani memaksa Kiai Bisri untuk hadir dalam pertunjukan di trotoar luar pagar istana negara. Ia merasa tak berhak memaksa Kiai Bisri. Ia mesti tahu diri. Tetapi sungguh aneh, Kiai Bisri tampak bimbang. Mungkin tak kuasa menolak.
Terjadilah suatu situasi yang tak terduga. Nyai Bisri muncul di pendapa, memandangi santri dan tamu-tamunya. Saat menatap Kodrat, Nyai Bisri tersenyum. Tak memandang lagi tamu yang lain. Mengangguk-angguk, seperti bisa membaca pikiran Kodrat, tersenyum—lembut, dan penuh pengertian. Nyai Bisri mendengarkan semua pembicaraan dan hasrat Kodrat.
“Berangkatlah! Abah pasti menyusulmu pada pertunjukan hari ketujuh!” kata Nyai Bisri, seperti sudah memastikan kehadiran suaminya. Kiai Bisri tampak terkejut. Tetapi lelaki bijak itu segera meredakan gejolak perasaannya. Ia tersenyum. Mengangguk-angguk.
Kodrat merasakan suasana yang tak lazim: Nyai Bisri berkenan menemui tamu, dan memberikan keputusan, tanpa pertimbangan suami. Kodrat tak pernah bisa menduga, apa yang dipikirkan Kiai Bisri. Ketika ia berpamitan pada Kiai Bisri, langkahnya terasa berat: ia terus-menerus menafsir kehendak Nyai Bisri, dan tak pernah memahaminya.
***
TRUK bak terbuka itu penuh dengan perangkat gamelan, lesung, busana tari, barongan, pelan-pelan meninggalkan lembah. Sembilan lelaki muda dengan wajah bersemangat dan jenaka bersama Kodrat, berangkat menuju ibu kota negara dalam perjalanan dua belas jam, mungkin lebih.
Kabut pagi masih rapat di dedaunan jati, mereka meninggalkan desa. Deru truk yang membawa mereka ke ibu kota mengalahkan lenguh sapi dan kepulan asap melenyapkan bau kotoran sapi yang bercecer-cecer sepanjang jalan.
Truk tergoncang-goncang melewati jalanan rusak desa lembah Gunung Bokong yang diteduhi hutan jati. Kodrat duduk di sisi sopir, memendam gelisah, dengan berkali-kali menyalakan rokok dan menghirupnya dalam-dalam. Berkali-kali ia berpapasan dengan truktruk tronton, membawa alat-alat berat, yang diangkut ke pabrik semen. Truk-truk perkasa itu dikemudikan sopir yang tak peduli dengan siapa pun di atas tanah kapur. Truk-truk melintas selalu menyisakan kepulan debu keputihan.
Melintasi jalan raya yang tengah dibenahi, anak buah Lurah Ngarso –yang sangat mendukung pendirian pabrik semen—menyoraki mereka dengan seruan kasar dan caci-maki. Kodrat menahan diri. Tak membalas cemoohan mereka yang tengah mengatur mobil-mobil yang lalu-lalang.
“Biar kuhajar mulut mereka!” kata sopir truk, yang bertubuh kekar dan sigap. Kodrat tersenyum, meredakan kemarahan sopir truk. Di tepi jalan kian banyak didirikan warung makan yang menerima para pekerja proyek pabrik semen—dan mereka mencemooh truk yang ditumpangi Kodrat berangkat ke ibu kota.
***
HARI pertama pertunjukan di luar pagar istana negara adalah tari kuda lumping. Penari dan penabuh gamelan sudah menginap semalam di rumah Pak Jo, terlihat segar dan bertenaga. Kota begitu bising, mereka tak peduli dengan segala hiruk pikuk, terik matahari, udara kotor berdebu, dan kesibukannya. Di luar pagar istana negara, mereka mementaskan tari kuda lumping, tanpa seorang pun memerhatikan mereka, apalagi menonton.
Menjelang sore mereka menghentikan pertunjukan. Wajah mereka hangus cahaya matahari dan debu.
Pada hari kedua digelar tari barongan dengan delapan orang. Seorang teman meninggalkan ibu kota. Kembali pulang ke lembah Gunung Bokong. Hari ketiga mereka memainkan musik lesung dengan alu. Seorang lelaki muda menyusul pulang. Tinggal bertujuh. Hari keempat diperagakan tari topeng hitam. Tinggal enam orang. Hari kelima rebana. Tinggal lima orang.
Hari keenam pergelaran tari sufi . Empat orang masih setia pada Kodrat. Mereka menari berputar berlawanan dengan arah jarum jam. Hari ketujuh mereka berzikir. Tinggal tiga orang yang setia pada Kodrat. Zikir yang sangat sunyi. Kodrat berharap Kiai Bisri menyusulnya. Memberi restu. Menaunginya dengan doa.
***
SEHARI sebelum Kiai Bisri berangkat ke ibu kota, istrinya terbaring di rumah sakit. Kiai Bisri tak pernah beranjak meninggalkan istrinya, yang sesak napas, dengan oksigen menyungkup puncak hidung dan mulutnya. Tak pernah lepas zikir dari rekah bibir Kiai Bisri.
Menjelang subuh, Nyai Bisri bernapas lega. Wajahnya cerah, oksigen dilepas, dan memandangi wajah suaminya. Kiai Bisri tersenyum.
“Kau berjanji mau mendukung Kodrat hari ini,” kata Nyai Bisri pada suaminya.
“Tapi aku tak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan begini.”
“Aku baik-baik saja. Ada anak-anak yang selalu mendampingiku,” kata Nyai Bisri meyakinkan.
“Bukankah tiket pesawat berangkat dan pulang sudah kau beli?”
Tertunduk, diam, menimbang-nimbang, Kiai Bisri tak segera beranjak. “Kalau kau sembuh, tentu sepulangku dari ibu kota akan kau masak sayur lodeh kesukaanku.”
“Ya, akan kumasak sayur lodeh, sambal terasi, dan goreng ikan teri,” suara Nyai Bisri bening.
Kiai Bisri berpamitan. Nyai mencium tangan lelaki yang empat puluh lima tahun mendampingi hidupnya. Langkah Kiai Bisri ragu. Tetapi ia tak ingin menoleh ke arah istrinya yang masih terbaring lunglai. Tak berani melihat tipis senyumnya. Ia mengikuti kehendak wanita yang telah berkenan melahirkan tujuh anak hingga memiliki tiga belas cucu.
***
MENJELANG siang matahari terik di trotoar luar pagar istana negara. Tetapi suasana alangkah teduh. Kiai Bisri turun dari taksi, bersorban dan berjubah putih. Wajahnya teduh bercahaya. Orang-orang lembah Gunung Bokong yang kini tersisa empat orang bersama Kodrat, masih bertahan menggelar zikir. Mulut mereka sudah kering, haus, dan matahari menyengat di ubun-ubun.
Kedatangan Kiai Bisri mengejutkan Kodrat. Duduk di tikar yang digelar di bawah rimbun pohon tanjung, Kiai Bisri turut berzikir. Zikir dari bibir kering, dengan lelehan setipis lilin terbakar dari sudut-sudut mata mereka. Zikir yang membebaskan rasa sesak di dada. Seorang ajudan presiden bergegas menemui Kiai Bisri.
“Kiai dimohon menghadap presiden.”
Kiai Bisri bangkit pelan-pelan, memeluk Kodrat. Keduanya masih berzikir, melangkah pasti, memasuki istana negara. Ajudan presiden mengiringi langkah mereka.
***
MENINGGALKAN ruang kerja presiden, telepon genggam Kiai Bisri berdering. Lelaki tua itu gugup, menerima telepon, menahan perasaan kehilangan, ketika kemudian ia membisik, “Aku mesti segera pulang. Telah kusiapkan tiket perawat sore ini.”
Alangkah senyap. Tubuh Kodrat bergetar. Tentu ini berita tentang Nyai Bisri, yang telah meminta kiai untuk menemui Kodrat di depan istana negara.
Kodrat dan empat orang lembah Gunung Bokong yang setia, meneruskan zikir mereka di atas truk terbuka. Terus berzikir dengan tubuh terguncang-guncang selama lebih dua belas jam perjalanan dari ibu kota menuju lembah Gunug Bokong. Tidak. Mereka tidak pulang ke sana. Menjelang dini hari mereka singgah di pesantren Kiai Bisri. Terus berzikir di depan jenazah Nyai Bisri. Zikir yang lirih dan jernih. Zikir yang tak merintih. ***
Pandana Merdeka, September 2016
- PRASETYO UTOMO, lahir di Jogjakarta, 7 Januari 1961. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Sema rang (Unnes) 1987. Menyelesaikan program pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Surakarta (2010). Menempuh program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes. Bekerja sebagai dosen di Universitas PGRI Semarang. Sejak 1983 menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel. Kumpulan cerpen tunggalnya Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005) dan novel yang telah dibukukan Tangis Rembulan di Hutan Berkabut (HO Publishing, 2009).
Leave a Reply