Cerpen Danang Cahya Firmansah (Suara Merdeka, 29 Januari 2017)
Saat ngopi di warung pertigaan jalan, Gober merenung, gelisah. Tangan kanannya memegangi kening, tangan kiri memegang rokok menyala. Gelas kopi di hadapannya masih penuh, belum setetes pun dia teguk. Gober memikirkan biaya untuk melanjutkan sekolah anak-anaknya. Dia memijit-mijit kening, kebingungan.
“Kenapa, Pak?” tanya Mak Ijah, pemilik warung, pada Gober.
“Bingung, Mak. Anak-anakku butuh biaya.”
“Anakmu berapa ta?”
“Enam.”
Mak Ijah terperanjat kaget mendengar jawaban Gober. Dia tak menyangka lelaki kurus kerempeng, mata selalu terlihat sayu, rambut tipis, itu punya enam anak! Dia menggeleng-gelengkan kepala. Tiba-tiba kini dia membenci sang suami. Ya, suami Mak Ijah hanya mampu memberikan seorang anak. Itu pun mati sewaktu bayi.
“Seharusnya kau bersyukur, Pak!”
“Bersyukur bagaimana? Aku tak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluargaku!” ujar Gober dengan nada tinggi. Matanya melotot sesaat, lalu kembali sayu.
“Eh, aku ini nggak punya anak. Aku malah bingung ke mana mesti menghabiskan uangku.”
Gober tak memedulikan ucapan Mak Ijah. Dia membuang putung rokok ke asbak, lalu kembali merenung. Kini tangan kiri memegangi kepala, tangan kanan tertelungkup pasrah di atas meja. Dia teringat ketika berkali-kali sang istri ikut KB, tetapi selalu gagal. “Apa aku terlalu subur ya?” batin Gober sembari tersenyum sesaat, lalu kembali cemberut.
Langit memerah. Sinar matari menghilang. Puluhan bebek pulang ke kandang. Barisan bebek itu melewati jalan di depan warung Mak Ijah. Gober menoleh, memandang iri bebek-bebek itu.
Dia iri lantaran bebek-bebek itu tak memedulikan jumlah istri dan anak. Ada seekor bebek tertinggal, persis di depan warung. Gober melihat dengan jelas, meski langit menghitam. Perut bebek itu bengkak.
Bebek itu terduduk beberapa saat, lalu berdiri dan kembali berlari, mengejar rombongan yang telah jauh meninggalkannya.
Gober berdiri, mendekati tempat bebek berhenti. Dia melihat sebutir telur. “Kurang ajar! Dia menghinaku,” batin Gober.
Dia kembali masuk ke warung. Tiba-tiba Mak Ijah menutup pintu warung. Gober kaget.
“Aku ingin omong serius denganmu,” ujar Mak Ijah sambil memegangi tangan Gober yang dingin.
“Ada apa?”
“Sudahlah, ayo duduk.”
Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan. Tangan Mak Ijah masih memegangi tangan Gober dengan mesra. Mata Mak Ijah memandang dengan tatapan meminta. Gober jeri.
“Anakmu enam! Masa begini saja takut!” bentak Mak Ijah.
Gober teringat suami Mak Ijah, Ponijan. Ya, Ponijan yang berkumis lebat bagai rumput liar. Lelaki bertubuh tinggi dan tegap bagai tentara itu menghantui benak Gober.
“Kau takut pada suamiku?”
Gober mengangguk pasrah. Dia berdiri, melangkah mundur. Namun Mak Ijah mencekal tangannya dan menyeret dia. Gober duduk kembali.
“Kau kan pandai bikin anak. Mbok ya Mak beri satu saja!” pinta Mak Ijah dengan senyum iba.
“Nggak bisa, Mak! Meski miskin, kami tak bakal menjual anak-anak kami,” bentak Gober tertahan.
Mak Ijah kaget. Dia tak menyangka, selain kurus kerempeng, Gober juga bodoh. Mak Ijah tak habis pikir, kenapa Gober tak paham ucapan dan bahasa tubuhnya.
“Maksudku, bikinin aku anak. Nanti kuberi kau uang per bulan. Sesuai dengan UMR. Bagaimana?”
Gober menelan ludah. Beberapa saat kemudian dia mengangguk lemah. Matanya kini melotot.
“Ada uang muka, nggak?” tanya Gober denga mata semakin melotot.
“Ada! Tapi kalau kau gagal, uang itu kembali dua kali lipat,” ujar Mak Ijah sambil meremas keras tangan Gober.
Gober memejamkan mata. Tangannya sakit.
Lampu warung itu kemudian padam. Sepi. Sunyi. Cuma dengus dan lenguh mereka yang terdengar samar.
***
Dua bulan berlalu. Gober kembali ke warung Mak Ijah. Selangkah sebelum sampai di warung, dia gemetaran. Gober takut Mak Ijah gagal hamil. Ya, dia tak tahu bagaimana mesti mengembalikan uang.
Dia melangkah masuk dan duduk. Dia meletakkan kunci motor dan HP di atas meja. Kedua tangannya memegangi kening. Tak ada orang lain di warung kopi itu. Dia meletakkan tangan penuh keringat di atas meja.
“Gober!”
Gober menoleh ke belakang. Ya, Mak Ijah memanggilnya. Mak Ijah berjalan tergopoh-gopoh.
“Mana uangku! Dua kali lipat!” bentak Mak Ijah.
Bibir Gober kaku. Lidahnya kelu. Tiba-tiba HP-nya bergetar. Ada satu pesan masuk. Dia membaca, “Yah, aku hamil.”
“Duh, istriku hamil lagi,” batin Gober, geram. Tangannya menggebrak meja.
Mak Ijah menggebrak meja lebih keras.
“Iya, iya, Mak!”
Gober kembali melihat ada pesan masuk ke HP-nya. Di kembali membaca. Dia terlongong, lalu jatuh tersungkur. Pingsan. Nomor pengirim pesan itu bukan milik sang istri, melainkan anak perempuannya, murid kelas III SMP.
Setelah sadar, Gober berunding dengan Mak Ijah. Gober berjanji membuatkan anak kembali. Jika gagal, dia bersedia mengembalikan uang Mak Ijah tiga kali lipat! Setelah kesepakatan itu, dia pulang.
Dia marah pada sang anak. Dia mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, ingin segera bertemu anak kurang ajar itu. Jalanan beraspal yang rusak tak menghalangi Gober tancap gas.
Tiba di rumah, dia langsung mencari Tari, anak sulungnya. Dia masuki seluruh kamar. Dia mendengar tangisan Tari.
“Hei! Siapa lelaki yang menghamilimu?” bentak Gober sambil memukul lemari di kamar. “Ayo, jawab!”
“Lik Ponijan,” jawab Tari dengan ledakan tangis.
“Ponijan?”
Gober jatuh tersungkur. (92)
Kos Waniperih, 18 Januari 2017
Danang Cahya Firmansah, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang (FBS Unnes).
Leave a Reply