Cerpen Indra Tranggono (Media Indonesia, 29 Januari 2017)
AKU merasa tersesat di negeri aneh, seperti negeri animasi. Langit dicat warna biru, tak ada gradasi, semua memadat, datar, serupa warna lukisan dekoratif.
Biru langit menjadi latar yang manis gedung-gedung tinggi dengan warna kuning, hijau, atau merah. Jalanan yang dicat putih memanjang hingga cakrawala.
Mobil-mobil melintas. Tak ada yang tergesa. Tak ada yang bergegas. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Kelengangan terasa abadi. Yang bikin aku tercengang, tak ada satu pun orang terlihat. Aku lebih banyak menemukan makhluk yang sulit diidentifi kasi jenisnya. Tubuh mereka serupa bulatan daging lonjong dengan ekor di bagian belakang. Tak ada kepala layaknya kepala manusia. Hanya mata, mulut, dua lubang, dua kaki dan tangan. Mereka berjalan dengan cara merangkak.
“Anda bukan manusia tersesat, tapi tahanan kami!” ujar makhluk berupa bulatan lonjong dengan mata sedikit membelalak. Makhluk berseragam dan bersenjata otomatis itu seperti bisa membaca pikiranku. Kemana saja, dia mengawalku.
“Maaf boleh tanya?”
“Kanapa ragu?”
“Apa kalian ini bangsa jin?”
“Kami bangsa tikus. Kami telah mengalami metamorfosa selama berabad-abad. Dan, hasilnya adalah yang Anda lihat. Gagah, bukan?” ucapnya sambil mendongakkan kepala.
***
Aku didorong masuk ke dalam sebuah ruang. Kupandangi dinding-dinding. Senyap. Tak ada serangga terbang lewat. Kuhempaskan tubuh penatku di tempat tidur tanpa kasur. Kutatap langit-langit kamar.
Lamat-lamat aku ingat, mereka menangkapku saat aku sedang duduk di beranda malam hari, bercengkrama dengan istriku sambil minum teh, dan menikmati camilan rempeyek paru kesukaanku.
“Bahasa di negeri ini akan macet bahkan mati, tanpa kehadiran Papa,” ucap istriku sambil menuangkan teh panas dari teko keramik.
Aku mengangguk. Kugenggam tangannya. Hangat.
“Papa akan menciptakan berapa juta bahasa lagi? Ah, di kepala Papa tentu ada jutaan telur-telur kata yang siap menetas…” ujar istriku lagi.
Senyumku mengembang. Namun mendadak terdengar riuh suara cericit yang menggetarkan udara malam. Kami panik. Mencoba bergegas masuk rumah tapi ratusan bahkan mungkin ribuan makhluk bulat dan lonjong menyergap dan mengeroyok kami. Kami menjerit. Seluruh tubuh kami rapat dengan makhluk-makhluk aneh yang besarnya sama dengan orang dewasa. Tanganku berusaha menepis mereka, tapi mereka terlalu banyak dan kuat untuk kami lawan. Di puncak kengerian, mendadak mataku gelap. Aku tak ingat apa-apa, hingga aku berada di sel ini.
Seekor Tikus Sipir mendorongkan piring seng ke selku. “Makan ini!” ujarnya. Kulirik isi piring itu. Ya, Tuhan… Segerombol cacing dicampur kecap!
“Itu mie paling enak di negeri ini! Santaplah! Tidak semua tamu kami sambut sehangat ini,” ujarnya.
“Tamu? Kenapa aku ditahan di sel? Dan cacing ini? Ahhh,” ujarku.
***
Malam sudah sangat larut. Aku disergap kantuk. Namun, lima tikus petugas interogasi masih bersemangat menghajarku dengan berbagai pertanyaan. Dari soal latar belakang keluargaku, profesi, hobi, organisasi sosial yang pernah kuikuti hingga afiliasi ideologis.
Aku tak lagi ditahan di sel yang pengap, tapi di sebuah kamar apartemen yang lumayan layak, bahkan bisa disebut mewah. Aku heran, bagaimana bangsa tikus mampu membangun apartemen semewah ini? Belum sempat pertanyaan itu mendapat jawaban, muncul seekor tikus gendut. Dia merangkak mendekati saya.
“Anda jangan menyebut kami dengan sebutan seekor. Eksistensi dan martabat kami tidak terletak pada ekor, tapi kepala. Sebut kami semakhluk tikus!” kata Tikus Gendut itu.
“Baik. Baik. Maafkan saya. Khilaf…”
“No problem. Bukankah bangsa manusia biangnya khilaf, lupa, alpa, meskipun sering disengaja,” Dia tertawa. “O ya, perkenalkan namaku Mouseva, lengkapnya Mouseva Gigitha, alumnus Wirrock University. Doktor gelar saya. Nama Anda?”
“Munsyi…lengkapnya Munsyi Leksikalami.”
“Ooo, Anda profesor pencipta bahasa dari Indonesia itu? Nama Anda sangat popular di sini. Kalangan akademisi sering membicarakan Anda.”
“Maaf, boleh tahu kapasitas Anda apa dalam perkara saya?”
“Saya pembela Anda. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.”
Aku tersenyum. Kujabat tangannya. “Terima kasih. Terima kasih. Nasib saya di tangan Anda,” ujarku mantap.
***
Duduk di kursi pesakitan, tubuhku terasa melayang, mataku berkunang-kunang. Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim menatapku, lekat-lekat. Begitu pula makhluk-makhluk tikus lainnya yang memenuhi ruang sidang.
Suasana hening. Hanya terdengar lembut suara deru napas mesin pendingin ruangan.
“Kami sudah mempelajari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan pembelaan Anda. Namun demi meyakinkan kami, kami minta saudara memberikan inti pembelaan. Ini terkait dengan pemaknaan Anda bahwa tikus layak dijadikan simbol koruptor,” ujar Ketua Majelis Hakim.
Mendadak terdengar suara gaduh. Ketua Majelis Hakim mengetuk-ngetuk palu. Hadirin kembali tenang.
“Terima kasih Majelis Hakim Yang Mulia. Eeee, di dalam kehidupan bangsa kami, bangsa manusia, tikus adalah binatang pengerat yang memiliki naluri destruktif, menyerang dan memakan benda-benda atau makanan. Ini sama dengan prilaku koruptor.”
“Terima kasih. Sekarang saya persilakan Jaksa Penuntut Umum untuk menanggapi.”
“Yang Mulia, kami sangat keberatan. Kenapa saudara terdakwa yakin bahwa tikus sama dengan koruptor? Bukankah koruptor jauh lebih rakus dan jahat daripada tikus? Tikus hanya memakan cuilan kelapa, ikan asin, roti atau jagung. Tapi koruptor? Mereka memakan apa saja, minyak, aspal, besi, ems, batubara, gas, pulau-pulau… Juga hasil pajak!”
Terdengar riuh tepuk tangan. Hakim langsung mengetuk-ngetuk palu. Suasana kembali hening.
“Jangan terlalu emosional, Tuan Jaksa. Slowly saja…”
“Baik Yang Mulia. Maksud saya begini. Kejahatan tikus hanya menimbulkan dampak yang kecil, tapi kerakusan dan kejahatan koruptor membikin negara bangkrut dan membunuh bangsa manusia.”
Aku tergeragap. Bingung. Otakku bekerja keras. Mencari dalih, tapi jawaban itu tak kunjung muncul.
“Saudara terdakwa, apakah adil menyamakan prilaku tikus dengan kerakusan, kekejian, dan kejahatan koruptor?” ujar Ketua Majelis Hakim menekanku.
Aku terdiam. Mengatur napas. Mencoba tetap tenang. “Tidak, Yang Mulia. Koruptor jauh lebih berbahaya daripada tikus.”
“Nah, kenapa Anda menyamakan tikus dengan koruptor? Kenapa? Bukankah tikus jauh lebih mulia daripada koruptor?” sahut Jaksa Penuntut Umum.
Mulutku terbungkam. Ratusan pasang mata menghunjam wajahku.
“Kami meminta kehormatan, harkat, dan martabat bangsa tikus dikembalikan. Terserah cara Anda,” ujar Ketua Majelis Hakim.
Mendadak dadaku sesak. Mendadak pandanganku gelap. Mendadak tubuhku melayang. Mendadak aku tak ingat apa-apa.
***
Di pembaringan Rumah Sakit Pancaran Harapan di Wirrock City, tubuhku terkulai lemas. Pikiranku campur aduk. Terbayang wajah istri dan anakku yang pasti tak berdaya didera cemas, karena aku mendadak hilang dari pelukan mereka. Terbayang pula kesulitanku untuk mengembalikan kehormatan, harkat, dan martabat tikus dalam kehidupan bangsa manusia.
Berulangkali aku menarik napas kuat-kuat agar darahku mengalir lancar ke otak untuk menemukan gagasan. Namun, otakku terasa macet. Bagaimana mungkin aku mampu menghapus ingatan jutaan rakyat manusia yang telah memiliki pemahaman yang mengerak bahwa tikus identik dengan koruptor?
Apakah ingatan kolektif bisa kubakar? Dengan kayu dan bahan bakar apa? Apa aku akan mengetuk pintu ratusan juta rumah manusia untuk mengatakan bahwa tikus jauh lebih beradab daripada koruptor? Atau aku membuat seminar ilmiah yang diselenggarakan secara kolosal di stadion atau di alun-alun demi meralat salah paham pemaknaan bahwa tikus identik dengan koruptor? Apakah jutaan orang itu peduli?
Belum lagi aku memikirkan biaya yang bisa mencapai milyaran. Harus pula menghadapi serangan para koruptor yang juga tersinggung karena dianggap sama dengan tikus. Jika semua itu bisa beres, lalu binatang apa lagi yang bisa dipakai sebagai ganti untuk melambangkan koruptor? Babi? Anjing? Serigala? Ular? Buaya? Lintah? Bagaimana jika mereka juga tersinggung karena mereka merasa jauh lebih terhormat dari koruptor?
Penasihat hukumku Mr Mouseva Gigitha datang membawa bunga. “Ada salam dari Yang Mulia Tuan Hakim,” katanya.
“Ooo ya? Salam kembali.”
“Dia bersimpati pada Anda. Anda punya niat baik untuk mengembalikan harkat dan martabat bangsa tikus.”
Dadaku terasa lapang. Senyumku mengembang. Kupeluk dia.
Namun, mendadak dia bilang, “Yang Mulia Tuan Hakim berpesan, Anda harus segera melaksanakan hukuman. Mengembalikan harkat dan martabat bangsa tikus di alam manusia. Anda diberi waktu mulai besok. Tim Keamanan kami akan membawa Anda kembali ke dalam kehidupan manusia.”
Senyumku mengembang, tapi sebenarnya aku tak mampu menekan kecemasan.
“Namun, jangan berpikir Anda bisa melarikan diri. Kami telah menyiapkan pengawal khusus. Mereka selalu mengikuti semua gerak-gerik Anda, kecuali saat mandi atau bercinta dengan istri.”
Kalimat-kalimat itu membadai dalam dadaku. Jiwaku terbelah-belah. Terkeping-keping. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya, namun mulutku terkunci. Jantungku terasa diremas. Aku terkulai lemas.
2017
Indra Tranggono, cerpenis dan esais, tinggal di Yogyakarta. Buku cerpennya, Iblis Ngambek (2003) dan Sang Terdakwa (2000).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id
Leave a Reply