Cerpen D Nilasyah (Republika, 29 Januari 2017)
Pohon bakau itu ternyata masih ada. Setelah puluhan tahun berlalu, cukup menandai ketuaannya jika ingin mendekati tak lagi kaki tercecah hanya sebatas mata kaki. Akarnya yang dulu menjalar beranak pinak terlihat di kebeningan ujung air laut, sekarang sudah terendam jauh di kedalaman laut. Selebihnya lenyap entah ke mana. Deretan gerobak penjaja makanan pinggir laut, empat tempat gundukan panjang bebatuan besar yang dulunya tersusun rapi sampai sekitar lima belas meter menuju laut lepas seakan sudah ditelan lautan. Apalagi sebuah gedung tua bekas zaman penjajahan belanda itu, mungkin sudah berada di dasar laut.
“Apakah yang sedang kau pikirkan sama dengan apa yang sedang kupikirkan Rai?”
tanya Luruh tanpa memandang Derai.
“Pertanyaan yang kurang tepat,” jawab Derai lirih. Pandangan matanya tak beralih kepada satu sisi tepi pantai. Titik pandang yang tak beda dengan Luruh saat ia bertanya tadi pada Derai.
“Apa yang tepat?”
“Apakah apa yang kau kecewakan sama dengan apa yang kukecewakan Rai?” balas Derai.
Luruh tersenyum tipis mendengar kalimat pengulangan itu.
“Kau benar, seharusnya itu yang kutanyakan tadi…,” ujar Luruh.
Luruh dan Derai saling bertatapan sejenak lalu kembali menatap satu sisi pantai yang sekarang sudah sama rata dengan permukaan laut yang sudah meninggi. Sekeliling pantai ini sudah dibeton tinggi. Bila sekadar ingin menikmati kecipak ombak, sudah disediakan beberapa tangga beton di sekeliling tembok. Namun, pengunjung hanya bisa berada pada tangga terakhir beberapa detik. Kecipak ombak terkadang begitu tinggi sebelum gelombangnya menghempas ke dinding tembok.Banyak pengunjung pantai yang lari naik lagi ke atas tangga sebelum sempat menjepretkan kameranya begitu melihat dari kejauahan gulungan ombak yang tinggi.
“Gedung Belanda itu pasti sudah tenggelam.”
“Pastilah tenggelam, tepi pantai saja sudah tak bersisa.”
“Kita menaruh cacatan kita di sana.”
“Coretan di dindingnya yang kau maksud?”
“Hujan yang berderai meluruhkan sebongkah batu, persahabatan Derai dan Luruh menyirami tanah kering, tapi bersumpah demi Allah bukan pernikahan.”
Kalimat itu lirih keluar begitu saja dengan bersamaan. Mereka berdua saling bersitatap. Lalu, sama-sama mengalihkan pandangan memandang laut lepas yang tampak semakin luas tak bertepi. Masing-masing asyik bercengkerama dengan hati sendiri, entah menelusuri masa lampau, entah menikmati kekecewaan yang menghujam.
“Sudah lebih setengah abad.”
“Tepatnya lima puluh enam tahun.”
Debur ombak semakin tak berirama. Kadang terhempas dengan suara yang menggulung lalu memecah ketika ujungnya menjilat dinding beton tinggi, pembatas antara batas laut dan daratan seakan itu sebuah pemberontakan yang tak terkendali. Kadang deburnya hanya seperti pekikan kecil seakan terpenjara oleh sebuah kungkung waktu yang menunggu saatnya tiba.
“Mengapa kau pulang Rai?” tanya Luruh pada Derai.
“Kamu juga, mengapa pulang, Ruh?” Tanya Derai pada Luruh. Ada yang ganjil di telinganya. Panggilan Ang untuk lelaki di daerah mereka sebagai kata ganti nama, sekarang berubah jadi kamu.
“Tanahmu luas di sana Ruh, hingga banyak flat dan kondo mewah yang bisa kamu bangun di atas tanah negeri melayu itu,” Derai kembali berkata tanpa memedulikan tatapan Luruh padanya.
“Kau pun sukses dan terkenal dengan usaha butikmu yang beranak pinak di metro- politan,” ujar Luruh kembali menatap laut luas.
***
Senja sudah usai. Mereka berdua masih duduk di tembok panjang tepi pantai. Menjuntaikan kaki sambil terus memandang laut yang semakin hitam. Hanya terdengar riak dan debur menghempas. Sedikit cahaya masih ada di lengkung langit seakan menyisakan warna untuk menghibur hati yang hampa.
Dulu di tepi pantai, berjejer kursi dan meja kayu. Dari ujung ke ujung, deretan meja ditudungi kain terpal yang panjang dan lebar. Bila angin laut datang suara kain terpal mengepak-ngepak seperti burung elang yang sedang menudungi para pecinta pantai yang duduk di ujung senja menanti malam.
Lalu Uwo Rabin yang rambutnya semua sudah memutih itu menghampiri mereka berdua. Saat itu masa kanak-kanak sudah lewat. Masa remaja baru saja terlampaui. Uwo Rabin ingin mereka menikah. Selalu berusaha menjodohkan.
“Telur penyu dan kacang rebus dengan segelas teh telur cocok sekali dengan cuaca berhujan berdua-duaan.”
Uwo Rabin sudah mangkal di sana sejak masa kanak-kanak mereka. Orang tua itu kenal mereka, kenal siapa orang tua mereka dan menyayangi mereka berdua layaknya anak-anaknya sendiri. Derai dan Luruh satu sekolah sampai masa SMA berlalu. Kemudian, di jenjang universitas, fakultas mereka berbeda, tapi tetap dalam payung universitas yang sama. Tiap petang sampai matahari menyembunyikan diri, mereka tak pernah absen menghabiskan waktu bermain di tepi pantai. Membiarkan dua kaki terendam sebatas matanya berjam-jam.Berlari, bersemburan air, dan berjalan di antara lingkaran akar bakau.
Lalu, meniti akar besarnya yang melingkar-lingkar.
Uwo Rabin yang akan mengingatkan untuk makan dulu sekadar mencicipi barang dagangannya. Mereka mengiyakan, namun tetap asyik bersenda gurau dengan pantai.
Setiap saat akan terdengar teriakan salah seorang dari mereka ketika seekor umang-umang merambat di kaki atau sebuah lokan tampak tertangkup indah di antara busa ombak yang tergiring angin ke tepi pantai.
“Ini aku dapat yang besar!” Luruh kemudian mengembus-embuskan napasnya ke lobang cangkang umang-umang. Di saat libur mereka akan lebih lama berada di pantai, berdua berburu umang-umang dan lokan. Derai tak peduli dengan keperempuanannya.
Sementara, Luruh lebih suka menghabiskan waktunya bermain dengan Derai walau kawan sesama lelakinya asyik menendang bola di hadapan. Mereka seolah tak memedulikan bahwa persahabatan mereka adalah persahabatan yang tak biasa.
“Amak ang pandai masak lokan ang bawalah pulang semua!” Derai selalu memberikan hasil lokan yang dikumpulkannya. Sejak dilahirkan ke dunia ia sudah tak mengenal ibunya. Begitu ia mengeluarkan suara sebagai tangis pertamanya di muka bumi, Ibunya mengembuskan napas terakhir. Tangan seorang Ayah yang membesarkannya, hingga sikap kewanitaannya lenyap.
“Aku tidak menduga kau bisa masuk ke dunia model Rai…”
“Setiap orang tidak sama waktunya bisa menerima kodrat dirinya.”
“Kalau dulu kau seperempuan saat ini, aku pasti akan suka dijodohkan almarhum Uwo Rabin.”
“Almarhum Uwo Rabin tahu, aku takkan pernah mau.”
“Almarhum Uwo Rabin tahu apa?”
Derai terdiam lama.
“Aku sudah mengatakan padanya tentang coretan kita di gedung Belanda itu.”
“Hujan yang berderai meluruhkan sebongkah batu, persahabatan Derai dan Luruh menyirami tanah kering tapi bersumpah demi Allah bukan pernikahan,” Entah siapa yang memulai lagi mereka berdua menjawab secara bersamaan.
Derai tersenyum lebar. Luruh tersenyum terkulum. Derai nanap menatap laut lepas.
Luruh melirik diam-diam. Pasti rambut yang hitam legam disasak rapi itu aslinya sudah tumbuh uban. Wajahnya masih mulus, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan gurat ketuaan, terutama di sekitar leher dan bahunya yang terbuka. Penampilan wanita modern. Blouse ungu muda tanpa kerah dan terbuka. Cucunya yang kuliah di University Malaya mengatakan, blouse ini namanya fling off shoul der blouse dalam bahasa modern. Ia mengatakan, bahasa Inggris sebagai bahasa modern karena menurutnya banyak orang yang merasa hina kalau tidak mampu berbahasa modern ini saat sekarang.
“Tidakkah kau merasa dirimu sudah jauh berbeda dengan dirimu yang dulu Rai?” Luruh bertanya lagi.
“Kamu jangan hanya terpaku melihat perubahan diriku Ruh, kau sendiri juga berbeda sekarang, pantai ini jauh berbeda dengan pantai di mana kita berpuluh tahun bermain ombak, mencari umang-umang dan lokan.”
“Ya, semua berbeda. Pantai ini sudah tidak alami lagi tak beda dengan pantai komersial di kota-kota besar pada umumnya.Kota ini juga semakin sesak. Manusia kini bukan manusia kita yang dulu. Manusia sekarang seakan berburu sesuatu yang tidak jelas.
Manusia akhir zaman. Kita berdua seakan terperangkap dalam dua masa.”
“Ya, antara masa kasih bersemai dan masa kasih yang berderai dan meluruh…”
“Bukankah derai dan luruh menyirami tanah?”
“Jika begitu, waktu kita sudah tiba.”
“Mau kemana?”
“Mau melepaskan diri dari perangkap dua masa dan menyirami tanah agar kasih tetap bersemai.”
“Baik, aku ikut…”
***
Goncangan gempa kali ini sangat lama dan berpotensi tsunami. Hanya beberapa menit pemberitahuan tsunami kawasan tepi pantai sudah luluh lantak oleh air laut yang mengganas. Banyak gedung di pusat kota runtuh. Hotel-hotel mewah tepi pantai lenyap tersapu gelombang besar. Kota yang sering tergoncang gempa ini langsung lumpuh total.
Dinding beton tepi pantai tak lagi tampak. Air laut sudah naik dan menenggelamkan separuh kota. Setelah itu, lama kota ini seakan menjadi kota mati.
Dua tahun kemudian di pinggir pantai yang sama…
Dinding beton baru sudah dibangun membatasi antara laut dan daratan. Hotel-hotel mewah kembali megah berdiri. Kawasan pantai sekarang semakin menjadi kawasan komer sial. Namun, orang hanya bisa memandang laut luas dengan dibatasi sebuah dinding beton tebal yang tinggi. Di baliknya berlaku sebuah kehidupan yang sangat berteknologi. Gerobak Uwo Rabin dan kecipak tepi pantai berpasir dari sebuah persahabatan hakiki adalah masa yang sudah tenggelam.
Siapa peduli bahwa laut sudah berkali-kali tidak menyukai masa yang hadir tanpa kasih yang terjalin. Masa di mana hanya dihuni manusia yang sudah diperintah oleh dewa mesin dan teknologi. Maka kota ini tak lagi berpedoman pada kitab akhir. Laut semakin tak rela, namun mata hati tak lagi ada di sini dan manusia tak mampu melihat laut dengan hati. Derai dan Luruh sedang menjalani sumpahnya bersatu dengan tanah. Berusaha menyiraminya. Tapi, mungkin saja mereka tak mampu mengelak bahwa dinding beton itu besok akan runtuh lagi. Laut pun menyapu habis kota ini.
D NILASYAH, bernama asli Desni Intan Suri, lahir di Padang, Sumatra Barat. Kini berdomisili di Kuala Lumpur, Malaysia. Sudah menyukai dunia tulis-menulis sejak masih di sekolah dasar. Buku fiksi/novelnya yang pertama berlatar belakang adat budaya minangkabau Antara Ibuku dan Ibuku (Salsabila, 2011), meraih AWARD sebagai novel fiksi Islam terbaik di IBF 2012.
Leave a Reply