Cerpen Ricardo Marbun (Jawa Pos, 04 Desember 2016)
MENERIMA kedatangan mereka itu artinya menyiapkan diri untuk terluka kembali. Mamak (ibu) sejak pekan lalu sudah bernyanyi.
Nyanyian Mamak bertambah nyaring sejak subuh tadi. Bisa jadi karena sore nanti adalah waktu mereka tiba di rumah ini. Kecerewetan Mamak aku umpamakan seperti bernyanyi. Mamak rewelnya dua kali lipat dari biasanya. Kata-kata Mamak selalu diulang dan itu-itu saja. Mirip kaset yang seret karena pitanya tersangkut dan tidak bisa bergerak. Telingaku jadi mendenging karenanya. Percuma menyuruh Mamak untuk berhenti. Sebab dalam pikirannya hanya mereka serta rindu yang membuncah?
Curiga itu menghinggapiku sejak berpekan-pekan lalu. Lelah mengeringkan padi di belakang rumah aku mendengar suara memanggil-manggil di depan. Suara lelaki hilang-timbul tersapu angin. Rasa ingin tahu, aku berjalan mengendap-endap mengintip siapa gerangan suara yang memanggil-manggil itu. Keningku berkerut setelah mengetahuinya. Sahat! Pria kampung sebelah yang bekerja di kelurahan. Pria tamatan STM yang bekerja sebagai tenaga administrasi di sana. Aku mengintai lebih jelas. Sahat menyerahkan sesuatu kepada Mamak. Ada apa, pikirku?
Curigaku kian membumbung. Aku berbalik pelan memasuki rumah dari pintu belakang. Aku bergegas sebelum Sahat pergi dan melihatku berada di samping rumah. Aku mengatur napas seperti pencuri yang takut ketahuan. Aku menyesali perbuatanku. Kenapa harus takut? Seharusnya aku menghampiri mereka tapi situasi mencegah langkahku. Aku menutup pintu dapur pelan. Berdiri diam menerka kehidupan yang jalan di atas rumah. Rumah utama kami berbentuk panggung. Ada tangga kecil sebagai penghubung antara rumah utama dengan dapur di mana aku berdiri saat ini. Aku menajamkan telinga hanya hening yang mendenging.
Dadaku ciut! Dari celah kain gorden yang tertiup angin aku menyaksikan Mamak duduk di pinggir dipan sembari membuka selembar kertas. Surat? Tebakku. Mamak membaca surat. Sekadar membaca surat kenapa Mamak harus sembunyi-sembunyi dariku? Sejak kapan? Sebongkah curiga bertunas di dadaku. Surat apa? Mengapa Mamak berahasia dariku? Kertas apa yang Mamak baca sehingga aku tidak boleh tahu? Angin berhembus sedikit kencang. Dari sela kain aku menyaksikan Mamak membaca surat penuh perasaan.
Mamak begitu meresapi surat yang berada di tangannya. Rasa tawar di dada mengiring langkahku turun menuju dapur.
Pemandangan itu kian sering menyergap diriku dan aku memilih diam.
***
Mamak menungguku di kursi kesayangannya. Mamak tidak akan beranjak dari kursi itu sebelum aku keluar rumah dan berangkat ke pajak (pasar). Jam 4 pagi Mamak sudah membangunkanku. Menyuruhku bersiap karena pagi sebentar lagi menghampiri. Padahal dinginnya di luar benar-benar menembus tulang. Mamak tidak ingin aku ketinggalan angkot pedesaan.
“Langsung saja kau hampiri tukang ayam potong Sihotang. Sudah Mamak pesan jauh-jauh hari, Sondang! Kemarin Mamak dapat berita dari Muti tetangganya, katanya ayam itu sudah ada. Mamak pesan dua ekor. Jangan lupa kau periksa ayam-ayam itu dengan benar, ya? Kalau kurang sehat menurutmu tidak usah kau terima. Memasak manuk (ayam) napinadar harus dari ayam yang sehat. Masakan ini untuk tujuan yang mulia. Paham kau, Sondang?” repet Mamak dari kursi kebesarannya.
Aku hanya mengangguk. Mulutku benar-benar terkunci untuk sekadar menjawab “ya”. Aku berjalan melewati Mamak menuju pintu depan untuk keluar menuju pajak.
“Hati-hati kau, Inang?” pesan Mamak terakhir. Ungkapan sayang untuk anak perempuan dengan sebutan inang sedikit menyentuh sisi hatiku. Apa Mamak paham bongkah hatiku tidak sepenuhnya menerima? Entahlah.
Angin dingin memeluk penuh tubuhku. Tetap saja tidak mampu mendinginkan gelembung dadaku yang belum seutuhnya mengiyakan keinginan Mamak menyambut kedatangan mereka. Lima tahun berselang terasa belum cukup menutupi luka hati yang aku alami. Selain itu, masih belum percaya dengan gamblangnya Mamak menyampaikan berita itu!
“Adikmu mau pulang,” ujar Mamak dari atas tangga dapur.
Mulutku tengah sibuk meniup-niup anglo dengan pipa besi panjang di tanganku. Sedikit asap tersedot ke dalam hidung membuatku sedikit terbatuk.
“Adik siapa maksud Mamak?” tanyaku belum mengerti.
“Memangnya ada berapa adikmu? Poppy-lah, siapa lagi?” dengus Mamak ketus.
“Poppy?” jawabku kaget. Aku sampai menoleh menatap Mamak yang dengan santainya mengunyah sirih sambil menggosok-gosok suntil pada gusinya.
“Beberapa waktu lalu adikmu memberanikan diri mengirim surat. Itu juga tidak sengaja karena Mamak bertemu Tika Sinaga di pajak. Tika banyak bercerita tentang adikmu. Ternyata di Batam mereka bertetangga. Mamak memberi pesan kepada Tika agar adikmu berkirim surat kepada Mamak. Tidak berapa lama Mamak menerima suratnya. Mamak lega akhirnya mengetahui keadaan mereka. Mamak yang meminta mereka pulang ke kampung,” cetus Mamak lugas tanpa memikirkan perasaanku.
Aku menarik napas dalam. Akhirnya terurai cerita itu dengan sendirinya.
“Mamak ingin meminta bantuanmu, Sondang?” suara Mamak melembut.
“Apa?” jawabku lirih.
“Masakkan ayam napinadar untuk menyambut kedatangan adikmu dan suaminya. Hanya kau yang pandai memasak ayam itu. Beruntung kau sempat diajari opung (nenek) cara mengolah masakan istimewa dalam masyarakat kita. Ayam napinadar. Kau mau kan, Sondang?” suara Mamak bertambah lembut.
“Kenapa harus ayam napinadar, Mak?” tanyaku sebagai upaya menolak.
“Mamak ingin menyambut mereka dengan upacara dan doa, Sondang!” ujar Mamak.
***
Angkutan umum terbatuk-batuk membawa kami menuju pajak yang berada di luar perut bukit. Tulang (Paman) Sihotang langsung paham begitu melihat kedatanganku. Aku belum sempat membuka mulut Tulang Sihotang masuk kembali ke belakang kiosnya. Suara ribut melawan ayam jago riuh terdengar di belakang. Keok-keoknya melolong panjang sampai Tulang Sihotang muncul kembali ke kiosnya.
“Ini ayam pesanan Mamakmu. Dua ekor. Kau periksalah dulu?” pinta Tulang Sihotang pelan.
Dua ekor ayam diletakkan Tulang Sihotang di atas meja kios. Aku mengamatinya.
“Ayam jantan kampung. Bulunya harus merah. Kakinya kuning bersih. Jangan lupa kau, jengger ayam harus bergerigi tujuh. Harus kau hitung, ya? Kalau tidak sesuai percuma saja kau bawa pulang. Ingat ya, Sondang?” ucapan Mamak terngiang jelas saat aku mengamati dua ekor ayam yang terikat itu.
“Sudah Tulang. Sudah sesuai, kok,” jawabku pelan.
“Baik kalau begitu,” kata Tulang Sihotang tersenyum.
Aku menyerahkan beberapa lembar uang sebelum meninggalkan kios Tulang Sihotang. Selanjutnya aku mencari rempah-rempah utama sebagai pendukung olahan ayam jantan merah yang kini berada di dalam keranjangku. Sira (garam), pege (jahe), bawang merah dan putih serta yang utama adalah andaliman. Andaliman inilah rempah utama untuk mengolah ayam napinadar. Andaliman merupakan merica Batak yang hanya tumbuh di daerah pengunungan yang sejuk. Beberapa saat aku mengitari pajak belanja ini-itu sampai akhirnya kembali ke tempat angkutan umum tujuanku berhenti.
Wajah Mamak berubah cerah begitu melihat ayam jantan merah altom bawaanku.
Aroma rempah-rempah menguar di ruang dapur yang tidak seberapa. Wangi kemiri, lengkuas, kunyit, jahe, bawang merah, bawang putih, dan serai yang disangrai selain mengundang selera juga menyesakkan perna pasan karena aromanya yang khas. Aku menyangrai bumbu rempah utama ini pada permukaan anglo yang menyala kecil dari susunan arang yang terbakar. Bila api muncul dari arang-arang itu aku mematikannya dengan menggunakan kipas yang terbuat dari tikar. Menyangrai aneka rempah ini hanya dengan bara arang agar tidak gosong yang bisa me nimbulkan rasa pahit pada makanan.
Pahit? Mengapa aku harus peduli. Bila mengikuti panas hatiku sebenarnya aku tidak perlu pusing apakah masakan itu berakhir pahit atau lezat nantinya. Tidak berpengaruh padaku.
Mamak duduk tidak jauh dari posisiku. Menyiapkan tumbukan batu berukuran sedang, mulai mengisinya dengan rempah yang tidak ikut di sangrai seperti cabe, andaliman, serta garam secukupnya. Keunikan ayam napinadar ada pada rasa andaliman yang pedas sehingga mampu membuat lidah bergetar. Getarnya sanggup membangunkan rambut di atas kepala saking pedasnya.
Tumbukan lesung batu Mamak mulai terdengar perlahan. Aku sendiri asyik membolak-balik rempah agar tidak gosong. Potongan-potongan ayam jantan tadi aku susun di antara rangrang-rangrang panggangan. Potongan berukuran sedang aku susun sesuai posisi seekor ayam hidup. Ingatanku melayang jauh. Aku teringat opung mengajariku cara menyusunnya.
“Kita harus menyusun layaknya susunan seekor ayam hidup. Kepala, dada, sayap, dan pahanya harus disusun sedemikian rupa. Demikian juga pada saat hendak disajikan. Harus sesuai susunannya. Jangan lupa kau, ya?” senyum opung hangat.
Aku meraih piring kosong dari sampingku. Lalu memunguti rempah-rempah yang sudah aku sangrai dari permukaan anglo. Wanginya semakin semerbak. Minyak yang keluar dari rem pahrempah itu benar-benar mengundang selera.
Setelah semuanya terangkat aku berbalik hendak menyerahkannya kepada Mamak. Aku terkejut. Mamak menumbuk sambil termenung. Berulang-ulang aku melihat Mamak mengusap pipinya dengan kain kebaya yang ia kenakan.
Mamak salah tingkah menerima piring dari tanganku. Aku terdiam mengamati sikap Mamak. Benar Mamak menangis barusan, pikirku. Aku berbalik mulai memanggang ayam dengan telaten.
“Sondang, Mamak mau bilang terima kasih. Mamak tahu hatimu belum sepenuhnya menerima kedatangan adikmu dan suaminya. Mamak tahu, kau hanya ingin menyenangkan hati Mamak. Semoga kau tidak salah paham dengan sikap Mamak. Adikmu membutuhkan restu kita. Terutama restumu, Sondang?” Mamak membuka suara.
Aku mengejang mendengar suara Mamak.
“Mungkin ini perlu Mamak sampaikan kepadamu, Sondang. Sudah lima tahun adikmu menikah ternyata sampai saat ini mereka belum dikaruniai anak. Kondisi ini yang membuat Poppy bertekat ingin pulang. Menurut hemat Mamak, mereka ingin memperbaiki semua dari awal, Sondang. Karena itu Mamak menyambut mereka dengan ayam napinadar. Semoga rumah tangga mereka lebih baik.”
Air mata jatuh menyentuh lututku. Sekuat tenaga aku menahan isak agar Mamak tidak mendengarnya. Air mata ini bukan air mata bahagia dengan kondisi rumah tangga adikku. Tetapi teringat sumpah asal bunyi dari mulut Ronggur sewaktu menguji kesetiaan cinta monyet kami.
“Siapa di antara kita yang tidak setia, pihak itu yang akan menanggung semua akibatnya. Yang tidak setia tidak akan pernah mempunyai keturunan!” cetusnya berapi-api.
Aku ingat betul sempat menampar mulutnya. Ronggur kaget, lalu mengejarku, lalu kami berlarian di pematang sawah. Ronggur terus mengejarku dan aku lari sambil berteriak sebelum kami berdua tercebur ke dalam pematang sawah. Ronggur berusaha menahan tubuhku tapi kami limbung terjerembab. Ronggur menggelitikku dengan jahil. Aku teriak berusaha melepaskan diri. Ronggur kian semangat. Aku menggigil mengingat setelahnya…
“Sondang tidak apa-apa, Mak! Percayalah? Sebentar lagi ayam napinadar ini matang. Ayo, Mamak bersiap menunggu kedatangan Poppy dan Ronggur menantu Mamak?” jawabku menahan segala nyeri di hatiku yang kini bertambah perih terasa.
***
Kedatangan Poppy dan Ronggur disambut banyak orang. Mamak muncul di depan rumah. Memeluk keduanya dengan penuh kasih. Aku menyaksikan mereka dari balik jendela di dalam rumah. Mamak menuangkan segenggam beras ke atas kepala Poppy dan Ronggur. Selembar kain Mamak pakaikan kepada Poppy. Setelah itu keduanya diajak Mamak menaiki tangga memasuki rumah panggung kami. Kerabat dekat ikut masuk ke dalam rumah panggung. Tetangga lain tetap menunggu di luar.
Tangis haru berlanjut di dalam rumah. Aku terpana mengamati perubahan Poppy, adikku. Sangat berubah Poppy sekarang. Badannya bertambah kurus. Wajahnya cekung dengan wajah yang pucat. Aku tidak berani menebak apa yang terjadi padanya. Poppy menubrukku dengan tangisan yang lebih hebat pada saat ia memeluk Mamak di luar tadi. Aku menerima dirinya dalam pelukan. Ronggur menunduk tidak berani bersipandang denganku. Mamak ikut memeluk kami berdua.
“Maafkan aku, Kak Sondang. Maafkan aku?” isak Poppy berulang-ulang.
Aku mengangguk berulang-ulang pula sambil mengusap-usap punggungnya.
“Aku nekat pulang Kak, Mak. Sakitku parah. Aku terkena kanker. Tapi aku sudah pasrah. Kalau memang umurku tidak panjang aku mau mati di sini. Boleh ya, Mak, Kak?” iba Poppy menyayat hati.
Hush! Aku menutup mulutnya. Mamak ikut terisak pilu. Aku menyerahkan Poppy dalam pelukan Mamak. Bertumpu pada lututku aku berdiri dan berjalan ke dapur menyiapkan hidangan untuk mereka. Ramot dan Dorlan sigap menyiapkan piring, gelas, sendok, air minum, dan tidak lupa mangkuk cucian tangan. Mereka hilir-mudik penuh semangat.
Sepinggan Napinadar aku angkat dari meja. Mataku berair menatapnya. Teringat ungkapan Poppy barusan. Kali ini bukan Mamak tapi aku yang khusus melambungkan doa untuk kesembuhan adikku. Aku telah melupakan sakit hati akibat perbuatan Poppy merebut Ronggur dariku. Termasuk memaafkan Ronggur karena kelalaian kami berdua mewarnai kegadisanku di tepi pematang sawah sore itu.
Sepinggan Napinadar aku bawa naik tanpa rasa sakit hati. ***
RICARDO MARBUN lahir di Jakarta, 27 November 1975. Mulai menulis fi ksi pada 2010. Karya nya tersebar di berbagai media nasional. Pemenang utama Lomba Fiksi Travel & Love 2014. Karyanya juga masuk buku Kumpulan Cerpen Pilihan 2012 Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta.
Leave a Reply